[Baca cerita sebelumnya di sini]
Perjalanan gue ke Samarinda kali ini
gak beda jauh dengan perjalanan sebelumnya. Gue dan Dana asik ngobrol selama di
perjalanan, cuaca juga lagi bersahabat, yang agak beda cuma arus lalu lintas.
Sedikit lebih ramai karena weekend.
Banyak yang menuju Samarinda atau pun pulang ke Balikpapan. Ada juga yang
pulang ke pelukan mantan. Ada.
Pukul 12 kurang kami sampai di kilo
50. Kami juga duduk di tempat yang sama seperti perjalanan sebelumnya. Dana
segera memesan tahu sumedang dan kopi hitam, gue sendiri pesen kopi susu. Kata
orang kalo lagi capek emang paling pas minum kopi susu. Kopinya diminum,
susunya diremes. Ntah maksudnya apa, gue polos gak tau apa-apa.
Dana menyulut rokok class mild-nya,
menghisapnya dalam-dalam, kemudian memhembuskan asapnya yang beberapa kali
tertiup angin menerpa muka gue. Gak banyak topik yang kita bicarakan.
Satu-satunya hal penting yang kita diskusikan adalah jam berapa berangkat lagi?
“Jam setengah 1 lanjut, ya?” saran
gue.
Dana mengangguk setuju.
Baru beberapa menit menikmati
hangatnya kopi, Dana tampak gelisah di tempat duduknya. Beberapa kali dia
melakukan gerakan duduk-mau berdiri-gak
jadi-duduk lagi. Gue sempet ngira dia cepirit. Atau ambeien. Atau ambeien
sambil cepirit.
“Aku ke sana dulu, ya. Kayaknya itu
temenku, deh.” Tunjuk Dana ke arah belakang gue. Gue menoleh, ada sekitar 5
orang remaja lagi ketawa-ketiwi.
Dana pergi ke belakang. Gue harap
dia gak pergi terlalu lama karena perjalanan ini perjalanan mengejar waktu.
5 menit berlalu…
10 menit berlalu…
15 menit berlalu….
WANJIR INI ANAK KE MANA KOK GAK
BALIK-BALIK?!
Gue menoleh ke belakang, Dana lagi
ikut ketawa-ketiwi. Ternyata mereka emang beneran temennya Dana. Mau gue
susulin tapi gak enak. Gue bakal jadi sohib yang egois, cuma mentingin
kepentingan gue aja. Gak beberapa lama, Dana balik ke meja gue bareng seorang
temannya. Ternyata mereka kumpulan temen kuliahnya Dana dulu. Tujuan kita sama.
Sama-sama mau ke Samarinda. Ngobrol-ngobrol sebentar, mereka pun pamit
melanjutkan perjalanannya duluan. Gue lirik jam, udah hampir pukul 1 siang. Mau
sampai di Samarinda jam berapa, nih? Mampus.
Dana tau kegelisahan gue. Dia segera
meminum habis kopi hitamnya dalam 3 kali teguk. Gue jadi curiga kalo sekarang
Dana kesurupan Onta. “Ayo berangkat.” Kata Dana. Gue pasang slayer di muka dan
menuju motor gue.
Perjalanan selanjutnya gue ditemani
oleh cuaca yang labil. Yang tadinya terik banget, mendadak mendung di sekitar
kilometer 70. Awan gelap, beberapa kali tampak petir menyambar, butiran gerimis
mulai turun menerpa kaca helm gue.
“Kayaknya hujannya di daerah sini
aja, di sana cerah.” Kata gue sambil menunjuk awan.
“Iya, terobos aja.”
Gue geber si Fixie sampai kecepatan
80 km/jam.
5 menit kemudian hujan deras.
Banget.
Kita berteduh di pendopo pinggir
jalan. Anti-klimaks.
|
si fixie kehujanan :') |
“Sudah jam setengah dua lewat. Mana
hujannya kayaknya awet gini…” kata gue. Putus asa. Kalo aja saat itu gue
berteduh di depan rumah orang, gue bakal bikin embun di kaca jendelanya dan
nulis-nulis, “I miss you” banyak-banyak.
30 menit kemudian hujan mulai reda,
sisa rintik-rintik kecil.
“Terobos, yok?!”
“Gak bahaya? Licin loh jalanan.”
Ucap Dana pelan.
“Ya pelan-pelan aja. Insya Allah,
aman!”
“Pelan?”
“Iya… kecepatan 50 atau 60 km/jam
aja.”
“ITU LAJU KAMPRET!!!”
Tanpa persetujuan Dana, gue menuju
Fixie dan menaikinya. Dana gak punya pilihan lain selain ikut gue. MUAHAHAHAHA.
Untungnya keputusan gue kali ini
tepat. Memasuki kilometer 80, cuacanya panas banget. Mungkin saking panasnya,
kita pecahin telur di atas jalanan, telurnya mateng jadi telur ceplok. Cuaca
terik ini bertahan sampai kita tiba di perkotaan Samarinda. Baju yang tadinya basah,
kini sudah kering di jalan. Keren abis.
Pukul setengah 3 siang kami baru
sampai di Samarinda. Ngaret sejam dari perkiraan gue. Ditambah siang itu
Samarinda lagi macet banget gue jadi pesimis bisa ketemu Fita sebelum dia
berangkat ke Buddhist Center.
Gue mulai percaya, “jangan
merencanakan sesuatu, karena biasanya malah gagal.”
Kita berdua menuju SCP, untuk
istirahat sambil mencari jalan menuju Buddhist Center via google maps. Sama
seperti perjalanan sebelumnya, McDonalds menjadi tempat utama untuk nyantai.
Beberapa kali mencoba mencari jalan via google maps, yang ada kita bingung
karena banyak jalan di Samarinda itu jalur satu arah. Takut aja kalo ngikutin
maps, kita disasarin ke jalur satu arah, ditangkap polisi, gagal nonton konser.
Sia-sia perjalanan.
Dari pada bingung, terpaksa gue
ngabarin Fita kalo gue lagi di Samarinda. Meminta petunjuk jalan, sukur-sukur
kalo dia belum pergi, jadi bisa pergi bareng. Persetan dengan so sweet. Niat gue ketemu, nonton dia
tampil, liat dia senyum. Sesimpel itu. Sama seperti sebelumnya (lagi), gue
kabari dia via chat kalo lagi di SCP.
Gue: Kamu dimana, car? Udah di
tempat acara?
Dia: Aku lagi di salon, ntar lagi ke
sana. Pending ya?
Aku
lagi di perjalanan Balikpapan-Samarinda kali makanya lama balasnya. Muehehehe.
Gue: Iya, lagi parah jaringannya,
car.
Dia: Oh.
Udah?
OH doang? Okeh, aku chat yang bikin kaget, nih…
Gue: Aku di SCP loh, mau nonton kamu
tampil ntar malem… :3
Dia: Coba kalo ke sini itu
bilang-bilang gitu nah. Jadi bisa kuatur gimana-gimananya.
Lah,
dia malah marah…
Dia: Pake tiket loh nontonnya.
Iye,
tau neng… ini nge-chat sekalian minta antarin ke tempat beli tiketnya.
Dia: Terus gimana? Tau jalan?
Ya
enggaklah! Kalo tau mah udah di tempat acara, bukannya di SCP.
Gue: Iya, ini mau beli tiket tapi
gak tau jalan. Bisa bareng? :’)
Dia: Duh… ini masih di salon, aku
juga naik mobil sama temenku.
Tuh,
mampus, Yog. Sok so sweet, sih!
Gue: Ancer-ancernya kalo dari SCP
lewat mana?
Dia: Aku baru 3x ke sana, car. Gak
tau jalan di sana. Jauh banget pokoknya dari SCP. Sananya Alaya.
Kali
ini beneran mampus kamu, Yog! Apa pula Alaya itu? Apa masih ada hubungan darah
dengan Alay?!
Gak lama kemudian dia ngirimin peta
lagi kayak sebelumnya. Sayangnya peta yang dikirim gak jelas karena di-zoom out terlalu jauh untuk nunjukin ke
gue di mana posisi gue, di mana lokasi acara.
Dia: aduh aku jadi pusing kan. Ntar
sampai sana gak boleh aktifin hape juga, gimana aku mau ngasih info buat kamu.
Jam 5 udah harus siap semua di backstage.
Gue: Yaudah, aku cari sendiri ya…
semoga ketemu. Udah, kamu fokus aja buat konsernya. Gak usah pikirin aku. :)
IYA,
ITU GUE SOK TEGAR! ADA EMOT SENYUMNYA!
Gue dan Dana pun segera menuju
parkiran. Kami nekat ngikutin google maps. Sampai di parkiran, sinyal provider
kita berdua hilang. Kampret.
Kita berusaha mencari sinyal dan
men-tracking ulang. Nihil. Sinyal
tetep gak ada. Apa kah ini pertanda bahwa gue bakal gagal nemuin tempat
acaranya.
“Mas, ngapain? Mau keluar?” suara
gahar om-om tukang parkir membuat kita berdua kaget. Pas noleh, kita makin
kaget. Perawakan om-om bersuara gahar ini juga didukung penampilannya yang
gahar; Brewoknya tebel, rambutnya keriting, muka kayak kena radiasi kentut.
“Uhh… iya, mau keluar. Tapi masih
bingung keluarin di mana.” Kata gue.
“HAH?!”
“Anu, maksud saya iya kita mau
keluar tapi masih bingung nyari alamat.”
“Alamatnya di mana emang, mas?”
“Jalan D.I Panjaitan, om. Tau
arahnya kalo dari sini?”
Om-om gahar tadi berusaha berpikir.
Dia menggaruk-garuk jidatnya.
“D.I Panjaitan?” Suara orang asing
lainnya muncul dari belakang kami. Seorang bapak-bapak yang ingin keluar dari
parkiran ikut nimbrung. “Alaya?”
“AH IYA! ALAYA!!!” Ucap gue dan Dana
bersamaan. Ingat kata Fita sebelumnya.
“Masih jauh sih dari sini. Tapi
masnya ini lurus, belok kanan, ntar ada jembatan kuning, setelah jembatan belok
kiri. Ntar lurus aja, Tanya-tanya orang lagi. Tapi udah deket kok itu ntar.”
Terang si bapak tadi.
“Lurus, belok kanan, ada jembatan
kuning, belok kiri?” Tanya gue memastikan.
“Bukan, mas.” Sanggah si bapak.
“Setelah jembatan kuning, baru belok kiri.”
“Aduh, kok jadi bingung ya?” gue
garuk-garuk kepala. “Coba ucapin bareng, Pak.”
“Lurus.”
“Lurus.”
“Belok kanan, ada jembatan kuning.”
“Belok kanan, ada jembatan kuning.”
“Setelah jembatan, belok kiri.”
“Jembatan, belok kiri.”
“SETELAH, MAS! SETELAH JEMBATAN BARU
BELOK!”
Gue pun iyain aja, takut bapak-bapak
tadi emosi dan berubah jadi makhluk hijau raksasa dan menghancurkan kota.
Setelah mengucapkan terima kasih, perjalanan gue mencari lokasi acara pun
dimulai.
*****
Gue geber si fixie dengan kecepatan
sedang, mengikuti arahan bapak-bapak di parkiran tadi. Setelah melewati
jembatan kuning yang di maksud, gue belok kiri dan lurus aja. Sambil
tolah-toleh mencari nama jalan. Karena takut nyasar, di sebuah pertigaan kami
berhenti untuk numpang nanya lagi. Kami berhenti di sebuah warung kopi, tepat
di depan pertigaan. Di dalam warung itu ada tiga ekor bapak-bapak. Dana sebagai
orang yang kerjaannya gue bonceng aja gue utus untuk melaksanakan tugas mulia
ini.
“Permisi, Pak. Numpang Tanya… Jalan
D.I Panjaitan lewat mana, ya?”
Ketiga bapak-bapak tadi bengong.
“D.I Panjaitan?” seorang bapak tua
mengulang pertanyaan Dana sambil garuk-garuk kepalanya, “Waduh gak pernah
denger, dek.”
LAH?
NYASAR NIH?!
“Psssttt! Alaya! Alaya!” teriak gue
dari atas motor.
“Uhhh… Kalo Alaya, Pak? Tau jalan
menuju sana?” Tanya Dana.
“Oh kalo Alaya, tau!” Kata si bapak
penuh keyakinan. “Mas belok kanan, nih. Luruuuuuuuuuuuuuuus aja sampai ketemu
lampu merah.”
“Lalu?”
“Ya stop, lah. Ntar adek ditangkap
polisi kalo nerobos.”
“….”
“Habis dari lampu merah, adek
luruuuuuuus lagi sampai ketemu lampu merah lagi.”
“Lalu stop lagi?”
“Bukan, adek Tanya-tanya aja lagi di
sana. Udah deket kok.”
“Errrr… Ya sudah, terima kasih
banyak, Pak.”
Dana pun kembali naik ke jok
belakang, gue tancap gas dengan kecepatan sedang lagi. Tolah-toleh nyari nama
jalan selama 10 menitan, akhirnya kami bertemu di lampu merah pertama. Gue
jalan terus.
“Nyet. Stop! Stop!” Dana
menepuk-nepuk pundak gue.
“Kenapa lagi? Kebelet pipis?”
“Kata bapak tadi ketemu lampu merah
pertama harus stop, kalo nerobos ntar
ditangkap polisi. Sia-sia perjalanan
kita.”
“TAPI ITU LAMPUNYA LAGI IJO!”
Mendadak gue pengin turunin Dana dan
ninggalin dia tersesat sendirian di kota orang.
Sampai di lampu merah kedua, kita
mutusin untuk berhenti dan bertanya lagi. Dana pun gue utus lagi. Kali ini kami
bertanya dengan orang random yang lagi jalan kaki, mirip acara kuis-kuis gitu. “Permisi,
Pak… numpang Tanya. Jalan menuju Alaya masih jauh?”
“Ummmm… Alaya, ya?” Jidat si bapak
tampak berkerut 5 lipatan. “ITU ALAYA ADA DI SEBRANG JALAN, MAS.”
Wanjir, ternyata Alaya ada di
sebrang jalan! Ada tulisannya gede! Kita dikerjain bapak-bapak di warung kopi.
Sebelum si bapak-bapak ini berubah jadi makhluk hijau raksasa dan mulai
menghancurkan kota, kita berdua pergi, tak lupa mengucapkan terima kasih.
“Katanya Fita, Buddhist center ada
di sananya Alaya. Berarti lurus aja lagi nih?”
“Kayaknya sih. Tuh liat nama
jalannya udah D.I Panjaitan.” Tunjuk dana ke sebuah plang jalan berwarna hijau
yang catnya mulai luntur dan berkarat.
Gue tersenyum. Akhirnya sampai juga.
Tinggal nyari Buddhist center aja dan pasti gampang. Logikanya, tempat ibadah
gitu pasti letaknya di pinggir jalan, minimal keliatan bangunannya dari jauh.
Sebelum melanjutkan perjalanan, gue isi bensin di SPBU dan memfoto plang Alaya,
gue kirim ke Fita biar dia gak pusing mikirin gue dan bisa fokus ke konsernya
aja. Tau gini mending ke rencana pertama aja, ya?
Di SPBU itu kita kembali nanya ke seorang
mas-mas biar gak nyasar aja. Ternyata bener, tinggal lurus aja dan bangunan
Buddhist center keliatan dari pinggir jalan. Dengan semangat 69 gue geber lagi
si Fixie mencari lokasi acara. 15 menit kemudian alias tepat pukul 4 sore kita berhasil menemukan
Buddhist center. Saat itu gue bener-bener pengin nyanyi lagunya Naff - Akhirnya kumenemukanmu.
“Masuk ke dalam, nih?” Tanya gue.
“Kemaren aku telpon contact person tiketnya, katanya beli
langsung di lokasi acara.” Kata Dana.
Okeh. Kami berdua jalan menuju pintu
masuk. Ini pertama kalinya kita masuk ke rumah ibadah agama lain. Sampai di
depan tangga, ada tulisan lepas alas kaki. Semacam batas suci kalo di masjid
gitu. Kita galau ini lepas sepatu apa enggak. Selayaknya orang Indonesia,
melanggar aturan sudah mendarah daging dalam tubuh kami. Dana menginjakkan
kakinya ke satu anak tangga dengan sepatu.
“PRIIIIITTTT!!!!!” Suara peluit
security terdengar. Kita berdua menoleh ke sumber suara. Security memberikan
kode untuk melepas sepatu. Untungnya kode melepaskan sepatu, bukan melepaskan
baju. Atau melepas masa lajang. Gue belum siap.
Kami datangi security tadi dan
menjelaskan maksud tujuan kita. Mau beli tiket konser untuk nanti malam di
lantai 3.
“Oh konser ntar malam? Ya belinya
ntar aja jam 7.” Kata si security.
“Oh gitu. Emang belum ada orang di
lantai 3? Panitia acaranya gitu?” Tanya Dana.
“Belum ada, mas.”
“Errr… Oh iya, ntar kalo nonton
konsernya lepas sepatu apa enggak?” Tanya gue.
Mendengar pertanyaan gue, om
security memandang gue dengan ekspresi sumpe-lo-nanya-gitu?
“Oh kalo ke konser ntar naik lift
yang ada di luar situ, jadi gak perlu masuk ke dalam. Kalo mau masuk ke lantai
satu aja baru lepas sepatu. Lantai 1 emang khusus tempat ibadah.”
Gue dan Dana manggut-manggut. Kami
mulai ngobrol-ngobrol dan Tanya-tanya soal tempat untuk membuang waktu sampai
pukul 7 malam.
“Mas, tau di mana penginapan atau
hotel di sekitaran sini?” Iya, kita nyari penginapan buat nginap sekaligus
mandi. Masa mau ke konser gak mandi?
“Waduh, gak ada kalo di sekitaran
sini, mas.”
“Kalo mall, deh? Mall…” Iya, plan B.
Kalo gak nemu penginapan, kita cukup cuci muka di wc mall. (LAH, APAAN NIH GUE
KATANYA KALO KE KONSER HARUS MANDI.)
“Mall banyak, yang deket itu di
Alaya, ntar ada Giant.”
“Kalo suneo, mas?”
Security tadi langsung pergi
ninggalin kami berdua, tanpa menjawab pertanyaan gue. Jahat.
Kami berdua mutusin untuk keliling
nyari penginapan dulu. Waktu 3 jam pasti cukup buat nemuin penginapan. Baru aja
mau pergi dari parkiran, ada seorang cowok memarkirkan motornya di depan gue.
Dia memakai baju dengan nama tempat lesnya Fita dulu. “Kayaknya itu panitia,
deh. Coba tanya dia jual tiketnya apa enggak?”
Dana berdiri meninggalkan gue di
motor sendirian. 5 menit kemudian dia kembali dengan 2 lembar tiket di tangan.
“Oke, sisa cari penginapan.”
Perjalanan gue kembali dilanjutkan.
*pukpuk punggung*
[TO
BE CONTINUED]