A Great Story Comes With Great Stupidity : April 2016

Ngomentarin Fakta

Beberapa hari yang lalu gue bersih-bersih following twitter gue. Bukannya apa, temen-temen gue (yang di dunia nyata) udah pada gak main twitter, yaudah gue unfollow, daripada timeline twitter gue isinya cuma link-link gak jelas macam:

One person followed me and one million person unfollowed me // automatically checked by fllwrs.com

Atau link dari media sosial lain, contohnya aja ask.fm, instagram dan path.

Kak, pap pas lagi boker dong – Nih! Ask.fm/blablabla

Maafin wajahku. Huhu… instagram.com/p/blablabalbalba

Ena ena~ (with Pacar At Kost) – path.com/p/blablablabla

Iya, tweet yang isinya sampah link dari media sosial lain ini ganggu mata banget. Apalagi kalo ada link path mantan lagi jalan sama pacar barunya. Untuk yang ini, selain bikin mata perih, hati juga ikutan sakit. Nah, setelah unfollow massal begitu, timeline gue malah sepi. Cuma ada tweet-tweet dari beberapa temen yang masih main twitter dan akun fakta-faktaan yang menghiasi timeline gue. Dan… baca tweet fakta begitu, gue jadi kangen ngomentarin tweetnya, kayak di postingan jadul gue yang ini dan ini.

Yaudah, gue komenin lagi, deh. Here we go!

Hikayat Si Printer yang Merepotkan

Dalam kamus mahasiswa tingkat akhir, ada tiga hal yang harus dipersiapkan ketika skripsian: waktu, tenaga dan duit melimpah.

Untuk mengerjakan skripsi, kita harus memiliki banyak waktu karena proses bikin skripsi itu gak bisa dikerjain di injury time, gak kayak tugas-tugas biasa yang bisa dikerjain 15 menit sebelum dikumpul. Tingkat kemustahilan membuat skripsi dengan cepat itu mirip dengan membuat 1000 candi dalam satu malam. Jika Bandung Bondowoso berhasil membuat 999 candi dalam semalam, mahasiswa yang skripsian dalam semalam, nulis 1 halaman aja udah sujud syukur.

Tenaga juga diperlukan dalam proses skripsian. Punya banyak waktu tapi kita terbaring lemah di kasur tanpa tenaga ya sama aja bohong. Skripsi gak akan kelar! Selain tenaga saat membuat skripsi, tenaga juga diperlukan saat menunggu dosen pembimbing yang gak muncul-muncul saat ditunggu. Iya, untuk yang satu ini selain tenaga juga dibutuhkan kesabaran ekstra.
Tapi, selain waktu dan tenaga, ada hal yang paling penting: duit melimpah!

Sebagai mahasiswa ekonomi, proses skripsian itu setelah gue hitung-hitung, butuh banyak duit. Contoh standar aja: ngeprint.

Di Balikpapan, setau gue yang paling murah jika ngeprint di warnet, selembarnya itu Rp 1.000, bahkan ada yang Rp 1.500/lembar. Bayangin aja misalnya gue ngeprint 50 lembar.

50 Lembar x Rp 1.000 = Rp 50.000

Lalu gue revisian mulu sampe 10 kali.

Rp 50.000 x 10 = Rp 500.000

LIMA RATUS RIBU ITU BISA BUAT BELI PRINTER!!!

Gimana kalo kita punya printer sendiri? Oke, revisi berkali-kali juga akan membuat kertas habis. Kertas habis, artinya kita harus beli, dan membeli artinya mengeluarkan uang juga. Kebanyakan revisi, akan berbanding lurus dengan habisnya tinta. Tinta habis, maka harus diisi ulang, isi ulang tinta juga mengeluarkan uang.

Akhirnya Seminar Proposal Juga

Selayaknya mahasiswa tingkat akhir pada umumnya, kegiatan gue belakangan ini gak jauh-jauh dari yang namanya skripsian.

Lebih spesifik: skripsian, kapan penderitaan ini cepat berakhir ya Tuhan?!


*backsound: musik kematian*

Jadi, proses skripsian yang gue lalui dimulai dari mencari judul. Beda dengan membuat novel yang judulnya bisa dipikirin pas naskahnya sudah jadi, skripsi gak bisa gitu. Kita harus menemukan judulnya dulu, baru deh mulai kerjain. Bedanya lagi, kalo judul novel ditolak penerbit, kita tinggal cari judul baru tanpa mengubah isi naskah, sedangkan skripsi, saat seminar proposal bisa aja disarankan penguji untuk merubah judul dan otomatis mengubah isi skripsi kita. Udah capek-capek nemuin judul, nyari teori buat bikin proposal, pas seminar proposal disuruh ganti. Lebih nyesek begini daripada diputusin pas sayang-sayangnya. Sumpah.

One Button: Push It, Face It

Siang itu aku hanya terbengong di hadapan laptopku, dengan posisi duduk di depan meja belajar, lembar dokumen Microsoft word yang sudah kubuka 15 menit yang lalu masih tampak polos, belum ada terketik sepatah kata pun. Aku mengalihkan pandanganku ke jendela, siapa tau aku dapat menemukan inspirasi untuk memulai paragraf awal proposal skripsiku. Bukannya mendapat kalimat fantastis, aku malah mendapati cuaca di luar mendadak berubah menjadi mendung. Awan hitam mulai meluas di angkasa, menutupi sinar matahari, angin juga mulai berhembus kencang, membuat pepohonan mulai terombang-ambing mengikuti arah datangnya angin, juga membuat beberapa ibu-ibu mulai ke luar rumah untuk mengangkat jemuran, mengantisipasi kejadian daster kesayangan terbang tertiup angin.

“Wuihhhh… anginnya sadis!” ujar Bobby yang tiba-tiba menempelkan wajahnya di jendela kamarku. “Ini enggak ada beha terbang gitu, ya?”

Aku hanya menghela nafas panjang mendengar pertanyaan Bobby. Aku lebih memilih untuk kembali fokus dengan laptopku. Berusaha mencari kalimat yang bagus untuk diketik.

“Kalo katanya hujan itu adalah raksasa lagi nangis, kalo angin kenceng gini apa coba? Raksasa kentut?” tanyanya lagi.

Aku menghentikan kegiatanku, menatapnya dengan memicingkan mataku, seperti pembunuh. Bobby mengangkat kedua tangannya bak tersangka, dengan entengnya dia bertanya, “Ke…kenapa? Salah?”

Tanpa menjawab, aku kembali sibuk dengan laptopku.

“Sensi amat, nyet.” Sungut Bobby. “Pantesan kamu jomlo menahun.”

Aku kembali menghentikan kegiatanku, lalu memutar kursi, di hadapanku kini ada si Bobby yang lagi asik ngulet di kasurku. Lagi-lagi dia memasang muka tidak bersalah.

“Bener, kan?” tanyanya. “Kamu sudah dua tahun jomlo, semenjak terakhir pacaran sama… siapa itu? Ah! Saking lamanya aku sampai lupa siapa nama mantanmu itu.”

“Vio.” Jawabku datar.

“Nah, Vio!” Bobby menepuk kedua tangannya. “Yamaha vio!”

“ITU MIO!” sanggahku, sebal.

“Hehehe…” Bobby nyengir. “Oiya, Vio sudah ngapain aja ya sama pacar barunya?”

“Kampret!” balasku emosi. Hampir saja kulempar laptopku, tapi gak jadi, mahal.

“Coba kamu cari pacar sana,” kata Bobby enteng. Seakan-akan nyari pacar itu kayak nyari air di lautan.

“Aku lagi gak pengin pacaran. Fokus skripsian.” Jawabku mantap, sambil menunjuk laptop yang ada di belakangku.

“Elaaahh… Skripsian masih bisa tahun depan.” Lagi-lagi jawaban Bobby bikin kesal.

“Biar wisudanya barengan sama kamu? Ogah.”

Bobby nyengir lagi.

Aku dan Bobby walaupun seumuran, tapi kami beda setahun saat kuliah. Setelah lulus SMA, aku langsung kuliah, sedangkan Bobby mencoba untuk mendaftar akademi polisi, sayangnya gagal. Karena trauma ditolak dan gak biasa ditolak, dia pun menyerah dan kini menjadi juniorku di kampus, walaupun beda jurusan. Aku mengambil jurusan hukum, Bobby mengambil jurusan tol cipularang, oke bukan, teknik mesin.

“Buat apa emang pacaran?”

“Ya biar ada yang nyemangatin, biar ada juga yang kamu tulis di halaman persembahan. Hahaha!” Tawa Bobby meledak, tidak lama kemudian dia menghentikan tawanya, “Kamu masih belum move on dari Vio?”

Sebuah pertanyaan yang menohok. Sebenarnya aku bukan tidak bisa move on. Aku sudah rela, ikhlas dan kata apapun yang menggambarkan kalo aku gak apa-apa Vio bahagia dengan cowok lain, aku hanya trauma untuk pacaran lagi. Aku dan Vio pacaran selama 2 tahun, walaupun kami beda kampus, kami tetap mesra. Tiap hari aku antar jemput dia, nemenin dia ngerjain tugas, ngerawat dia pas sakit. Semua masa-masa bahagia itu harus berakhir karena yang bikin Vio bahagia ternyata enggak hanya aku seorang, ada juga cowok lain di kampusnya. Aku belum siap untuk patah hati lagi. Berjuang tidak sebercanda itu.

“Aku kasih tau, ya. Untuk move on, yang perlu kamu lakuin cuma satu. buka hatimu.” Kata Bobby serius, sambil merubah posisinya menjadi duduk bersila di kasurku. “Ibarat naik lift, ya. Kalo kamu pengin naik ke atas, cuma butuh pencet satu tombol. Begitu juga move on. Kamu harus temuin ‘tombol’ untuk buka hatimu, nyet.”

“Tombol?” tanyaku, gak ngerti. “Temuinnya di mana?”

Bobby bangkit dari kasurku, lalu berjalan pelan ke arahku, dia mengarahkan telunjuknya ke arahku dan menempelkannya di atas alis kananku.

“Di sini, nih.”

“Kampret!” Aku menghempaskan tangan Bobby dari wajahku. “ ITU TAI LALAT!”

Bobby ngakak gak karuan. Sementara aku misuh-misuh, tawanya mulai reda, lalu ia merogoh kantong celananya untuk mengambil handphone. “Oiya, mau liat pacar baruku?”

“Bukannya udah, ya?” aku menggaruk dahiku. “Tiga hari yang lalu kamu jadian dan tunjukin fotonya. Namanya Anita, kan? Tinggi 165 cm, berat 45 kg, 34b?”

“Elaaahh… udah kuputusin!” Bobby mengehempaskan tangannya ke udara. “Oiya, lain tiga hari. Empat hari! Empat!”

Aku speechless. Sahabat macam apa ini gonta-ganti pacar kayak ganti menu makan sedangkan aku jomblo menahun?! Padahal aku tau, Anita itu cantik banget, Bobby emang sok playboy. Aku tau Bobby gak pernah awet kalo pacaran. Paling lama cuma 5 bulan, paling cepet 5 hari. Tapi sepertinya dia baru saja memecahkan rekor pribadinya sendiri.

“Mau liat fotonya, enggak?” Bobby menggoyang-goyangkan tangannya yang memegang hape. “Ini lebih cantik daripada Anita, lho.”

“Enggak, deh.” Tolakku. “Ntar paling ganti lagi.”

“Enggak. Kali ini aku tobat, aku mau pacaran serius sama yang sekarang. Aku bakal jaga dia.”

Aku hanya menghela nafas, aku sudah sering mendengar Bobby mengucapkan kalimat bullshit itu.

“Oiya, nyet. Ingat pesanku yang tadi, kan?” Bobby menunjukku. “All you need is one button”.

*****

Namaku Jemi, aku mahasiswa jurusan hukum semester 8. Di saat temen-temenku yang lain hanya mengambil mata kuliah skripsi, hanya aku seorang yang masih mengambil mata kuliah semester bawah karena nilaiku C. Sebenernya, mengambil mata kuliah semester bawah ini ada untungnya, ada ruginya. Ruginya adalah aku mahasiswa paling senior di kelas, dan ini memalukan apabila kita tidak lebih pintar dari mahasiswa yang masih polos dan imut-imut itu. Bayangin aja misalnya dosen bertanya padaku tapi aku gak bisa jawab? Bisa-bisa yang niat awalku mengulang mata kuliah, jadinya malah enggak lulus mata kuliah.

Nah, kali ini soal keuntungannya. Aku bisa ngerasain yang namanya naik lift! Dulu, pas awal-awal kuliah, aku kedapatan kelas di gedung baru berlantai 5, sayangnya gedung baru ini gak ada liftnya, dan fakultasku selalu kebagian kelas di lantai 5. Tujuh semester aku naik turun tangga! Saking lelahnya naik turun tangga mulu, waktu itu aku sempat kepikiran untuk naik jetpack, sayangnya aku gak punya. Kampretnya, pas sudah mau lulus begini, eh malah ada lift. Aku jadi percaya pepatah “Apa saja akan terlihat jadi lebih cakep saat sudah jadi mantan.”

Keberadaan lift yang sudah dinanti-nantikan para mahasiswa ini berdampak pada tingkat kenorakan mereka saat naik lift. Karena ini lift satu-satunya dan peminatnya banyak, jadilah banyak yang antri. Pas waktu itu aku lagi antri, ada seorang cowok yang antri di sebelahku sok asik dengan membuka topik pembicaraan. “Antri juga, mas?”

YAIYALAH NGANTRI, MASA IYA COSPLAY JADI PATUNG?!

Aku hanya mengangguk dan menjawab singkat. “Iya.”

“Masnya mau ke lantai berapa emang?” tanyanya lagi.

YA ELAHHH… INI ORANG GAK NGERTI APA KALO AKU MALES NGOBROL SAMA DIA?!

“Lima.” Jawabku, singkat.

“Ohhh…” dia ngangguk-ngangguk. “Kalo saya mau ke lantai dua, hehe.”

GAK NANYA, KAMPRET! LAGI PULA KE LANTAI DUA KENAPA MUSTI NAIK LIFT?! NAIK TANGGA SEMENIT JUGA SAMPE!!!

Untungnya saat itu lift yang sudah sampai ke bawah menyelamatkanku dari berubah menjadi mahluk hijau raksasa dan memukuli cowok sok asik tadi.

*****

Pagi ini aku ada mata kuliah hukum perdagangan internasional, bergabung bersama dedek-dedek semester 4. Kuliah di mulai pukul 8.00. aku melihat jam tangan yang melingkar di tangan kananku, sudah pukul 8.05. “Semoga dosennya belum datang.” Gumamku dalam hati. Dosenku ini terkenal kejam, saking kejamnya, Fir’aun kalo kenal dosenku pun akan minder. Gimana gak kejam coba kalo beliau tidak akan mengizinkan mahasiswanya masuk ke kelasnya jika datang terlambat.

Aku segera berlari dari parkiran menuju lift. Aku benar-benar bersyukur dengan keberadaan lift ini, bayangin aja kalo gak ada lift, aku bakal lari dari parkiran menuju lantai 5 naik tangga. Udah mirip adegan film The Raid. Aku Iko Uwais, dosenku Maddog.

Sepertinya hari ini adalah hari keberuntunganku, aku datang tepat saat liftnya di bawah dan pintunya terbuka. Aku segera masuk ke dalam, bergabung bersama gerombolan mahasiswa lain yang sepertinya sama-sama terancam telat. Pintu lift mulai menutup, dari kejauhan ada seorang mahasiswi setengah berlari menuju pintu lift. Dia memakai baju kaos lengan panjang bermotif belang-belang warna hitam putih, skinny jeans warna hitam, sepatu sport warna putih dan menenteng totebag.

“Narapidana kabur dari sel mana, nih?”

Aku segera menghentikan pintu lift yang akan menutup, dia pun berhasil masuk ke dalam, “Makasih. Hhhh… hhhh….” Dia mengantur nafasnya, lalu tersenyum ke arahku, manis.

“I-iya. Sama-sama.”  Aku membalas senyumnya. Duh, dari dekat begini ternyata cantik banget, kampret.

Bulir-bulir keringat tampak muncul di sekitar dahinya, membuat kulit putihnya tampak mengkilap. Dia pun mengambil karet ikat rambut dari pergelangan kirinya, lalu menguncir rambut hitam panjangnya. Cewek yang memakai baju motif belang-belang aja sudah bikin dengkulku lemes, ditambah gerakan menguncir rambut, rasanya aku mau mimisan.

Pintu lift pun tertutup, aku segera memencet tombol berangka lima. Lift mulai mulai bergerak naik ke atas, mengantarkan para mahasiswa ini ke lantai kelasnya masing-masing.

“Sarah! Oi!” terdengar suara cempreng seorang cewek yang berdiri di belakangku. Cewek yang berbaju belang-belang yang ada di depanku tampak mencari sumber suara.

“Oh, namanya Sarah.” Ujarku dalam hati.

Cewek yang bernama sarah ini akhirnya menemukan sumber suara yang memanggilnya, dia tersenyum lalu melambaikan tangannya, tanda tidak kuat melihat wajahku. Oke, bukan, tentu saja dia menyapa temannya itu.

Lift berhenti di lantai tiga. Beberapa mahasiswa yang yang ada di dalam lift beranjak ke luar, termasuk si Sarah, yang tersisa di dalam lift hanya ada aku dan seorang bapak-bapak tua yang memakai kacamata tebal, kemeja batik kebesaran dan celana bahan, dia menenteng buku tebal dengan judul “hukum perdagangan internasional”.

“Lah, dosenku.”

Awkward moment.

Aku yakin, sesaat setelah keluar dari lift akan terjadi sebuah pertarungan sengit untuk balapan sampai ke kelas.

*****

Di rumah aku jadi kepikiran dengan cewek yang bernama Sarah ini. Senyum manisnya terbayang-bayang di otakku, adegan mengikat rambut terekam dengan baik pula. Berbagai pertanyaan mulai muncul di kepalaku. Aku kuliah hampir empat tahun kenapa baru lihat cewek secantik dia di kampus? Ke mana aja aku selama ini? Vio udah ngapain aja sama pacar barunya?

Aku pun mulai berusaha mencari informasi soal sarah dan menemukan beberapa fakta.
1.Dia cewek
2.Dia cantik
3.Dia pasti anak ekonomi! Karena cewek-cewek fakultas ekonomi di kampus mana pun pasti cantik! Oke, enggak. Aku tau dia anak ekonomi karena kelasnya di lantai 3, kelas anak-anak ekonomi.

Jangan-jangan kehadiran Sarah ini adalah ‘tombol’ untuk membuka hatiku? Aku jadi enggak sabar untuk ketemu Sarah lagi… minggu depan. Nasib mahasiswa tingkat akhir, makin dikit mata kuliah yang diambil, makin dikit pula kelihatan beredar di kampus. Mau ke kampus dengan alasan bimbingan skripsi tapi proposalku sendiri masih stuck di… judul.

*****

Menunggu selama seminggu ternyata cukup menyiksaku. Aku benar-benar pengin melihat si Sarah lagi.

Aku masih di sekitaran parkiran, tolah-toleh mencari Sarah, berharap dapat satu lift lagi sama dia. Kadang perasaan bisa se-random ini, kita berharap kepada orang yang tidak tau keberadaan diri kita.

Pintu lift sudah terbuka, para mahasiswa mulai berebut untuk masuk ke dalam, dari jauh mereka sudah mirip para zombie di serial the walking dead yang liat manusia lagi tidur anteng. Aku pun segera menuju gerombolan mahasiswa itu, berkat status mahasiswa senior ini aku berhasil masuk ke dalam dan…

DEG!

ADA SARAH!

Entah kenapa kali ini Sarah terlihat lebih cantik daripada saat pertama ketemu. Sarah berdiri di bagian samping lift, dekat deretan tombol lantai yang akan dituju. Tadi aku berhadap satu lift lagi sama dia, giliran sudah ketemu gini aku malah mati gaya, bingung harus apa. Apakah aku harus kejang-kejang karena bahagia, atau langsung menyanyikan lagunya Naff yang berjudul ‘akhirnya kumenemukanmu’? aku cuma bisa tersenyum najis sambil menatap dia.

“Lantai berapa, kak?” kalimat Tanya itu keluar dari mulutnya sarah. Suaranya? Imut! Bahkan lebih imut suaranya Sarah dibandingkan suara Winny Putri Lubis yang promosiin akun pembesar payudara di instagram. Dengkulku terasa lemas.

“Uh-uhmm… lima.” Aku gelagapan dan segera mengarahkan tanganku untuk memencet tombol berangka lima. Tangannya Sarah ternyata juga memencet tombol yang sama. Jari kami beradu, di sebuah tombol lift. Dunia terasa menjadi lambat, cupid datang menancapkan panahnya ke hatiku. Sayup-sayup mulai terdengar lagunya Adera – Lebih Indah.

Dan kau hadir…
merubah segalanya…
menjadi lebih indah….

Mataku yang tadinya melihat jari yang beradu, kini mengalihkan pandangannya ke wajah sarah, pipinya memerah dan mulutnya sedikit terbuka, malu. Dia segera menarik tangannya, melirikku secepat Sonic the hedgehoc berlari dan menunduk. Malu part 2. 

“Cieeee…”

Suara sumbang dan penuh penghinaan dari seorang cowok di belakangku merusak momen indahku. Aku segera meliriknya dengan pandangan kamu-mau-dilempar-keluar-dari-lift?. Cowok tadipun diam. Aku tahu bahwa cowok itu adalah juniorku. Sepertinya dia belum tau kalo aku paling gak bisa diajak bercanda.

Lift bergerak naik ke atas, tidak lama kemudian lift berhenti dan membuka pintunya, lantai tiga. Sarah segera melesat ke luar dan setengah berlari menuju kelasnya, disusul beberapa mahasiswa lain. Menyisakanku di dalam bersama cowok yang tadi nge-cieee-in aku. Pintu lift pun tertutup, aku mendorong tanganku ke depan, merenggangkan otot lenganku, mengepalkan kedua tanganku dan mulai membunyikan jari-jariku.

Kretek. Kretek. Kretek.

Sambil tersenyum dan mengangkat alis sebelah, aku menatap juniorku tadi. “Tadi kamu bilang apa? Cie?” tanyaku dengan nada datar. Juniorku tadi pipis di celana.

*****

Selama di kelas, yang biasanya aku lalui dengan menahan kantuk, kali ini berganti menjadi menahan senyum-senyum sendiri. Sangat tidak keren sekali seorang senior senyum-senyum sendiri di kelas yang berisi 99% junior, selain wibawaku akan hancur, ntar mereka mengira aku sudah gila karena skripsi.

Ketika sang dosen mengeluarkan kalimat yang ditunggu-tunggu, yaitu, “Kuliah hari ini cukup sampai di sini.” Aku langsung melesat ke luar kelas, pengin segera pulang dan senyum-senyum sendiri sepuasnya di kamar. Aku sudah berdiri di depan lift, menunggu sebentar dan pintu lift pun terbuka. Aku segera masuk ke dalam, sendirian. Lift mulai bergerak turun, beberapa saat kemudian berhenti, di lantai tiga. Pintu lift terbuka.

Ada Sarah dan beberapa temannya. Mata kami bertemu. “Tuh, udah kebuka liftnya, bilang mau pulang duluan?” kata cewek di sebelah Sarah.

“Uh…” Sarah menggigit bibir bagian bawahnya, “Ya-yaudah, aku duluan, ya.” Dia pun melangkahkan kakinya ke dalam lift, dan tersenyum tipis. Aku berusaha se-cool mungkin, padahal girang setengah mampus.

Pintu lift tertutup.

Sarah hanya diam menunduk, mungkin masih malu karena kejadian tadi pagi. Aku sendiri bingung harus apa, kalo diam begini aja aku gak bakal menghasilkan apa-apa. Aku beranikan diri untuk membuka percakapan, “Ma-mau ke bawah, ya?”

Sarah melirikku, “I-iya.”

PERTANYAAN MACAM APA ITU, JEM?! INI KAN LIFTNYA EMANG KE BAWAH, NGAPAIN DITANYA?!

“Kamu yang waktu itu hampir ketinggalan lift itu, bukan?” aku coba basa-basi lagi.

“I-iya, kak. Hehe…” jawabnya sambil tertawa kecil. “Kakak yang berhentiin pintunya, kan biar aku bisa masuk?”

“Iya haha…” aku menggaruk kepalaku. “Sama kamu yang tadi pagi barengan mencet tombol lift itu, ya?”

Mendengar pertanyaanku, Sarah kembali menunduk, sepertinya dia benar-benar malu mengingat kejadian tadi pagi, “I-itu gak sengaja, kak.” Jawabnya gelagapan.

Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang menyembunyikan rasa malunya. Aku pun memberanikan diri untuk menyodorkan tanganku, “Jemi. Hukum semester 8. Kita belum kenalan, kan?”

Perlahan, sarah melirikku, sedikit ragu tangannya menyambut tanganku yang sudah tergantung selama 2 detik. Dari bibir tipisnya dia menyebutkan namanya, “Sa-Sarah. Ekonomi semester 4, kak.”

Halus banget tangannya… Pasti dia gak pernah angkat-angkat batu bata.

“Oke. Cukup sampai kenalan aja, jangan terlalu agresif minta kontaknya, apa lagi minta bayarin cicilan motor.” Ucapku dalam hati.

Lift pun berhenti. Kami melepaskan jabatan tangan kami. Pintu lift mulai terbuka. Sarah melangkahkan kakinya ke depan pintu, langkah kakinya terhenti, dia menoleh ke arahku dan tersenyum, “Duluan kak.”

“Uhh… Iya.” Aku tersenyum lebar. “Hati-hati.”

*****

Sepertinya aku benar-benar lagi jatuh cinta. Orang yang jatuh cinta cenderung suka senyum-senyum sendiri, tiap melihat cermin bawaannya pengin bercermin terus, memastikan diri ini ganteng abadi, dan mulai berfantasi liar dengan orang yang membuat kita bertindak bodoh seperti tadi. Misalnya saja membayangkan lagi ngambil uang di ATM, pas mau pergi ada tukang parkir, eh tukang parkirnya ternyata Sarah. Aku sudah lama gak merasakan perasaan seperti ini. Bayangan Sarah selalu muncul di tiap aktifitasku. Selama seminggu terakhir aku jadi lebih bersemangat, proposal skripsiku pun terkena dampaknya, sekarang aku sudah masuk Bab 2.

Pukul 7 pagi aku sudah di kamar mandi, yang biasanya aku mandi hanya seperti injury time pertandingan sepak bola, alias 3 menit, kali ini aku mandi 20 menit. Ibuku sempat curiga kenapa aku mandi lama sekali. “Kamu ngapain aja di dalam sana, kok lama?!” Selidik beliau.

“Ya mandi, lah!” jawabku.

“Sabunnya kok belakangan ini cepat habis, ya?”

“Uhhh… aku buru-buru, Bu. Ntar telat.”

Parfum hampir satu botol kusemprotkan ke badanku. Baju yang biasanya kuambil langsung dari tumpukan baju, kali ini aku setrika rapi. Aku pun berangkat kuliah dengan tujuan utama bertemu Sarah dan meminta kontaknya. “Langkah awal PDKT akan terjadi hari ini!” aku mengepalkan tanganku ke udara.

Sampai di kampus, aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 8.05, “Biasanya jam segini nih Sarah datang.” Gumamku dalam hati, sambil berusaha menahan dari perbuatan hina: senyum-senyum gak jelas.

Pintu lift terbuka, aku segera menuju ke sana dan menyiapkan senyum terbaik, sampai di dalam mataku menatap ke segala penjuru, seperti terminator yang mengidentifikasi orang-orang yang ada di hadapannya, aku tidak menemukan Sarah.

Sudah rapi dan ganteng begini masa gak ketemu, sih?!

Aku menaruh kedua tanganku ke kantong celana jeansku, dan menepuk-nepuknya, “Eh, kunciku ketinggalan di motor!” aku keluar dari lift, padahal kuncinya ada di celanaku.

Aku berjalan menjauhi lift, mengamati dari kejauhan, menunggu Sarah ada di dalam sana. 10 menit berlalu, sudah 2 kali lift naik-turun. “Mungkin dia datang cepet kali, ya?” pikirku. Dengan langkah lemas aku menuju lift, tidak ada mahasiswa lain yang masuk ke dalam lift kecuali aku. Sampai di lantai 5, aku menuju kelasku, di dalam sana sudah ada dosen, aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dosenku memicingkan matanya ke arahku.

“Maaf, Pak, saya terlambat.” ucapku pelan.

“Ya silakan.” Dosenku membenarkan posisi kacamatanya. “Tutup pintunya dari luar.”

Para junior yang ada di dalam kelas terlihat menahan tawa.

Shit.

Aku memutar, tidak jadi masuk kelas dan kembali menuju lift. Langkahku terasa makin berat. Terlalu banyak berharap dan tidak sesuai dengan realita ternyata membuat hati ini sesak.

Pintu lift terbuka. Dengan rasa kecewa aku masuk ke dalam, aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri, yang dibodohi oleh harapan-harapan yang kubuat sendiri. Laju lift ini pun terasa lebih lambat. Aku menghela nafas panjang.

Lift berhenti, aku melirik layar di bagian atas, menunjukkan lantai tiga. Perlahan pintu lift terbuka dan ada sosok yang aku harapkan. Sarah! Dia memakai kemeja flannel kotak-kotak berwarna merah yang tidak dikancing, membiarkan tanktop hitamnya terlihat, dia berdiri menunggu lift dengan seorang cowok yang dengan erat ia gandeng tangannya.

“Loh, nyet?” kata cowok itu, dia mendatangiku sambil menggandeng Sarah.
Aku mengucek mataku berkali-kali, seperti tidak percaya apa yang aku lihat.

“Bobby?” tanyaku memastikan.

“Iya, kamu ngapain? Gak kuliah?”

Pandanganku terfokus ke tangan mereka yang bergandengan erat.

“A-Aku telat, gak dibolehin masuk.” Jawabku, berusaha fokus dan cool. “Kamu ngapain di sini? Kelas anak teknik di gedung sebelah, kan?”

“Aku juga telat terus gak dibolehin masuk sama dosenku hahaha. Yaudah aku susulin dia,” Bobby menunjuk Sarah. “Oh iya, ini kenalin pacarku. Dia senasib sama kita.”

Pa-Pacar? Kretek. Ada suara hati yang patah.

Aku melirik Sarah, dia hanya menunduk sambil perlahan melepaskan genggaman tangan Bobby.

“Sarah, kenalin ini sahabatku, Jemi.” Bobby menunjukku, lalu menunjuk Sarah. “Jem, ini Sarah, yang waktu itu kamu gak mau lihat fotonya. Tapi cantikan aslinya kok dibandingkan fotonya.”

Kami pun berkenalan lagi. Canggung.

Pintu lift terbuka, kami bertiga keluar. Jika minggu lalu aku merasa lift yang membawaku turun bersama Sarah terasa sangat cepat, kali ini aku merasa sangat lambat dan menyiksa. Dadaku semakin terasa sesak.

“Kita mau ke McD, mau ikut?” ajak Bobby.

SEKALIAN AJA AJAK NGOPI KE STARBAK BIAR AKU KASIH SIANIDA!

“Enggak, deh. Aku mau pulang, skripsian.”

“Errr… yaudah kita duluan, ya. Semangat, Jem!” kata Bobby. “Tuh, udah aku semangatin, kasian kamu gak ada yang nyemangtin hahaha!”

“….”

Mereka berdua pun perlahan menghilang dari pandanganku, sambil bergandengan tangan mesra. Meninggalkanku yang tampak baik-baik saja di luar, tapi rapuh di dalam. Jika kata Bobby untuk move on aku hanya butuh satu tombol, begitu pun patah hati, aku juga hanya butuh satu tombol untuk itu.

Thank you, Bob.




######

Di tengah proses skripsian, gue ditantangin untuk bikin cerpen oleh para kampret ini, Kresnoadi, Ichsan dan Daus. Jadi kesepakatannya adalah kita bikin sebuah cerpen dengan tema yang sama, yaitu lift, dengan genre bebas, yang penting berhubungan dengan lift. Karena gue gak terlalu bisa bikin cerpen, jadilah… ini hasilnya.

Cerpen punya Kresnoadi bisa dibaca di sini.
Cerpen punya Daus bisa dibaca di sini
Cerpen punya Ichsan gak usah dibaca, tapi kalo mau buang-buang kuota ya silakan baca di sini.
 
Buat yang diem-diem baca, kalo mau ikutan, hayuk bikin~