A Great Story Comes With Great Stupidity : December 2015

Magang dan Quentin Jacobsen

Sudah di penghujung tahun 2015. Seperti kebiasaan para blogger, momen ini dijadikan bahan postingan, entah untuk membahas apa saja pencapaian di tahun 2015 atau resolusi untuk tahun 2016. Iya, momen ini bener-bener membantu blogger murtad yang sering kehabisan bahan buat diposting, kayak gue.

Tahun 2015 merupakan tahun yang epic bagi gue. Awalnya gue takut banget menghadapi tahun 2015 karena di tahun ini gue semester 7, gue bakal magang, karena gue kuliah jurusan pendidikan maka gue magangnya jadi ikan. Oke, bukan. Jadi guru.

Bisa dibilang gue kuliah tanpa bener-bener minat kuliah. Magang tentunya sudah jadi ketakutan bagi gue. Jangankan ngajar, kuliahnya aja gak minat. Gue takut menyesatkan calon penerus bangsa ini. Untungnya, magang gue selama 3 bulan dari bulan Agustus sampai Oktober berlalu tanpa hambatan. Emang bener, cara paling mudah menaklukan ketakutan kita adalah dengan menghadapinya. #SokBijak #SokPesanMoral #YogaGanteng
yay!
Selain magang, di tahun 2015 ini juga gue bener-bener keluar dari zona nyaman gue. Setelah lama berdiam diri di rumah aja, gue akhirnya ke luar kota. Terakhir kali gue ke luar kota itu tahun 2013, gue ke Surabaya dan Malang. Kenapa gue jarang ke luar kota? Sebenernya simpel. Gue buta arah. Gue bukan pengingat dan penghafal jalan yang baik. Gue masuk ke gramedia aja tersesat nyari pintu keluar.

Alasan satu-satunya bagi gue si buta arah ini keluar kota adalah karena gue saat itu LDR-an Balikpapan-Samarinda. Iya, gue di Balikpapan, pacar gue di Samarinda.

Dua tahun sebelumnya, gue pernah juga LDR-an Balikpapan-Samarinda, tapi guenya gak pernah ke Samarinda karena si doi emang seminggu sekali pulang. Gak pengin ngulang kesalahan di hubungan sebelumnya, gue coba keluar dari zona nyaman gue: gue samperin dia ke Samarinda.

Mungkin, emang dia bukan belum jodoh gue. Hubungan kita harus berhenti setelah 5 bulan. 

Lima bulan berlalu, kadang gue suka keinget sama mantan gue itu. Bayangan masa lalu dari pertama kita kenalan, kita ketemuan, chating tiap hari, jadian, ngambek-ngambeknya, ditinggal ketiduran, ke fun city mainan kayak ababil lepas, ke pasar malam naik kora-kora KW yang bikin gue mau muntah ectoplasma, bangunin dia tidur biar gak telat kuliah, ke Samarinda cuma buat bilang kalo gue kangen pengin ketemu. Gue gak pernah seserius itu pacaran, apa lagi statusnya LDR-an.

Awalnya, beberapa bulan setelah kami putus, gue sempet nyesel mengiyakan saat dia minta putus. Belakangan ini gue sadar, bahwa gak semua yang diperjuangin bakal kita dapatin. Mungkin ada hal-hal lain di luar kesadaran kita yang bisa kita dapat dari perjuangan kita tadi. 

Gue jadi ingat film Paper Towns, di mana si Quentin Jacobsen berusaha nemuin si Margo Roth Spiegelman, cewek yang menjadi cinta pertamanya sejak kecil yang dianggapnya suatu ‘keajaiban’. Quentin mencari Margo yang menghilang lewat petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan oleh Margo. Bersama ke-4 temennya, Quentin melalukan perjalanan dari Orlando ke New York untuk menuju paper towns (kota kertas atau fiktif) bernama Agloe. Sampai di Agloe, Quentin bertemu Margo dan nyatain perasaannya, ternyata si Margo ninggalin petunjuk bukan untuk ditemukan atau disusulin, cuma pengin ngasih tau kalo dia baik-baik aja. Nyeseknya, Margo cuma nganggap Quentin sebagai teman. Awalnya Quentin kecewa, perjalanan jauhnya terasa sia-sia. Tapi dia sadar, bahwa karena Margo-lah dia bisa nemuin “keajaiban” bernama pengalaman, jati diri, juga persahabatan bersama 4 orang temennya yang nemenin dia buat nyari Agloe.

Sama seperti Quentin, berkat ‘dia’ gue bisa keluar dari zona nyaman gue. Perjalanan gue ke luar kota naik motor untuk pertama kali. Iya, gue jadi tau gimana rasanya encok naik motor bolak-balik Balikpapan-Samarinda.

Gue juga tau rasanya masuk angin parah karena maksa pulang hujan-hujanan dari Samarinda karena gue gak ijin sebelumnya ke orang tua gue mau ke luar kota. (Ini jangan ditiru, karena ijin orang tua adalah yang paling utama). 

Pertama kali gue bolos kuliah cuma untuk nonton konsernya dia karena cuma pengin liat dia bahagia gue datang ke konsernya. Tau bahwa kesibukannya main biola sama sekali gak mengganggu hubungan kita, bahkan itu yang bikin gue bangga sama dia.

Mungkin bagi orang lain, ini tampak bodoh, tapi bagi gue… ini spesial.

Perjalanan gue selalu ditemani sohib gue, Dana, dan kita berdua selalu sepakat, “Bukan masalah bertemunya yang bikin berkesan, tapi… perjalanannya itu loh.”

Semua perjalanan, pengalaman dan perjuangan gue mungkin adalah ‘keajaiban’ yang gue dapat dari hubungan itu. Gue sendiri gak tau kabarnya dia bagaimana sekarang. Mungkin sekarang ‘Margo’ sedang bahagia dengan dunianya yang baru, di ‘paper towns’ tanpa gue.

Iya, gue.

Si Quentin Jacobsen.

Si Cemen vs Bendol KW

Gue anak motor.

Bukan, maksud gue anak motor itu bukan anak-anak yang hobi kebut-kebutan dan utak-atik motor, misalnya aja kayak ganti knalpot pake knalpot racing, ganti ban pake ban sepeda roda tiga, ganti lampu motor pake senter. Maksud gue anak motor adalah ke mana-mana gue selalu naik sepeda motor, untuk menunjang aktifitas sehari-hari gue.

Pertama kali gue bisa mengendarai sepeda motor adalah saat kelas 6 SD. Tapi masih sebatas keliling komplek dan harus membonceng kakak gue biar aman. Untuk ke jalan raya, gue baru melakukannya saat kelas 2 SMA, setelah gue punya SIM C.