A Great Story Comes With Great Stupidity : Balada Mahasiswa

Makan, aja. Makan.

Kayaknya waktu berjalan cepat banget. Kemaren gue lagi ‘bersih-bersih’ laptop. Hapusin file-file yang gue rasa sudah gak penting karena menuh-menuhin memori. Mulai dari foto-foto sama mantan sampai revisian skripsi, gue hapus! Huahahahaha! Terus pas lagi ubek-ubek folder seputar kuliah, gue nemu folder “PLP”. PLP sendiri merupakan singkatan dari Praktik Latihan Profesi, alias magang, saat gue kuliah semester 7 lalu. Karena lupa isinya apaan, gue buka, ada folder “tugas”, buka lagi, folder “data”, buka lagi, voila! koleksi fake taxi!

Ya enggaklah!

Di dalam folder PLP itu isinya data dan file document selama gue magang mengajar di sebuah SMA pada tahun 2015 lalu. Enggak hanya itu, ada juga folder foto yang isinya tentu saja koleksi fake taxi. Astaghfirullah. Fokus. Fokus. Isinya yaaaa foto-foto selama gue magang di sekolah itu bersama 5 teman gue.

Ngeliat foto-foto itu gue jadi mikir, “Gila! perasaan baru kemaren magang, taunya udah 2 tahun lalu!”

Balada Wisuda


Tanggal 27 Oktober kemaren, momen bersejarah itu akhirnya datang juga.

Sebuah momen yang dijadikan salah satu resolusi saat menjelang pergantian tahun.

Sebuah momen yang menyatakan bahwa kamu bukan lagi seorang mahasiswa/i.

Sebuah momen yang hanya sehari tapi persiapannya berhari-hari, khususnya bagi para cewek.

Yeah. Wisuda.

Gue resmi menjadi sarjana.

YEAH.

*****

Menurut undangan, acara wisuda dimulai pukul 8 pagi. Tapi, malam sebelumnya, pada saat gladi resik, kami diberitahu bahwa kami disuruh datang pukul setengah 7 pagi. Paling telat pukul 7. Sebagai anak yang bercita-cita menghapuskan tradisi jam karet di Indonesia, gue jelas datang pukul… 7 pagi. Jika masih ada toleransi telat, ya telat aja gapapa kan? ^_^

Bertempat di BSSC DOME, sampai di tempat acara pada pukul 7 pagi, gue langsung mengeluarkan baju toga, topi dan kalungnya dari dalam tas, lalu memakainya. Gak mungkin dong gue pake baju toga dari rumah lalu pergi ke DOME naik motor. Entar dikira Batman dapat shift pagi.

Tiga Hari Mengawasi Dedek-Dedek SMA

Orang Indonesia itu kayaknya jahat-jahat semua deh. Mereka kalo nanya suka gak pake hati. Saat menjadi mahasiswa tingkat akhir, kita akan sering mendapatkan pertanyaan yang menyayat hati seperti,

“Skripsi sudah selesai?”

“Kapan lulus?”

“Masih idup lo?”

Setelah kita berhasil lulus dari segala macam hal yang berhubungan dengan skripsi terkutuk itu, apakah kita akan merdeka? Oh jelas tidak sodara-sodaraaaa! Kita akan kembali mendapatkan pertanyaan yang lebih menyayat hati.

“Oh udah lulus? Kerja di mana sekarang?”

Biarkan gue menarik nafas panjang dulu.
.
.
.
.

HABIS LULUS KULIAH BELUM TENTU LANGSUNG DAPAT KERJA WOY DASAR TITISAN DAJJAL!!!

KALO NANYA COBA TOLONG MULUTNYA DIKONDISIKAN DULU!

PATAR PATAR TOLONG MONITOR!!!

Huh, itulah yang kadang gue alami sebagai mahasiswa yang sedang menunggu waktu wisuda. Rasanya, ada sedikit ‘tekanan’ hidup setiap bertemu dengan orang, takut ditanyain dengan pertanyaan begitu terus menerus, gue emosi, berubah jadi makhluk hijau raksasa dan menghancurkan kota. :’)
Makanya, pas kemaren ada tawaran job part-time, gue ambil aja. Lumayan lah, biar produktif dikit, selain itu honornya juga lebih gede dan lebih cepet cair daripada nerima job review di blog.

Ehe.

Minta Tanda Tangan Dosen Tak Pernah Sekampret Ini

Hal paling menyebalkan setelah selesai sidang skripsi adalah kita masih kena revisi. Seharusnya, selesai sidang skripsi adalah sebuah kemerdekaan bagi mahasiswa, tapi ternyata kemerdekaan itu palsu. Sampai revisi kita selesai lalu lembar pengesahannya ditanda tangani oleh dosen penguji dan dosen pembimbing barulah kemerdekaan sesungguhnya muncul.
Di sinilah gue, di luar gedung fakultas bersama Mbak Rusna yang lagi sibuk menelpon. Salah satu dosen penguji kami berdua saat sidang skripsi kebetulan sama, yaitu Pak Dirman, dan kami berniat untuk mengumpulkan revisi skripsi kami ke beliau karena deadline mengumpulkan lembar pengesahannya… besok. Greget abis.

Mbak Rusna menutup panggilan teleponnya.

“Ada, mbak?” Tanya gue.

“Pak Dirman gak ke kampus hari ini, kita disuruh ke rumahnya.”

“Aku gak tau rumahnya. Mbak tau?”

“Tau daerah rumahnya doang, kita ke sana aja dulu. Ntar telpon lagi bapaknya minta petunjuk.”

Jika Ingin Suudzon Maka Suudzonlah

Gue terlahir sebagai anak yang memiliki tingkat suudzon yang tinggi. Tanpa bermaksud meragukan tingkat intelejensia kalian, suudzon itu maksudnya adalah berprasangka buruk terhadap orang lain,  peristiwa ataupun masalah tanpa adanya bukti. Makin dewasa gue, tingkat suudzon gue malah makin tinggi. Entah ini karena kebanyakan nonton film atau baca novel, yang membuat gue menduga-duga dari hal yang masuk akal hingga ke yang gak masuk akal. Level suudzon gue bener-bener sudah tinggi banget.

Sifat suudzon gue sempet kumat.


Pas sebelum sidang skripsi kemaren, tentunya sebelum mendaftar gue akan melengkapi persyaratannya. Salah satu yang harus dilampirkan adalah lembar persetujuan yang menandakan bahwa skripsi gue layak diujikan. Lembar persetujuan itu ya seperti kertas pada umumnya, hanya saja ada tanda tangan dosen pembimbing I, dosen pembimbing II, Dekan Fakultas serta KAPRODI gue.

Kalian semua pasti tau bahwa meminta tanda tangan dosen itu butuh perjuangan.

Saat itu gue sudah berhasil meminta tanda tangan dosen pembimbing I dan II serta KAPRODI (kebetulan beliau juga dosen pembimbing I), itu artinya sisa tanda tangan Dekan gue, dan beliau ini adalah tipe dosen yang jika kita ada perlu, dia gak ada. Tapi giliran gak ada perlu, muncul mulu di kampus. Para mahasiswa yang ingin meminta tanda tangannya (misalnya untuk membuat surat aktif kuliah) biasanya menitipkan suratnya ke bagian administrasi, dan di meja administrasi fakultas sudah tersedia box untuk mengambil surat-surat yang dititipkan itu.

Gue pun menitipkan lembar persetujuan gue itu ke bagian administrasi.

Besoknya, gue kembali ke kampus untuk mengambil lembar persetujuan gue itu.

“Mbak, lembaran saya yang kemaren sudah ditanda tangani Pak Dekan?” Tanya gue.

“Oh sudah, kok. Cek aja di situ.” Kata mbak admin menunjuk box yang terletak gak jauh dari mejanya. Gue segera menuju box itu dan melihat tumpukan kertas yang meninggi, surat-surat yang dititipkan tapi gak diambil oleh pemiliknya. Kalo surat-surat itu punya perasaan pasti dia sudah sedih diperlakukan begitu. Rasanya udah mirip kayak diputusin tanpa alasan.

Gue mengecek lembaran itu satu persatu. Sejauh mata memandang tumpukan lembaran itu hanya berisi surat aktif kuliah ataupun transkrip nilai. Gak ada lembar persetujuan gue.

Lembar demi lembar gue balik hingga akhirnya ketemu lembaran kertas terakhir dan… lembar persetujuan gue gak ada.
Gue coba cek ulang. Membolak-balik tumpukan kertas tadi dari awal hingga akhir, dengan kecepatan lebih lambat. Siapa tau kertasnya nempel gitu, pikir gue.

“Surat aktif kuliah, surat aktif kuliah, surat aktif kuliah lagi, transkrip nilai, surat aktif, aktif, akt…” gue kembali bertemu lembaran terakhir.

YA ALLAH INI LEMBAR PERSETUJUAN GUE DI MANA?!

Keringet dingin mulai keluar, nafas gue mulai berat, pikiran gue mulai ke mana-mana. Kalo lembaran ini hilang artinya gue musti bikin ulang dan minta tanda tangan ulang. Yang kemaren aja ditanda tanganin lama, gimana yang sekarang? Belum lagi entar ditanyain, “KOK MINTA TANDA TANGAN LAGI?! BUKANNYA SUDAH, YA?!”

“Lembar persetujuannya hilang, Bu. Makanya saya minta lagi.”

“Teledor kamu, ya! Sini kamu saya sunnat ulang!”

Akhirnya gagal sidang. Huhuhu.

Gue berusaha setenang mungkin dan bertanya ke mbak admin, “ Mbak, kok gak ada, ya?”

“Adaaaa… sudah saya taruh situ, kok. Coba cari lagi.” Jawabnya. Enteng.

“Gak ada, mbak. Saya udah cari 2 kali…” sanggah gue. “Apa masih di mejanya Pak Dekan?”

“Mejanya kosong. Tadi pagi saya kan ke ruangannya.”

“….”

Mendengar jawaban itu rasanya gue pengin jedotin kepala ke meja. Mulut gue terasa terkunci, dada gue sesak. Nyesek coy lembar persetujuan hilang! Minta tanda tangannya ituloh butuh perjuangan. Kejadian hilangnya lembar persetujuan inipun gue nobatkan sebagai patah hati terhebat gue.

“Ketemu, Yog?” Tanya Dwi, temen gue.

Gue hanya menggeleng.

“Coba sini kubantuin nyari.”

Tumpukan kertas tadi gue bagi dua. Dan dengan kesabaran ekstra gue kembali mencari lembar persetujuan gue, begitupun Dwi. Setelah membolak-balikkan lembaran itu, hasilnya masih sama, NIHIL. Gue melihat Dwi yang masih sibuk dengan tumpukan kertasnya, sampai di lembaran terakhir, dia menatap gue dengan pandangan prihatin, “Gak ada, Yog.”

Nyesek. Rasanya sudah kayak berusaha memperbaiki hubungan yang sudah diujung tanduk, tapi akhirnya putus juga.

Apakah semesta tidak memperbolehkan gue sidang karena gue belum siap-siap amat?

Apakah gue kurang sedekah makanya lembar persetujuan gue hilang?

Apakah gue gak dibolehin lulus dan wisuda tahun ini?

Di tengah pikiran-pikiran itu, gue baru sadar kalo lembar persetujuan gue kan baru aja dititipin, kalo emang sudah ditanda tangani oleh dekan pasti ada di tumpukan paling atas di dalam box itu. Pikiran suudzon gue mulai muncul, gue curiga ada temen yang melihat lembar persetujuan gue dan dia gak terima kalo gue sidang skripsi duluan,

“BANGSAT! YOGA SUDAH MAU SIDANG AJA. GUE BAB 1 AJA GAK KELAR-KELAR! HARUS GUE CEGAH!”

Lalu diem-diem dia ngambil lembar persetujuan gue, menyembunyikannya di balik celana dalam, mencari kelas kosong, kemudian lembar persetujuan gue digunting kecil-kecil dan hasil potongan tadi dibakar, abunya dibuang ke dalam kloset wc dan dia pergi dari kampus dengan wajah tanpa dosa.

Pikiran suudzon ini muncul selain karena ada mitos yang mengatakan bahwa temen paling kesel jika ditinggal lulus duluan, juga karena siapapun bisa mengambil kertas dari box itu tanpa perlu menuliskan namanya jika sudah mengambil kertas yang dicarinya.

“Ada?” pertanyaan dari mbak admin membuyarkan pikiran suudzon gue.

“Gak ada, mbak.” Jawab gue pasrah.

“Coba sini.” Mbak admin mengambil box yang berisi tumpukan kertas tadi. Dia pun membantu mencarikan lembar persetujuan gue. Sambil siul-siul.

Setelah mengecek beberapa menit, dengan entengnya dia bilang, “Gak ada.”

“….”

“Iya, gak ada di sini.” Mbak admin tadi membuka laci mejanya, “Tapi ada di sini.” Dia pun mengeluarkan satu lembar kertas yang gue kenal betul. Satu lembar kertas yang gue cari-cari dari tadi. Satu lembar kertas yang begitu berharga buat gue.

LEMBAR PERSETUJUAN GUE LENGKAP DENGAN TANDA TANGAN DEKAN.

Kertas itu muncul dari dalam laci dengan gerakan slow motion dan seakan-akan ada cahaya di sekitarnya. Melihat lembar persetujuan gue sudah terpampang nyata di depan mata, gue langsung selebrasi berlari naik ke atas meja administrasi, membuka baju dan memutar-mutarnya ke udara. Setelah puas selebrasi, gue pun mengambil lembar persetujuan gue dan mendaftar sidang.

Hmmm… mungkin untuk surat yang dianggap penting gak dicampur di box itu, agar kejadian yang gue suudzonin itu gak kejadian beneran. Pelajaran yang dapat dipetik adalah jika ingin suudzon, pastikan suudzon ke orang yang terdekat dulu. Gue pun inget pas di semester 2 dulu, gue ada mata kuliah filsafat dan dosen gue pernah bilang, Kadang kita itu harus suudzon, biar gak gampang ditipu dan dibohongi orang.”

Dan yeah… harusnya gue dari awal gak percaya kalo surat sepenting itu dicampur dengan surat-surat yang dilupain dan gak diambil sama pemiliknya itu.

Jadi, jika ingin suudzon maka suudzonlah…

Skripsi Apa Kabar?

Selain saat jatuh cinta, seseorang bakal melakukan hal bodoh saat pengin cepet-cepet lulus kuliah. Bukan, hal bodoh yang gue lakuin di sini bukan menyewa jasa bikin skripsi atau jasa pengolah data SPSS. Selain gak ada kepuasan saat lulus, biaya bayar jasa begitu juga mahal. Sebenernya alasan terakhir sih yang paling kuat. #MahasiswaEkonomi #GakMauRugi

karena sering galauin skripsi di twitter :')
Setelah selesai melaksanakan seminar proposal di awal bulan April, 2 bulan kemudian gue lalui dengan galauin mantan berkutat dengan angka-angka dan SPSS. Tiap malamnya gue mantengin laptop dan bercumbu dengan SPSS. Paginya gue masukin ke bab 4, kemudian bimbingan skripsi, kena revisi. Setelah bimbingan skripsi yang ke-1.789.367 kali, akhirnya di akhir bulan Mei, skripsi gue di-acc oleh kedua dosen pembimbing.
“Kamu segera daftar sidang, ya.” Kata dosen pembimbing gue.

…Dan yeah, hal bodoh yang gue lakuin adalah mendaftar sidang pendadaran.

Jujur, gue sama sekali belum siap. Temen seperjuangan gue, Dwi dan Rusna, ngebet banget daftar sidang karena Dwi udah beli tiket mudik. Dia pengin lebaran di kampung halamannya dengan menyandang gelar sarjana. Kalo Rusna pengin cepet sidang biar gak keburu lupa sama penelitiannya. Sedangkan gue? Gak ada motivasi lain selain ya karena skripsi gue udah selesai. 

Pahlawan di Tanggal Tua

Ini adalah sebuah acara Kompetisi Blogger ShopCoupons X MatahariMall. Yang diselenggarakan oleh ShopCoupons. voucher mataharimall dan hadiah disponsori oleh MatahariMall.
mataharimall-kompetisi

***** 

Sebagai  mahasiswa semester tua, gue merasa ada hal yang lebih serem daripada ditanya, “Skripsi sudah sampai bab berapa?” oleh teman. Yaitu, tanggal tua.

Bagi sebagian orang yang sudah memiliki penghasilan sendiri, tanggal tua aja udah dianggap serem, apa lagi bagi mahasiswa yang rata-rata pemasukannya masih dari orang tua?

INI. SEREM. BANGET.

Kenapa? Karena saat tanggal tua tiba, artinya adalah mari kita berhemat, peluk erat-erat dompet dan mengucapkan selamat tinggal pada ‘nongkrong di café.’

Saat tanggal tua, café bukanlah tempat yang ramah bagi dompet mahasiswa. Harga makanan maupun minuman mendadak tampak tidak mahasiswai. Contoh gampangnya:

Di warung: es teh  Rp 3.000
Di café: ice tea + pajak 10% Rp 10.000

Atau contoh lain.

Di warung: Burjo Rp 5.000
Di café: Mung bean porridge coconut milk Rp 20.000

Benar-benar tidak mahasiswai... :( *peluk dompet*

Selain harga yang tidak mahasiswai, aturan di café juga sama bikin keselnya.

“Dilarang membawa makanan/minuman dari luar.”

Seumur-umur gue ke café, biarpun cafenya gak ada peraturan begini, gue gak pernah liat tuh orang bawa nasi bungkus lalu makan di café. Tidak lupa kakinya naik sebelah ke atas kursi. GAK PERNAH!

Nongkrong di café emang enak, tapi tanggal tua akan jadi momok tersendiri bagi mahasiswa yang pengin ke café tapi pas tanggal tua. Gue pernah mengalami kejadian serem ini...

Hikayat Si Printer yang Merepotkan

Dalam kamus mahasiswa tingkat akhir, ada tiga hal yang harus dipersiapkan ketika skripsian: waktu, tenaga dan duit melimpah.

Untuk mengerjakan skripsi, kita harus memiliki banyak waktu karena proses bikin skripsi itu gak bisa dikerjain di injury time, gak kayak tugas-tugas biasa yang bisa dikerjain 15 menit sebelum dikumpul. Tingkat kemustahilan membuat skripsi dengan cepat itu mirip dengan membuat 1000 candi dalam satu malam. Jika Bandung Bondowoso berhasil membuat 999 candi dalam semalam, mahasiswa yang skripsian dalam semalam, nulis 1 halaman aja udah sujud syukur.

Tenaga juga diperlukan dalam proses skripsian. Punya banyak waktu tapi kita terbaring lemah di kasur tanpa tenaga ya sama aja bohong. Skripsi gak akan kelar! Selain tenaga saat membuat skripsi, tenaga juga diperlukan saat menunggu dosen pembimbing yang gak muncul-muncul saat ditunggu. Iya, untuk yang satu ini selain tenaga juga dibutuhkan kesabaran ekstra.
Tapi, selain waktu dan tenaga, ada hal yang paling penting: duit melimpah!

Sebagai mahasiswa ekonomi, proses skripsian itu setelah gue hitung-hitung, butuh banyak duit. Contoh standar aja: ngeprint.

Di Balikpapan, setau gue yang paling murah jika ngeprint di warnet, selembarnya itu Rp 1.000, bahkan ada yang Rp 1.500/lembar. Bayangin aja misalnya gue ngeprint 50 lembar.

50 Lembar x Rp 1.000 = Rp 50.000

Lalu gue revisian mulu sampe 10 kali.

Rp 50.000 x 10 = Rp 500.000

LIMA RATUS RIBU ITU BISA BUAT BELI PRINTER!!!

Gimana kalo kita punya printer sendiri? Oke, revisi berkali-kali juga akan membuat kertas habis. Kertas habis, artinya kita harus beli, dan membeli artinya mengeluarkan uang juga. Kebanyakan revisi, akan berbanding lurus dengan habisnya tinta. Tinta habis, maka harus diisi ulang, isi ulang tinta juga mengeluarkan uang.

Akhirnya Seminar Proposal Juga

Selayaknya mahasiswa tingkat akhir pada umumnya, kegiatan gue belakangan ini gak jauh-jauh dari yang namanya skripsian.

Lebih spesifik: skripsian, kapan penderitaan ini cepat berakhir ya Tuhan?!


*backsound: musik kematian*

Jadi, proses skripsian yang gue lalui dimulai dari mencari judul. Beda dengan membuat novel yang judulnya bisa dipikirin pas naskahnya sudah jadi, skripsi gak bisa gitu. Kita harus menemukan judulnya dulu, baru deh mulai kerjain. Bedanya lagi, kalo judul novel ditolak penerbit, kita tinggal cari judul baru tanpa mengubah isi naskah, sedangkan skripsi, saat seminar proposal bisa aja disarankan penguji untuk merubah judul dan otomatis mengubah isi skripsi kita. Udah capek-capek nemuin judul, nyari teori buat bikin proposal, pas seminar proposal disuruh ganti. Lebih nyesek begini daripada diputusin pas sayang-sayangnya. Sumpah.

(Bukan) Tukang Parkir

Gue termasuk mahasiswa yang paling males berurusan ke kampus.

Alasannya simpel. Setelah sampai di kampus, biasanya sinyal hape gue cuma sebatang, gue coba angkat ke atas siapa tau sinyalnya nambah, eh beneran. Jadi dua batang! Pas gue turunin, eh jadi SOS. Sama sinyal aja kena PHP. Kampret. 

Selain susah sinyal, di kampus gue juga susah cari parkiran! Walaupun disediakan lahan parkir yang cukup banyak, tetep aja untuk dapet tempat parkir itu susah. Pernah, waktu itu gue ke kampus, karena gak mungkin bawa motor masuk ke dalam kelas, gue pun cari parkiran dulu. Gue jalan pelan-pelan sambil tolah-toleh nyari parkiran, ternyata parkirannya penuh. Gue gak nyerah gitu aja! Gue coba jalan agak ke depan siapa tau ada yang kosong, ternyata penuh juga, gue jalan lagi, eh udah keluar kampus. Gue gak jadi kuliah.

Sulitnya mencari tempat parkir ini berbanding lurus dengan tingkat kebrutalan orang saat melihat lahan kosong. Biasanya lahan kosong ini ada di depan fakultas, karena depan fakultas itu parkiran khusus untuk dosen. Mungkin karena putus asa dan takut kejadian kayak gue, melihat depan fakultas lumayan kosong, mereka parkir gitu aja dengan wajah tanpa dosa.

Selain parkir tidak pada tempatnya, orang-orang ini juga parkir asal taruh motor aja gitu. Yang penting lahan kosong tadi bisa dimasukin motor, padahal ya itu space biar motor yang parkir bisa keluar.

Parkiran yang harusnya lenggang bagi dosen tapi diisi oleh mahasiswa juga ini berefek apa? DOSEN JADI SUSAH MAU NGELUARIN MOTOR SODARA-SODARA~

Beberapa kali misalnya lagi lewat depan fakultas, gue liat ada seorang dosen yang kesusahan ngeluarin motornya, sebagai mahasiswa yang baik tentunya gue… buang muka biar gak disuruh. Iya, gue emang sekampret itu.

Sayangnya, ketepatan waktu gue buang muka kalah cepat dengan kecepatan mata dosen menemukan korban untuk disuruh-suruh.

“Mas! Mas!” Panggil sang dosen.

Begonya, gue noleh.

“Tolongin Ibu sini keluarin motor.” Pinta sang dosen dengan wajah bahagia, yang entah kenapa di mata gue terlihat seperti bilang, “Akhirnya dapat korban juga! Huahahahahaha!”

Dengan setengah terpaksa gue pun bantuin beliau.

Sebenernya ada beberapa alasan kenapa gue gak mau disuruh buat bantuin. Alasan pertama adalah karena gue gak kuat angkat-angkat motor. Brengseknya orang-orang yang suka parkir sembarangan ini adalah motornya dikunci stang.

KAN SUSAH GESERNYA, KAMPRET

Lengan gue isinya cuma tulang yang dilapisi daging, gak ada ototnya sama sekali, sedangkan aktifitas geser-geser motor yang dikunci stang itu membutuhkan otot yang menonjol di sekujur lengan. Sebagai cowok, tentunya gue gak mungkin gue nolak perintah ibu dosen itu dengan bilang, “Aduh, Bu. Saya gak kuat.”

Kalo gue bilang begitu, sang dosen pasti bakal bilang, “Cowok kok gak kuat angkat motor?!” Lalu dosen itu gulung lengan bajunya dan mengangkat motor. Ke udara.

Sebagai lelaki, kita harus jaga image. Pura-pura gak lihat lebih baik.

Alasan kedua, karena diolokin temen. Entah kenapa tiap gue bantuin dosen ngeluarin motor, bukan image sebagai anak baik yang gue dapat dari temen-temen gue, misalnya aja “Wah, Yoga anak baik, ya. Bantuin dosen yang kesusahan.”

Tapi yang gue dapat adalah, “Wah, Yoga cocok jadi tukang parkir, ya!”

Kurang ajar memang.


Karena males disuruh-suruh inilah, gue paling menghindari berkeliaran di sekitar fakultas. Gue ke fakultas kalo bener-bener ada keperluan aja, misalnya ngambil daftar hadir, ngurus administrasi, menculik dosen. Itupun setelah gue pastikan di fakultas gak ada dosen yang tukang nyuruh-nyuruh keluarin motor.

*****

Kemaren, gue baru aja ngurus KRS semester 8. Yeah, semoga ini adalah KRS-an terakhir gue. Gue pengin cepet-cepet lulus, tapi ya harus nyusun skripsi dulu. #KemudianNangis

Sebelum nyusun KRS, tentunya gue harus konsultasi ke dosen wali gue dulu, setelah mata kuliah yang bakal gue ambil disetujui, baru gue bisa KRS-an. Padahal ya semester 8 ini mata kuliah gue cuma tinggal skripsi, gak perlu bimbingan juga bisa, kan?

Pagi itu di dalam fakultas rame banget. Mahasiswa berjubel di dalam, AC menempel di atas tempat gue duduk terasa gak berfungsi. Beberapa mahasiswi duduk berdempetan di kursi yang tersedia, saling berbagi agar tidak ada yang hamstring karena kelamaan berdiri. Di dalam fakultas, gue cowok sendiri, karena gue kuliah jurusan FKIP, maka fakultas yang isinya didominasi oleh cewek merupakan pemandangan biasa. Gue sendiri sudah lebih dari 30 menit berada di dalam fakultas, menunggu giliran konsultasi KRS-an.

Untuk membunuh kebosanan, gue buka hape, scroll timeline twitter yang mulai sepi ditinggal penggunanya, gak ada yang seru, gue buka path, melihat teman-teman alay yang bangun tidur aja musti update, temen-temen yang sudah kerja tapi lebih sering update di starbucks ketimbang di kantor, temen-temen yang masih nganggur, karena baru update bangun pukul 11.30 pagi. Sudah pengangguran, alay pula.

Sesekali gue melirik keadaan sekitar, melihat ada adik tingkat gue yang sudah selesai bimbingan dengan dosen walinya, kini dia sibuk menggrepe keyboard laptopnya untuk KRS-an, ada juga yang senasib dengan gue, masih menunggu dosen, muka ngantuk penuh kebosanan tergambar jelas di wajahnya. Beberapa dosen juga tampak mondar-mandir, dari ruangannya, ke meja admin, memberikan berkas, kembali lagi. Fakutas bener-bener sibuk dan ramai, sudah mirip pasar.

Seorang dosen perempuan tampak berjalan menuju luar fakultas, langkah kakinya besar-besar untuk mempersingkat waktu. Pintu yang dibukanya tidak ditahan, dibiarkan tertutup otomatis. Belum ada semenit, pintu itu kembali terbuka, dosen yang tadi keluar berdiri di depan pintu,

“Itu motor scoopy siapa yang parkir di depan?” tanyanya.

Semua mahasiswa yang ada di dalam fakultas menoleh ke luar. Dinding fakultas yang didominasi kaca lebar membuat kami semua bisa melihat keadaan luar dari dalam dengan jelas. Semua mahasiswa yang ada di dalam kompak menggeleng, bukan motor salah satu dari mereka.

“Aduh, saya mau keluar, menghalangi jalan, tuh.” Keluh sang dosen.

Bau-bau gak enak, nih.

“Mas, mas!”

Tuh, kan bener.

Karena gue cowok sendiri di dalam fakultas, jelas panggilan itu buat gue. Gue gak mungkin pura-pura budek, atau pun nyamar jadi cewek, gue gak bawa wig dan kaos kaki buat disumpelin di dada.

“Iya, Bu?”

“Bisa tolong keluarin keluarin motor Ibu?”

Gue menghela nafas, baiklah. Gue berdiri dan menuju luar fakultas. Para mahasiswa yang melihat kursi kosong yang gue tinggalkan segera berebutan karena mulai hamstring. Terjadi pertumpahan darah untuk menduduki kursi gue itu. Ada yang ngeluarin golok, ada yang nyewa tukang pukul, ada juga yang nelpon mafia Italia. Pokoknya keadaan chaos abis.

Sampai di luar fakultas, keadaannya berbanding terbalik dengan yang ada di dalam. Di luar sepi, kayak hati gue. Cuma ada 2 orang mahasiswi berdiri di pinggir fakultas melihat gue, mungkin mereka gak mau masuk ke dalam karena di dalam pengap.

“Yang itu, Mas.” Dosen itu menunjuk motornya.

Gue menggaruk kepala, berusaha mencari cara terbaik untuk mengeluarkan motor sang dosen. Otak gue mulai bekerja menyusun rencana. Okey, majuin motor scoopy kampret yang halangan jalan, geser motor dosen sebesar 45 derajat, mundurin dikit, banting stir, mundurin lagi, keluar deh.

“Bisa, Mas?”

“Bisa, Bu.” Jawab gue mantap.

Gue mulai menjalankan rencana yang ada di kepala gue. Kampretnya, motor scoopynya dikunci stang. Gue coba majuin, geser, majuin geser hingga memberikan space untuk keluarnya motor sang dosen. Setelah berhasil gue pindahin, gue geser dikit motor sang dosen, dan selanjutnya sesuai rencana. Motor sang dosen kini sudah ada di pinggir jalan.

“Makasih, ya, Mas!” kata sang dosen, tanpa ngasih dua ribuan.

Gue hanya tersenyum sambil menangguk dan segera kembali masuk ke dalam fakultas. Pas gue mau nutup pintu, gue liat 2 cewek yang berdiri di samping fakultas tadi berjalan pelan menuju depan fakultas, mau masuk, nih? Pikir gue.

Gue tahan handle pintunya agar si pintu tidak menutup, kedua cewek tadi ternyata berjalan ke arah berlawanan, gak menuju ke dalam fakultas, tapi ke… parkiran. Mereka pun duduk di motor scoopy-kampret-yang-halangan-jalan-dikunci-stang-pula-dan-susah-payah-gue-pindahin. Lalu, mereka memakai helm, seorang cewek yang duduk di depan mengeluarkan kunci, memundurkan motor scoopy tadi dan tancap gas.

LAH, ITU MOTOR ELU?!

KENAPA TADI DIEM AJA KAYAK GAMBAR .JPEG?!

KENAPA PAS MAU GUE PINDAHIN GAK CEGAH GUE SAMBIL BILANG, “MAS ITU MOTOR SAYA. GAK USAH DIPINDAHIN, KITA JUGA MAU KELUAR KOK”?!!!

ITU BUANG-BUANG ENERGI GUE SEBESAR 500 KILO JOULE, BANGKAI!!!


Asli, gue speechless di depan pintu. Gue cuma bisa mengelus dada duo serigala dan kembali ke aktifitas gue sebelumnya: nunggu giliran.

“Cie tukang parkir.” ejek temen gue. Karena udah terlalu kesel, kalo gue tanggapin pasti gue bakal berubah jadi mahluk hijau raksasa. Gue berusaha mengabaikan ejekannya. Dengan mengeluarkan sebilah pisau.

Seorang temen mengintip ke ruangan dosen wali, kebetulan dosen wali kami sama. “Udah kosong, tuh. Ayok konsul.”

Kami pun menuju ke ruang dosen wali, mengetuk pintunya, mengucapkan salam dan menyampaikan tujuan kami.

“Permisi, Bu. Kita mau KRS-an.” Kata temen gue.

“Nanti aja, ini sudah jam istirahat makan siang. Satu jam lagi, ya!”

“….”

Gue jadi makin males berurusan dengan kampus.

Kekuatan super yang muncul saat UAS

Menjelang tahun 2015, ketakutan gue menghadapi tahun itu adalah karena gue akan magang. Menjelang tahun 2016 kemaren, gue lagi-lagi mengalami ketakutan. Tahun ini gue udah mulai skripsian. Iya, Di awal tahun 2016 ini gue baru saja menuntaskan UAS semester 7. Mau bahagia karena liburan pun dilema karena udah kepikiran,


“JUDUL SKRIPSI GUE APAAN, YA?”

“GUE BISA LULUS TAHUN INI GAK, YA?”

“MANTAN UDAH NGAPAIN AJA SAMA PACAR BARUNYA, YA?”

Jadi mahasiswa semester akhir gini amat ternyata.

Nah, selama kuliah 7 semester itu tentunya gue udah 7 kali menghadapi yang namanya UAS. Bagi adik-adik yang berpikiran kalo UAS anak SMA dan Kuliahan itu sama, kalian salah! UAS itu jadi penentu nilai (IP) kalian untuk bisa ngambil berapa banyak mata kuliah di semester depan. Semakin tinggi, semakin banyak bisa ngambil mata kuliah semester depan, semakin cepet lulus. Gitu. 

Makanya UAS itu menjadi momen special, di mana para mahasiswa tiba-tiba memiliki kekuatan ajaib agar bisa mendapat IP bagus. Misalnya aja kekuatan seperti ini…

1.Kekuatan untuk datang super cepet

Kelakuan temen-temen sekelas gue pas perkuliahan biasa adalah sering telat. Jadwal kuliah mulai pukul 8.30 pagi, mereka datang pukul 8.45. Pernah juga ada yang datang pukul 9.30. Untungnya dia diperbolehkan masuk ke kelas oleh sang dosen setelah menggunakan alasan klasik “ban bocor”, padahal gue tau kalo temen gue itu kesiangan, atau di rumahnya gak ada teknologi bernama jam.

Nah, saat UAS, kelakuan mereka berubah 180 derajat. UAS dimulai pukul 8.30, gue pun berangkat dari rumah pukul 7.45 karena perjalanan dari rumah ke kampus itu 30 menit. Masih bisalah pilih tempat duduk di belakang, pikir gue.
Pukul 8.15 gue sampai kampus dan segera menuju ruang ujian. Begitu buka pintu… KELASNYA SUDAH PENUH! GUE DAPET KURSI PALING DEPAN! *nangis*

Besoknya, gue berangkat lebih cepet. Gue berangkat pukul 7.30 dari rumah. Sesuai perkiraan, gue sampai kampus pukul 8.00. Begitu sampe kelas… KELASNYA SUDAH PENUH LAGI! 

Gue penasaran, gue Tanya sama temen-temen gue, “Kalian jam berapa sih sampe kampus?”

“Pukul 7.30.”
 “….”

Begitu dahsyatnya UAS, yang tukang telat saat perkuliahan biasa aja bisa datang cepet.

2.Kekuatan untuk bisa menulis di mana saja

Selain agar bisa ngambil barisan kursi paling belakang, niat gue datang UAS 15 menit sebelum mulai adalah agar bisa melakukan persiapan untuk mencontek. Iya, gue gak munafik kalo gue masih nyontek karena kadang materi yang di-UAS-kan itu banyaknya minta ampun. Belum lagi rata-rata soal UAS itu berformat sebutkan dan jelaskan serta berikan contoh! Jadi, kadang gue suka nyatat poin-poin materi yang gue rasa bakal keluar di soal nanti.

Di mana kah gue nyatat?

Karena gue gak ahli dalam mengeluarkan catatan atau fotokopian yang sudah dimikro, gue nyatat di… telapak tangan dan meja. Iya, meja anak kuliahan yang begini:

Nemu di gugel dengan keyword: kursi anak kuliah. Nice info, kan?
Biasanya gue bakal pilih yang warna mejanya hitam, jadi bisa gue tulisin pake pensil. Kalo udah selesai, tinggal hapus untuk menghilangkan jejak. Ehe.

3.Kekuatan untuk bisa membaca tulisan kecil

Kelanjutan dari kekuatan bisa menulis di mana saja adalah para mahasiswa mendapatkan kekuatan bisa membaca tulisan kecil. Gak mungkin dong kita nulis di meja, tapi tulisannya gede-gede kayak paha badak? Pasti kita akan menulis sekecil mungkin! Dan karena faktor itulah, kita mendapatkan kekuatan membaca tulisan kecil untuk mengisi jawaban dari soal UAS.

Saat mendapatkan contekan dari temen berupa gumpalan kertas juga isinya pasti tulisan kecil, gak mungkin 1 folio. Jadi, kekuatan ini bener-bener bermanfaat demi meraih IP tinggi.

4.Kekuatan untuk berbicara dan mendengar tanpa suara

Apabila semua contekan yang sudah kita buat gak ada yang keluar di soal, kita bener-bener gak tau jawabannya, pilihan 50:50 sudah dipakai, phone a friend gak bisa digunakan karena saat UAS dilarang membawa hape, maka satu-satunya cara agar lembar jawaban terisi adalah dengan bertanya ke temen.

Jika bertanya bisa menggunakan kode lewat jari, memberi jawaban akan lebih ribet karena kita harus mendiktekan jawaban ke temen tanpa suara.

TANPA SUARA! *sengaja diulang biar keren*

Tiba-tiba aja kita bisa ngomong tanpa mengeluarkan suara, hanya melalui gerakan bibir, kerennya temen kita bisa ngerti kita ngomong apaan dan segera mencatat jawabannya. Keren.

5.Kekuatan merasakan tatapan tanpa melihat

30 menit awal di UAS, biasanya para mahasiswa akan berusaha mengerjakan soalnya sendiri. Tanpa tolah-toleh, pandangannya terfokus pada lembar soal dan kertas folio. 30 menit awal sudah terlewati, kita mendadak punya kemampuan merasakan tatapan. Kita mendadak ngerasa orang di belakang atau sebelah kita membutuhkan bantuan, dan kita segera menoleh. Setelah menoleh, orang yang kita tatap tadi langsung menggunakan kode di tangannya untuk bertanya nomor soal yang dia tidak tau jawabannya. Iya, dengan menatap orang lama-lama, dia akan tau kalo dia ditatap. Kekuatan yang mengerikan!


6.Kekuatan gak mau rugi
“Ssssttt!”

“Uhuk!”

Cara-cara di atas adalah cara klasik jika kekuatan tatapan mendadak tidak berfungsi. Biasanya temen yang dikodein begini adalah temen yang pinter tapi mendadak budek pas ujian. Dikodein gak noleh, dipanggil gak noleh, dilempar bom nuklir dia mati. 

Gue menyimpulkan, mahasiswa tipe ini berusaha mendapatkan IP bagus dengan kekuatan pura-pura budek. Dia gak mau temen-temen lainnya mendapat IP bagus seperti dia. Mahasiswa begini, halal dikucilkan dari pergaulan.

Kayaknya itu aja kekuatan-kekuatan yang muncul (yang gue sadari) saat berlangsungnya UAS. Mungkin ada kekuatan lainnya yang gak gue sadari, tapi ya namanya juga mahasiswa, selalu menghalalkan segala cara agar dapet IP tinggi, bisa ngambil banyak mata kuliah semester depan, semakin cepet juga galauin skripsi… Eh.