Sudah di penghujung tahun 2015. Seperti kebiasaan para blogger, momen ini dijadikan
bahan postingan, entah untuk membahas apa saja pencapaian di tahun 2015 atau
resolusi untuk tahun 2016. Iya, momen ini bener-bener membantu blogger murtad
yang sering kehabisan bahan buat diposting, kayak gue.
Tahun
2015 merupakan tahun yang epic bagi
gue. Awalnya gue takut banget menghadapi tahun 2015 karena di tahun ini gue
semester 7, gue bakal magang, karena gue kuliah jurusan pendidikan maka gue
magangnya jadi ikan. Oke, bukan. Jadi guru.
Bisa
dibilang gue kuliah tanpa bener-bener minat kuliah. Magang tentunya sudah jadi ketakutan bagi
gue. Jangankan ngajar, kuliahnya aja gak minat. Gue takut menyesatkan calon
penerus bangsa ini. Untungnya, magang gue selama 3 bulan dari bulan Agustus
sampai Oktober berlalu tanpa hambatan. Emang bener, cara paling mudah
menaklukan ketakutan kita adalah dengan menghadapinya. #SokBijak #SokPesanMoral #YogaGanteng
Selain
magang, di tahun 2015 ini juga gue bener-bener keluar dari zona nyaman gue.
Setelah lama berdiam diri di rumah aja, gue akhirnya ke luar kota. Terakhir
kali gue ke luar kota itu tahun 2013, gue ke Surabaya dan Malang. Kenapa gue
jarang ke luar kota? Sebenernya simpel. Gue buta arah. Gue bukan pengingat dan
penghafal jalan yang baik. Gue masuk ke gramedia aja tersesat nyari pintu
keluar.
Alasan
satu-satunya bagi gue si buta arah ini keluar kota adalah karena gue saat itu
LDR-an Balikpapan-Samarinda. Iya, gue di Balikpapan, pacar gue di Samarinda.
Dua
tahun sebelumnya, gue pernah juga LDR-an Balikpapan-Samarinda, tapi guenya gak
pernah ke Samarinda karena si doi emang seminggu sekali pulang. Gak pengin
ngulang kesalahan di hubungan sebelumnya, gue coba keluar dari zona nyaman gue:
gue samperin dia ke Samarinda.
Mungkin,
emang dia bukan belum jodoh gue. Hubungan kita harus berhenti setelah 5
bulan.
Lima
bulan berlalu, kadang gue suka keinget sama mantan gue itu. Bayangan masa lalu
dari pertama kita kenalan, kita ketemuan, chating tiap hari, jadian,
ngambek-ngambeknya, ditinggal ketiduran, ke fun city mainan kayak ababil lepas, ke pasar malam naik kora-kora KW yang bikin gue mau muntah ectoplasma, bangunin dia tidur biar gak telat kuliah, ke Samarinda cuma buat bilang kalo gue kangen pengin ketemu. Gue gak pernah
seserius itu pacaran, apa lagi statusnya LDR-an.
Awalnya,
beberapa bulan setelah kami putus, gue sempet nyesel mengiyakan saat dia minta
putus. Belakangan ini gue sadar, bahwa gak semua yang diperjuangin bakal kita
dapatin. Mungkin ada hal-hal lain di luar kesadaran kita yang bisa kita dapat
dari perjuangan kita tadi.
Gue
jadi ingat film Paper Towns, di mana si Quentin Jacobsen berusaha nemuin si
Margo Roth Spiegelman, cewek yang menjadi cinta pertamanya sejak kecil yang
dianggapnya suatu ‘keajaiban’. Quentin mencari Margo yang menghilang lewat
petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan oleh Margo. Bersama ke-4 temennya, Quentin
melalukan perjalanan dari Orlando ke New York untuk menuju paper towns (kota kertas
atau fiktif) bernama Agloe. Sampai di Agloe, Quentin bertemu Margo dan nyatain
perasaannya, ternyata si Margo ninggalin petunjuk bukan untuk ditemukan atau
disusulin, cuma pengin ngasih tau kalo dia baik-baik aja. Nyeseknya, Margo cuma
nganggap Quentin sebagai teman. Awalnya Quentin kecewa, perjalanan jauhnya
terasa sia-sia. Tapi dia sadar, bahwa karena Margo-lah dia bisa nemuin
“keajaiban” bernama pengalaman, jati diri, juga persahabatan bersama 4 orang
temennya yang nemenin dia buat nyari Agloe.
Sama
seperti Quentin, berkat ‘dia’ gue bisa keluar dari zona nyaman gue. Perjalanan
gue ke luar kota naik motor untuk pertama kali. Iya, gue jadi tau gimana
rasanya encok naik motor bolak-balik Balikpapan-Samarinda.
Gue
juga tau rasanya masuk angin parah karena maksa pulang hujan-hujanan dari
Samarinda karena gue gak ijin sebelumnya ke orang tua gue mau ke luar kota.
(Ini jangan ditiru, karena ijin orang tua adalah yang paling utama).
Pertama
kali gue bolos kuliah cuma untuk nonton konsernya dia karena cuma pengin liat
dia bahagia gue datang ke konsernya. Tau bahwa kesibukannya main biola sama
sekali gak mengganggu hubungan kita, bahkan itu yang bikin gue bangga sama dia.
Mungkin
bagi orang lain, ini tampak bodoh, tapi bagi gue… ini spesial.
Perjalanan
gue selalu ditemani sohib gue, Dana, dan kita berdua selalu sepakat, “Bukan
masalah bertemunya yang bikin berkesan, tapi… perjalanannya itu loh.”
Semua
perjalanan, pengalaman dan perjuangan gue mungkin adalah ‘keajaiban’ yang gue
dapat dari hubungan itu. Gue sendiri gak tau kabarnya dia bagaimana sekarang. Mungkin
sekarang ‘Margo’ sedang bahagia dengan dunianya yang baru, di ‘paper towns’
tanpa gue.
Iya,
gue.
Si
Quentin Jacobsen.