Siang itu aku hanya terbengong di
hadapan laptopku, dengan posisi duduk di depan meja belajar, lembar dokumen
Microsoft word yang sudah kubuka 15 menit yang lalu masih tampak polos, belum
ada terketik sepatah kata pun. Aku mengalihkan pandanganku ke jendela, siapa
tau aku dapat menemukan inspirasi untuk memulai paragraf awal proposal
skripsiku. Bukannya mendapat kalimat fantastis, aku malah mendapati cuaca di
luar mendadak berubah menjadi mendung. Awan hitam mulai meluas di angkasa,
menutupi sinar matahari, angin juga mulai berhembus kencang, membuat pepohonan mulai
terombang-ambing mengikuti arah datangnya angin, juga membuat beberapa ibu-ibu
mulai ke luar rumah untuk mengangkat jemuran, mengantisipasi kejadian daster
kesayangan terbang tertiup angin.
“Wuihhhh… anginnya sadis!” ujar
Bobby yang tiba-tiba menempelkan wajahnya di jendela kamarku. “Ini enggak ada
beha terbang gitu, ya?”
Aku hanya menghela nafas panjang
mendengar pertanyaan Bobby. Aku lebih memilih untuk kembali fokus dengan
laptopku. Berusaha mencari kalimat yang bagus untuk diketik.
“Kalo katanya hujan itu adalah
raksasa lagi nangis, kalo angin kenceng gini apa coba? Raksasa kentut?”
tanyanya lagi.
Aku menghentikan kegiatanku,
menatapnya dengan memicingkan mataku, seperti pembunuh. Bobby mengangkat kedua
tangannya bak tersangka, dengan entengnya dia bertanya, “Ke…kenapa? Salah?”
Tanpa menjawab, aku kembali sibuk
dengan laptopku.
“Sensi amat, nyet.” Sungut Bobby.
“Pantesan kamu jomlo menahun.”
Aku kembali menghentikan kegiatanku,
lalu memutar kursi, di hadapanku kini ada si Bobby yang lagi asik ngulet di
kasurku. Lagi-lagi dia memasang muka tidak bersalah.
“Bener, kan?” tanyanya. “Kamu sudah
dua tahun jomlo, semenjak terakhir pacaran sama… siapa itu? Ah! Saking lamanya aku
sampai lupa siapa nama mantanmu itu.”
“Vio.” Jawabku datar.
“Nah, Vio!” Bobby menepuk kedua
tangannya. “Yamaha vio!”
“ITU MIO!” sanggahku, sebal.
“Hehehe…” Bobby nyengir. “Oiya, Vio
sudah ngapain aja ya sama pacar barunya?”
“Kampret!” balasku emosi. Hampir
saja kulempar laptopku, tapi gak jadi, mahal.
“Coba kamu cari pacar sana,” kata
Bobby enteng. Seakan-akan nyari pacar itu kayak nyari air di lautan.
“Aku lagi gak pengin pacaran. Fokus
skripsian.” Jawabku mantap, sambil menunjuk laptop yang ada di belakangku.
“Elaaahh… Skripsian masih bisa tahun
depan.” Lagi-lagi jawaban Bobby bikin kesal.
“Biar wisudanya barengan sama kamu?
Ogah.”
Bobby nyengir lagi.
Aku dan Bobby walaupun seumuran,
tapi kami beda setahun saat kuliah. Setelah lulus SMA, aku langsung kuliah,
sedangkan Bobby mencoba untuk mendaftar akademi polisi, sayangnya gagal. Karena
trauma ditolak dan gak biasa ditolak, dia pun menyerah dan kini menjadi
juniorku di kampus, walaupun beda jurusan. Aku mengambil jurusan hukum, Bobby
mengambil jurusan tol cipularang, oke bukan, teknik mesin.
“Buat apa emang pacaran?”
“Ya biar ada yang nyemangatin, biar
ada juga yang kamu tulis di halaman persembahan. Hahaha!” Tawa Bobby meledak,
tidak lama kemudian dia menghentikan tawanya, “Kamu masih belum move on dari
Vio?”
Sebuah pertanyaan yang menohok.
Sebenarnya aku bukan tidak bisa move on. Aku sudah rela, ikhlas dan kata apapun
yang menggambarkan kalo aku gak apa-apa Vio bahagia dengan cowok lain, aku
hanya trauma untuk pacaran lagi. Aku dan Vio pacaran selama 2 tahun, walaupun
kami beda kampus, kami tetap mesra. Tiap hari aku antar jemput dia, nemenin dia
ngerjain tugas, ngerawat dia pas sakit. Semua masa-masa bahagia itu harus
berakhir karena yang bikin Vio bahagia ternyata enggak hanya aku seorang, ada juga
cowok lain di kampusnya. Aku belum siap untuk patah hati lagi. Berjuang tidak
sebercanda itu.
“Aku kasih tau, ya. Untuk move on,
yang perlu kamu lakuin cuma satu. buka hatimu.” Kata Bobby serius, sambil
merubah posisinya menjadi duduk bersila di kasurku. “Ibarat naik lift, ya. Kalo
kamu pengin naik ke atas, cuma butuh pencet satu tombol. Begitu juga move on.
Kamu harus temuin ‘tombol’ untuk buka hatimu, nyet.”
“Tombol?” tanyaku, gak ngerti.
“Temuinnya di mana?”
Bobby bangkit dari kasurku, lalu
berjalan pelan ke arahku, dia mengarahkan telunjuknya ke arahku dan
menempelkannya di atas alis kananku.
“Di sini, nih.”
“Kampret!” Aku menghempaskan tangan
Bobby dari wajahku. “ ITU TAI LALAT!”
Bobby ngakak gak karuan. Sementara
aku misuh-misuh, tawanya mulai reda, lalu ia merogoh kantong celananya untuk
mengambil handphone. “Oiya, mau liat pacar baruku?”
“Bukannya udah, ya?” aku menggaruk
dahiku. “Tiga hari yang lalu kamu jadian dan tunjukin fotonya. Namanya Anita,
kan? Tinggi 165 cm, berat 45 kg, 34b?”
“Elaaahh… udah kuputusin!” Bobby
mengehempaskan tangannya ke udara. “Oiya, lain tiga hari. Empat hari! Empat!”
Aku speechless. Sahabat macam apa ini gonta-ganti pacar kayak ganti menu
makan sedangkan aku jomblo menahun?! Padahal aku tau, Anita itu cantik banget, Bobby
emang sok playboy. Aku tau Bobby gak pernah awet kalo pacaran. Paling lama cuma
5 bulan, paling cepet 5 hari. Tapi sepertinya dia baru saja memecahkan rekor
pribadinya sendiri.
“Mau liat fotonya, enggak?” Bobby
menggoyang-goyangkan tangannya yang memegang hape. “Ini lebih cantik daripada
Anita, lho.”
“Enggak, deh.” Tolakku. “Ntar paling
ganti lagi.”
“Enggak. Kali ini aku tobat, aku mau
pacaran serius sama yang sekarang. Aku bakal jaga dia.”
Aku hanya menghela nafas, aku sudah
sering mendengar Bobby mengucapkan kalimat bullshit
itu.
“Oiya, nyet. Ingat pesanku yang
tadi, kan?” Bobby menunjukku. “All you
need is one button”.
*****
Namaku Jemi, aku mahasiswa jurusan
hukum semester 8. Di saat temen-temenku yang lain hanya mengambil mata kuliah
skripsi, hanya aku seorang yang masih mengambil mata kuliah semester bawah
karena nilaiku C. Sebenernya, mengambil mata kuliah semester bawah ini ada
untungnya, ada ruginya. Ruginya adalah aku mahasiswa paling senior di kelas,
dan ini memalukan apabila kita tidak lebih pintar dari mahasiswa yang masih
polos dan imut-imut itu. Bayangin aja misalnya dosen bertanya padaku tapi aku
gak bisa jawab? Bisa-bisa yang niat awalku mengulang mata kuliah, jadinya malah
enggak lulus mata kuliah.
Nah, kali ini soal keuntungannya.
Aku bisa ngerasain yang namanya naik lift! Dulu, pas awal-awal kuliah, aku
kedapatan kelas di gedung baru berlantai 5, sayangnya gedung baru ini gak ada
liftnya, dan fakultasku selalu kebagian kelas di lantai 5. Tujuh semester aku
naik turun tangga! Saking lelahnya naik turun tangga mulu, waktu itu aku sempat
kepikiran untuk naik jetpack,
sayangnya aku gak punya. Kampretnya, pas sudah mau lulus begini, eh malah ada lift.
Aku jadi percaya pepatah “Apa saja akan terlihat
jadi lebih cakep saat sudah jadi mantan.”
Keberadaan lift yang sudah
dinanti-nantikan para mahasiswa ini berdampak pada tingkat kenorakan mereka
saat naik lift. Karena ini lift satu-satunya dan peminatnya banyak, jadilah
banyak yang antri. Pas waktu itu aku lagi antri, ada seorang cowok yang antri
di sebelahku sok asik dengan membuka topik pembicaraan. “Antri juga, mas?”
YAIYALAH
NGANTRI, MASA IYA COSPLAY JADI PATUNG?!
Aku hanya mengangguk dan menjawab
singkat. “Iya.”
“Masnya mau ke lantai berapa emang?”
tanyanya lagi.
YA
ELAHHH… INI ORANG GAK NGERTI APA KALO AKU MALES NGOBROL SAMA DIA?!
“Lima.” Jawabku, singkat.
“Ohhh…” dia ngangguk-ngangguk. “Kalo
saya mau ke lantai dua, hehe.”
GAK
NANYA, KAMPRET! LAGI PULA KE LANTAI DUA KENAPA MUSTI NAIK LIFT?! NAIK TANGGA
SEMENIT JUGA SAMPE!!!
Untungnya saat itu lift yang sudah
sampai ke bawah menyelamatkanku dari berubah menjadi mahluk hijau raksasa dan
memukuli cowok sok asik tadi.
*****
Pagi ini aku ada mata kuliah hukum perdagangan
internasional, bergabung bersama dedek-dedek semester 4. Kuliah di mulai pukul
8.00. aku melihat jam tangan yang melingkar di tangan kananku, sudah pukul
8.05. “Semoga dosennya belum datang.” Gumamku dalam hati. Dosenku ini terkenal
kejam, saking kejamnya, Fir’aun kalo kenal dosenku pun akan minder. Gimana gak
kejam coba kalo beliau tidak akan
mengizinkan mahasiswanya masuk ke kelasnya jika datang terlambat.
Aku segera berlari dari parkiran
menuju lift. Aku benar-benar bersyukur dengan keberadaan lift ini, bayangin aja
kalo gak ada lift, aku bakal lari dari parkiran menuju lantai 5 naik tangga. Udah
mirip adegan film The Raid. Aku Iko Uwais, dosenku Maddog.
Sepertinya hari ini adalah hari
keberuntunganku, aku datang tepat saat liftnya di bawah dan pintunya terbuka.
Aku segera masuk ke dalam, bergabung bersama gerombolan mahasiswa lain yang
sepertinya sama-sama terancam telat. Pintu lift mulai menutup, dari kejauhan
ada seorang mahasiswi setengah berlari menuju pintu lift. Dia memakai baju kaos
lengan panjang bermotif belang-belang warna hitam putih, skinny jeans warna
hitam, sepatu sport warna putih dan
menenteng totebag.
“Narapidana kabur dari sel mana,
nih?”
Aku segera menghentikan pintu lift
yang akan menutup, dia pun berhasil masuk ke dalam, “Makasih. Hhhh… hhhh….” Dia
mengantur nafasnya, lalu tersenyum ke arahku, manis.
“I-iya. Sama-sama.” Aku membalas senyumnya. Duh, dari dekat begini ternyata cantik banget, kampret.
Bulir-bulir keringat tampak muncul
di sekitar dahinya, membuat kulit putihnya tampak mengkilap. Dia pun mengambil
karet ikat rambut dari pergelangan kirinya, lalu menguncir rambut hitam
panjangnya. Cewek yang memakai baju motif belang-belang aja sudah bikin
dengkulku lemes, ditambah gerakan menguncir rambut, rasanya aku mau mimisan.
Pintu lift pun tertutup, aku segera
memencet tombol berangka lima. Lift mulai mulai bergerak naik ke atas, mengantarkan
para mahasiswa ini ke lantai kelasnya masing-masing.
“Sarah! Oi!” terdengar suara
cempreng seorang cewek yang berdiri di belakangku. Cewek yang berbaju
belang-belang yang ada di depanku tampak mencari sumber suara.
“Oh, namanya Sarah.” Ujarku dalam
hati.
Cewek yang bernama sarah ini akhirnya
menemukan sumber suara yang memanggilnya, dia tersenyum lalu melambaikan
tangannya, tanda tidak kuat melihat wajahku. Oke, bukan, tentu saja dia menyapa
temannya itu.
Lift berhenti di lantai tiga.
Beberapa mahasiswa yang yang ada di dalam lift beranjak ke luar, termasuk si
Sarah, yang tersisa di dalam lift hanya ada aku dan seorang bapak-bapak tua
yang memakai kacamata tebal, kemeja batik kebesaran dan celana bahan, dia menenteng buku tebal
dengan judul “hukum perdagangan internasional”.
“Lah, dosenku.”
Awkward
moment.
Aku yakin, sesaat setelah keluar
dari lift akan terjadi sebuah pertarungan sengit untuk balapan sampai ke kelas.
*****
Di rumah aku jadi kepikiran dengan
cewek yang bernama Sarah ini. Senyum manisnya terbayang-bayang di otakku,
adegan mengikat rambut terekam dengan baik pula. Berbagai pertanyaan mulai
muncul di kepalaku. Aku kuliah hampir empat tahun kenapa baru lihat cewek
secantik dia di kampus? Ke mana aja aku selama ini? Vio udah ngapain aja sama
pacar barunya?
Aku pun mulai berusaha mencari
informasi soal sarah dan menemukan beberapa fakta.
1.Dia cewek
2.Dia cantik
3.Dia pasti anak ekonomi! Karena
cewek-cewek fakultas ekonomi di kampus mana pun pasti cantik! Oke, enggak. Aku
tau dia anak ekonomi karena kelasnya di lantai 3, kelas anak-anak ekonomi.
Jangan-jangan kehadiran Sarah ini
adalah ‘tombol’ untuk membuka hatiku? Aku jadi enggak sabar untuk ketemu Sarah
lagi… minggu depan. Nasib mahasiswa tingkat akhir, makin dikit mata kuliah yang
diambil, makin dikit pula kelihatan beredar di kampus. Mau ke kampus dengan
alasan bimbingan skripsi tapi proposalku sendiri masih stuck di… judul.
*****
Menunggu selama seminggu ternyata
cukup menyiksaku. Aku benar-benar pengin melihat si Sarah lagi.
Aku masih di sekitaran parkiran,
tolah-toleh mencari Sarah, berharap dapat satu lift lagi sama dia. Kadang
perasaan bisa se-random ini, kita berharap kepada orang yang tidak tau
keberadaan diri kita.
Pintu lift sudah terbuka, para
mahasiswa mulai berebut untuk masuk ke dalam, dari jauh mereka sudah mirip para
zombie di serial the walking dead
yang liat manusia lagi tidur anteng. Aku pun segera menuju gerombolan mahasiswa
itu, berkat status mahasiswa senior ini aku berhasil masuk ke dalam dan…
DEG!
ADA SARAH!
Entah kenapa kali ini Sarah terlihat
lebih cantik daripada saat pertama ketemu. Sarah berdiri di bagian samping
lift, dekat deretan tombol lantai yang akan dituju. Tadi aku berhadap satu lift
lagi sama dia, giliran sudah ketemu gini aku malah mati gaya, bingung harus
apa. Apakah aku harus kejang-kejang karena bahagia, atau langsung menyanyikan
lagunya Naff yang berjudul ‘akhirnya kumenemukanmu’? aku cuma bisa tersenyum
najis sambil menatap dia.
“Lantai berapa, kak?” kalimat Tanya
itu keluar dari mulutnya sarah. Suaranya? Imut! Bahkan lebih imut suaranya
Sarah dibandingkan suara Winny Putri Lubis yang promosiin akun pembesar
payudara di instagram. Dengkulku terasa lemas.
“Uh-uhmm… lima.” Aku gelagapan dan
segera mengarahkan tanganku untuk memencet tombol berangka lima. Tangannya Sarah
ternyata juga memencet tombol yang sama. Jari kami beradu, di sebuah tombol
lift. Dunia terasa menjadi lambat, cupid datang menancapkan panahnya ke hatiku.
Sayup-sayup mulai terdengar lagunya Adera – Lebih Indah.
Dan
kau hadir…
merubah
segalanya…
menjadi
lebih indah….
Mataku yang tadinya melihat jari
yang beradu, kini mengalihkan pandangannya ke wajah sarah, pipinya memerah dan
mulutnya sedikit terbuka, malu. Dia segera menarik tangannya, melirikku secepat
Sonic the hedgehoc berlari dan menunduk. Malu part 2.
“Cieeee…”
Suara sumbang dan penuh penghinaan
dari seorang cowok di belakangku merusak momen indahku. Aku segera meliriknya
dengan pandangan kamu-mau-dilempar-keluar-dari-lift?.
Cowok tadipun diam. Aku tahu bahwa cowok itu adalah juniorku. Sepertinya dia
belum tau kalo aku paling gak bisa diajak bercanda.
Lift bergerak naik ke atas, tidak
lama kemudian lift berhenti dan membuka pintunya, lantai tiga. Sarah segera
melesat ke luar dan setengah berlari menuju kelasnya, disusul beberapa
mahasiswa lain. Menyisakanku di dalam bersama cowok yang tadi nge-cieee-in aku.
Pintu lift pun tertutup, aku mendorong tanganku ke depan, merenggangkan otot
lenganku, mengepalkan kedua tanganku dan mulai membunyikan jari-jariku.
Kretek.
Kretek. Kretek.
Sambil tersenyum dan mengangkat alis
sebelah, aku menatap juniorku tadi. “Tadi kamu bilang apa? Cie?” tanyaku dengan
nada datar. Juniorku tadi pipis di celana.
*****
Selama di kelas, yang biasanya aku
lalui dengan menahan kantuk, kali ini berganti menjadi menahan senyum-senyum sendiri.
Sangat tidak keren sekali seorang senior senyum-senyum sendiri di kelas yang
berisi 99% junior, selain wibawaku akan hancur, ntar mereka mengira aku sudah
gila karena skripsi.
Ketika sang dosen mengeluarkan
kalimat yang ditunggu-tunggu, yaitu, “Kuliah hari ini cukup sampai di sini.”
Aku langsung melesat ke luar kelas, pengin segera pulang dan senyum-senyum
sendiri sepuasnya di kamar. Aku sudah berdiri di depan lift, menunggu sebentar
dan pintu lift pun terbuka. Aku segera masuk ke dalam, sendirian. Lift mulai
bergerak turun, beberapa saat kemudian berhenti, di lantai tiga. Pintu lift
terbuka.
Ada Sarah dan beberapa temannya.
Mata kami bertemu. “Tuh, udah kebuka liftnya, bilang mau pulang duluan?” kata
cewek di sebelah Sarah.
“Uh…” Sarah menggigit bibir bagian
bawahnya, “Ya-yaudah, aku duluan, ya.” Dia pun melangkahkan kakinya ke dalam
lift, dan tersenyum tipis. Aku berusaha se-cool mungkin, padahal girang
setengah mampus.
Pintu lift tertutup.
Sarah hanya diam menunduk, mungkin
masih malu karena kejadian tadi pagi. Aku sendiri bingung harus apa, kalo diam
begini aja aku gak bakal menghasilkan apa-apa. Aku beranikan diri untuk membuka
percakapan, “Ma-mau ke bawah, ya?”
Sarah melirikku, “I-iya.”
PERTANYAAN
MACAM APA ITU, JEM?! INI KAN LIFTNYA EMANG KE BAWAH, NGAPAIN DITANYA?!
“Kamu yang waktu itu hampir
ketinggalan lift itu, bukan?” aku coba basa-basi lagi.
“I-iya, kak. Hehe…” jawabnya sambil
tertawa kecil. “Kakak yang berhentiin pintunya, kan biar aku bisa masuk?”
“Iya haha…” aku menggaruk kepalaku.
“Sama kamu yang tadi pagi barengan mencet tombol lift itu, ya?”
Mendengar pertanyaanku, Sarah
kembali menunduk, sepertinya dia benar-benar malu mengingat kejadian tadi pagi,
“I-itu gak sengaja, kak.” Jawabnya gelagapan.
Aku hanya tertawa melihat tingkahnya
yang menyembunyikan rasa malunya. Aku pun memberanikan diri untuk menyodorkan
tanganku, “Jemi. Hukum semester 8. Kita belum kenalan, kan?”
Perlahan, sarah melirikku, sedikit
ragu tangannya menyambut tanganku yang sudah tergantung selama 2 detik. Dari bibir
tipisnya dia menyebutkan namanya, “Sa-Sarah. Ekonomi semester 4, kak.”
Halus
banget tangannya… Pasti dia gak pernah angkat-angkat batu bata.
“Oke. Cukup sampai kenalan aja,
jangan terlalu agresif minta kontaknya, apa lagi minta bayarin cicilan motor.” Ucapku
dalam hati.
Lift pun berhenti. Kami melepaskan
jabatan tangan kami. Pintu lift mulai terbuka. Sarah melangkahkan kakinya ke
depan pintu, langkah kakinya terhenti, dia menoleh ke arahku dan tersenyum,
“Duluan kak.”
“Uhh… Iya.” Aku tersenyum lebar.
“Hati-hati.”
*****
Sepertinya aku benar-benar lagi
jatuh cinta. Orang yang jatuh cinta cenderung suka senyum-senyum sendiri, tiap
melihat cermin bawaannya pengin bercermin terus, memastikan diri ini ganteng
abadi, dan mulai berfantasi liar dengan orang yang membuat kita bertindak bodoh
seperti tadi. Misalnya saja membayangkan lagi ngambil uang di ATM, pas mau
pergi ada tukang parkir, eh tukang parkirnya ternyata Sarah. Aku sudah lama gak
merasakan perasaan seperti ini. Bayangan Sarah selalu muncul di tiap
aktifitasku. Selama seminggu terakhir aku jadi lebih bersemangat, proposal
skripsiku pun terkena dampaknya, sekarang aku sudah masuk Bab 2.
Pukul 7 pagi aku sudah di kamar
mandi, yang biasanya aku mandi hanya seperti injury time pertandingan sepak bola, alias 3 menit, kali ini aku
mandi 20 menit. Ibuku sempat curiga kenapa aku mandi lama sekali. “Kamu ngapain
aja di dalam sana, kok lama?!” Selidik beliau.
“Ya mandi, lah!” jawabku.
“Sabunnya kok belakangan ini cepat
habis, ya?”
“Uhhh… aku buru-buru, Bu. Ntar
telat.”
Parfum hampir satu botol
kusemprotkan ke badanku. Baju yang biasanya kuambil langsung dari tumpukan
baju, kali ini aku setrika rapi. Aku pun berangkat kuliah dengan tujuan utama
bertemu Sarah dan meminta kontaknya. “Langkah awal PDKT akan terjadi hari ini!”
aku mengepalkan tanganku ke udara.
Sampai di kampus, aku melirik jam
tanganku yang menunjukkan pukul 8.05, “Biasanya jam segini nih Sarah datang.”
Gumamku dalam hati, sambil berusaha menahan dari perbuatan hina: senyum-senyum
gak jelas.
Pintu lift terbuka, aku segera
menuju ke sana dan menyiapkan senyum terbaik, sampai di dalam mataku menatap ke
segala penjuru, seperti terminator yang mengidentifikasi orang-orang yang ada
di hadapannya, aku tidak menemukan Sarah.
Sudah rapi dan ganteng begini masa
gak ketemu, sih?!
Aku menaruh kedua tanganku ke
kantong celana jeansku, dan menepuk-nepuknya, “Eh, kunciku ketinggalan di
motor!” aku keluar dari lift, padahal kuncinya ada di celanaku.
Aku berjalan menjauhi lift,
mengamati dari kejauhan, menunggu Sarah ada di dalam sana. 10 menit berlalu,
sudah 2 kali lift naik-turun. “Mungkin dia datang cepet kali, ya?” pikirku.
Dengan langkah lemas aku menuju lift, tidak ada mahasiswa lain yang masuk ke
dalam lift kecuali aku. Sampai di lantai 5, aku menuju kelasku, di dalam sana
sudah ada dosen, aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dosenku memicingkan
matanya ke arahku.
“Maaf, Pak, saya terlambat.” ucapku pelan.
“Ya silakan.” Dosenku membenarkan
posisi kacamatanya. “Tutup pintunya dari luar.”
Para junior yang ada di dalam kelas
terlihat menahan tawa.
Shit.
Aku memutar, tidak jadi masuk kelas
dan kembali menuju lift. Langkahku terasa makin berat. Terlalu banyak berharap
dan tidak sesuai dengan realita ternyata membuat hati ini sesak.
Pintu lift terbuka. Dengan rasa
kecewa aku masuk ke dalam, aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri, yang
dibodohi oleh harapan-harapan yang kubuat sendiri. Laju lift ini pun terasa
lebih lambat. Aku menghela nafas panjang.
Lift berhenti, aku melirik layar di
bagian atas, menunjukkan lantai tiga. Perlahan pintu lift terbuka dan ada sosok
yang aku harapkan. Sarah! Dia memakai kemeja flannel kotak-kotak berwarna merah
yang tidak dikancing, membiarkan tanktop hitamnya terlihat, dia berdiri
menunggu lift dengan seorang cowok yang dengan erat ia gandeng tangannya.
“Loh, nyet?” kata cowok itu, dia mendatangiku
sambil menggandeng Sarah.
Aku mengucek mataku berkali-kali,
seperti tidak percaya apa yang aku lihat.
“Bobby?” tanyaku memastikan.
“Iya, kamu ngapain? Gak kuliah?”
Pandanganku terfokus ke tangan
mereka yang bergandengan erat.
“A-Aku telat, gak dibolehin masuk.”
Jawabku, berusaha fokus dan cool. “Kamu ngapain di sini? Kelas anak teknik di
gedung sebelah, kan?”
“Aku juga telat terus gak dibolehin
masuk sama dosenku hahaha. Yaudah aku susulin dia,” Bobby menunjuk Sarah. “Oh
iya, ini kenalin pacarku. Dia senasib sama kita.”
Pa-Pacar? Kretek.
Ada suara hati yang patah.
Aku melirik Sarah, dia hanya
menunduk sambil perlahan melepaskan genggaman tangan Bobby.
“Sarah, kenalin ini sahabatku,
Jemi.” Bobby menunjukku, lalu menunjuk Sarah. “Jem, ini Sarah, yang waktu itu
kamu gak mau lihat fotonya. Tapi cantikan aslinya kok dibandingkan fotonya.”
Kami pun berkenalan lagi. Canggung.
Pintu lift terbuka, kami bertiga
keluar. Jika minggu lalu aku merasa lift yang membawaku turun bersama Sarah
terasa sangat cepat, kali ini aku merasa sangat lambat dan menyiksa. Dadaku semakin
terasa sesak.
“Kita mau ke McD, mau ikut?” ajak
Bobby.
SEKALIAN
AJA AJAK NGOPI KE STARBAK BIAR AKU KASIH SIANIDA!
“Enggak, deh. Aku mau pulang,
skripsian.”
“Errr… yaudah kita duluan, ya.
Semangat, Jem!” kata Bobby. “Tuh, udah aku semangatin, kasian kamu gak ada yang
nyemangtin hahaha!”
“….”
Mereka berdua pun perlahan
menghilang dari pandanganku, sambil bergandengan tangan mesra. Meninggalkanku yang tampak baik-baik saja di luar, tapi
rapuh di dalam. Jika kata Bobby untuk move on aku hanya butuh satu tombol,
begitu pun patah hati, aku juga hanya butuh satu tombol untuk itu.
Thank you, Bob.
######
Di tengah proses skripsian, gue
ditantangin untuk bikin cerpen oleh para kampret ini, Kresnoadi, Ichsan dan Daus. Jadi
kesepakatannya adalah kita bikin sebuah cerpen dengan tema yang sama, yaitu
lift, dengan genre bebas, yang penting berhubungan dengan lift. Karena gue gak
terlalu bisa bikin cerpen, jadilah… ini hasilnya.
Cerpen
punya Kresnoadi bisa dibaca di sini.
Cerpen
punya Daus bisa dibaca di sini.
Cerpen punya Ichsan gak usah dibaca, tapi kalo mau buang-buang kuota ya silakan baca di sini.
Buat yang diem-diem baca, kalo
mau ikutan, hayuk bikin~