Setelah takut dengan ‘kutukan’ angka 23, ternyata hasil tesnya sesuai harapan gue,
alias gue lolos ke tahap selanjutnya. Uhuy!
Tes
selanjutnya adalah tes kesehatan alias medical
check up (MCU) dan psikiatri. Jarak antara pengumuman dan tes selanjutnya
sekitar 3 minggu, jadi dalam waktu 3 minggu itu gue jadi rajin jogging,
berusaha tidur di bawah jam 12 malam, makan wortel. Pokoknya biar sehat aja
gitu.
Setelah
3 minggu melaksanakan kegiatan penuh pencitraan itu, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu
pun datang juga. Bagi gue, selama pencarian kerja, ini pertama kalinya gue tes
kesehatan. Jadi, ya… gue deg-degan lah! Takut dibius tanpa sadar, terus
dipegang-pegang, terus divideoin dan disebar di internet. Hmmm… kayaknya gue
kebanyakan nonton fake hospital, deh.
Pukul
7.10 pagi gue sampai di rumah sakit yang sudah ditunjuk untuk tes kesehatan
ini. Menurut pengumuman, tesnya sih mulai pukul 8 pagi. Di parkiran ada
beberapa orang yang berpakaian sama seperti gue; kemeja putih-celana
hitam-pantofel, khas pengangguran orang lagi cari kerja. Gue ikuti langkah
mereka menuju sebuah gedung. Tiba-tiba setan di kepala gue kayak bisikin gitu, “Sliding tackle mereka dari belakang biar
mereka cedera dan gagal di tes kesehatan!”
Untungnya
iman gue kuat. Gue langsung zikiran. Niat jelek itupun hilang.
Sampai
di dalam gedung, kami bertemu security yang mengarahkan kalo tesnya di lantai
3. Kami segera menuju lift dan masuk ke dalamnya. Beberapa detik kemudian lift
yang membawa kami ke lantai 3 terbuka dan… UDAH RAME ANJER!
Gue
segera mengambil formulir dan mengambil nomor antrian. Gue dapet nomor 39. Gila
nih, jam 7 pagi aja sudah dapet nomor 39, yang dapet nomor 1 itu nginap apa
gimana?!
Gue
pun mengisi formulir tadi dan mencari tempat duduk. Oiya, malam harinya, mulai
pukul 8 malam, kami sudah disuruh untuk puasa makan dan hanya diperbolehkan
minum air putih. Entahlah gue bakal dipanggil jam berapa dan nambah berapa jam lagi puasanya.
Pukul
8 pagi, satu per satu nomor antrian mulai dipanggil. Gue ngobrol-ngobrol dan
kenalan dengan beberapa peserta tes di situ, mulai dari pertanyaan standar soal
nama dan posisi yang kami pilih, sampai hal penting kayak ‘ntar diapain aja,
ya?’
Lalu
ada yang mulai cerita, dia sebenernya sudah punya pekerjaan, terus nyoba-yoba rekrutmen ini dan lolos, jadi dia sudah pernah MCU sebelumnya, katanya entar di salah
satu tahapan disuruh bugil untuk pemeriksaan hernia dan ambeien.
“Bu-bugil?”
Tanya gue.
“Iyalah.
Terus biasanya sih entar pantat kita ditusuk pake alat gitu.” Lanjut dia.
“Di…tusbol?”
Tanya orang yang duduk di sebelah gue. “Gak perjaka dong kita entar?! Disodomi,
cuk!”
“Ya…
emang gitu. Terus biasanya sih kayak di-korek gitu.”
“ANJER
NGILU! FAAAK!!!”
“Te-terus,
tau enggaknya ambeien dari mana?” Tanya gue.
“Kalo
kamu teriak kesakitan, nah berarti ambeien. Kan kalo ambeien ada benjolan gitu di sekitar lubang 'itu'.” Jawab dia.
Oke.
Kalo pas ditusbol gak merasa sakit berarti gak ambeien, tapi itu juga bisa
berarti… sudah terbiasa ditusbol. Karena sesehat-sehatnya orang, kalo ada
‘benda asing’ nyasar ke ‘situ’, pasti teriak juga, lah!
Pukul
10.20 akhirnya nomor urut gue dipanggil. Gue segera menuju meja registrasi,
menyerahkan nomor antrian, menyerahkan formulir yang gue isi di awal tadi,
menyerahkan undangan tes, menyerahkan mahar, ijab Kabul, sah menikah. *lho*
Di
meja registrasi itu gue diberi formulir lagi untuk diisi, lalu diberi daftar
tes apa saja yang musti gue lakukan beserta nomor ruangannya, lalu juga disuruh
pilih mau makan apa. Pilihannya ada 4: nasi goreng, burger, sandwich, roti bakar.
Asoy, ya? Kirain bakal dikasih makanan rumah sakit alias bubur. Setelah itu gue
menandatangani daftar hadir dan ternyata peserta tesnya… 87 orang.
MAMPUS
YANG URUTAN TERAKHIR!
UNTUNG
PAKE NOMOR ANTRIAN BUKAN BERDASARKAN ABJAD!
KALO
ENGGAK, GUE YANG TERAKHIR!
Tes pertama: ambil darah, tes urine, anjer
pipisnya over capacity! Beres.
Tes kedua: pemeriksaan berat dan tinggi badan,
tekanan darah dan suhu badan. Lalu tes buta warna dan tes mata.
“Sehari-harinya
pake kacamata?” Tanya si dokter.
“Enggak,
Dok. Masih normal kayaknya ini.”
Jadi,
gue duduk, dipakein kacamata, di hadapan gue ada dinding yang jaraknya lumayan
jauh dari tempat gue duduk, kira-kira... 50 kilometer lah.
Di dinding itu ada deret huruf dan gue disuruh baca. Ukuran hurufnya
ganti-ganti, kadang kecil, kadang gede, kadang 36B. Tiap kali merasa susah
baca, akan ditambah atau dikurangi lensanya.
Hasil
tesnya: GUE MINUS SODARA-SODARAAAA. Mata kanan gue minus 0.75, mata kiri 0.5.
Yah, kayaknya gue musti sering-sering makan wortel nih biar sehat.
Tes ketiga: rekam jejak jantung.
Bukan,
ini gue bukannya disuruh nelan kamera untuk merekam aktivitas jantung gue. Gue masuk ke ruangan
si dokter. Kemudian si dokter menurunkan letak kacamatanya, menatap gue dengan
tajam. “Buka bajunya, lalu baring di tempat tidur.”
Terus
gue nurut-nurut aja. Gue buka baju, baring di kasur. Dada gue digrepe
diusap dengan kapas yang kayaknya sudah dikasih alkohol gitu di beberapa titik.
Ada rasa dingin setelah diusap pakai kapas tadi. Lalu badan gue dipasangi
beberapa kabel di titik-titik yang terasa dingin tadi. Gue sudah kayak bahan
percobaannya dokter franskenstein.
Lalu gue disuruh bernafas secara normal,
jangan panik, jangan mencret, biasa aja. Terus ya… udah. Hasilnya keluar. Selesai. Pake baju
lagi.
Tes keempat: rontgen
Gue
masuk ke ruangan rontgen, disuruh buka baju lagi, lalu disuruh memegang semacam
‘papan’ gitu yang ukurannya se-badan gue, lalu disuruh hadap tembok. lalu…
udah.
CEPET
BANGET!
Tes kelima: sarapan
WAINI
YANG PALING DITUNGGU-TUNGGU! SUDAH PUASA HAMPIR 15 JAM! LAPAR, BOS!
Jadi,
waktu sarapan ini dicatat dan 2 jam kemudian gue sudah musti ambil darah lagi.
Inilah kenapa gak ada menu soto babat ataupun kambing guling.
Tes keenam: Gue lupa namanya apaan, pokoknya
ini tes yang disuruh bugil. :v
Abis
sarapan seharusnya gue kenyang, lah ini apaan, gue deg-degan! Gue teringat
obrolan pas tadi pagi. Soal ditusbol. Pantat gue langsung deg-degan.
Satu
hal yang patut gue syukuri saat itu adalah ruang tesnya dibedakan antara cowok
dan cewek. Jadi, peserta tes cowok bakal diperiksa oleh dokter cowok, begitupun
sebaliknya. Bayang-bayang fake hospital langsung sirna.
Setiap
kali ada cowok yang keluar dari ruangan dokter, gue jadi makin deg-degan. Dia
keluar dengan langkah berat, tatapan kosong, seperti hidupnya beda setelah
keluar dari ruang itu.
Setelah
gue menunggu kurang dari satu jam, seorang dokter keluar dari ruangannya dan
menyebut nama gue. Gue menarik nafas dalam-dalam, lalu berdiri dari sofa menuju
ruangan si dokter, diiringi doa oleh peserta tes lain yang duduk bareng gue
tadi.
Gue
masuk, lalu dipersilakan duduk, ditanya-tanya soal riwayat penyakit yang gue
dan keluarga gue punya. Setelah ngobrol-ngobrol bentar, bagian gak enaknya
dimulai nih.
“Silakan
buka bajunya, lalu baring di kasur.” Kata om dokter.
Gue
langsung buka baju gue. Setelah bertelanjang dada, gue mengarahkan tangan ke
ikat pinggang gue.
“Celananya
nanti.” Cegah si dokter. “Sabar.”
“….”
Gue
langsung naik ke kasur, berbaring. Om dokter kemudian menekan di beberapa titik
di badan gue. Dari atas menuju bawah. Kayaknya sih jantung, hati, lambung, titit.
“Oke,
sekarang duduk menghadap saya.” Kata om dokter sambil menyalakan senter.
Lalu
beliau menyenteri mata, telinga dan mulut gue. Mencatat beberapa poin, entahlah
apa yang ditulis gue enggak tau.
“Silakan
turun dari kasur.” Om dokter ngeloyor pergi meninggalkan gue. “Lalu buka
celananya untuk pemeriksaan hernia dan ambeien.”
WAH
INI BAGIAN GAK ENAKNYA.
Dengan
berat hati, gue mulai membuka ikat pinggang gue, lalu memisahkan kancing celana
gue yang awalnya terpasang erat, menurunkan ritsliting dan membiarkan celana
gue turun sendiri. Suara kepala ikat pinggang gue yang menghantam lantai
terdengar syahdu.
Om
dokter kembali menemui gue, lalu menatap ke arah bawah, arah anaconda gue.
“Hmmmm… itu celana dalamnya juga diturunkan.”
“Ehehehe.”
USAHA
GUE UNTUK TIDAK BUGIL GAGAL SODARA-SODARA.
Dengan
sangat terpaksa akhirnya pertahanan gue satu-satunya bobol juga. Celana dalam
gue ikut turun. Ini untuk pertama kalinya gue bugil di depan cowok. Si om
dokter menatap sebentar, lalu memberikan komentarnya.
“Yoga,
titit kamu bagus, mantap dan cerdas! KOMPOR GASSSS!”
Oke,
enggak gitu. Beliau cuma bilang, “Oke, sekarang hadap samping.”
Gue
nurut. Om dokter kembali memperhatikan dengan seksama. “Sekarang balik badan
dan… nungging.”
NUNGGING,
CUY!
BAGIAN
PALING GAK ENAK DARI BAGIAN GAK ENAKNYA DIMULAI NIH.
Karena
gue pengin tes ini cepet selesai, yaudahlah gue balik badan dan sedikit membungkukkan
badan. Suara sarung tangan karet yang terpasang terdengar di telinga gue. Gue
gak berani noleh ke belakang, gue bener-bener berusaha fokus untuk gak teriak,
apalagi mendesah.
“Oke,
sudah. Silakan pakai lagi celananya.” Kata om dokter.
“Su-sudah,
Dok?” Tanya gue.
“Iya,
sudah.”
“Cepet
amat! Gak berasa!” Gue ngomongnya dalam hati. Takut aja dokternya ngira gue
minta ditusuk lagi.
Om
dokter kemudian membuang sarung tangannya ke tempat sampah, lalu kembali ke
mejanya, sementara itu gue kembali berpakaian dan segera menuju meja si dokter.
Beliau kemudian mengecek tes apa saja yang sudah gue lalui seharian ini dan
ternyata sisa 1 tes lagi.
“Ini
tinggal ambil darah lagi baru selesai. Jam berapa tadi sarapan?” Tanya beliau.
“Setengah
sebelas, Dok.”
Beliau
menatap jam tangannya. “Berarti tunggu 40 menit lagi, ya.”
Gue
mengangguk, ijin untuk keluar ruangannya sambil mengucapkan terima kasih.
Tes ketujuh: tes darah kedua.
Setelah
menunggu 40 menit sambil ngobrol-ngobrol, gue masuk ke ruangan yang sama saat
pertama kali ambil darah. Jika sebelum sarapan gue diambil darah melalui lengan
kanan, kali ini lengan kiri gue jadi sasaran.
Semua
tes kesehatan sudah gue lalui, gue menyerahkan check-list tes yang sudah gue lalui ke meja registrasi di awal,
lalu diperbolehkan pulang. Sekitar pukul 12.45 gue pulang meninggalkan rumah
sakit.
*****
Besoknya,
gue lanjut tes psikiatri. Ini semacam tes kepribadian gitu. Cuma disuruh jawab
pertanyaan dengan jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’ aja.
Kelihatannya
gampang dan gak mungkin ada hambatan, kan? Oh, jangan salah!
Sampai
di ruangan tesnya bersama ke-87 peserta lain, gue dibikin pusing.
1.
Soal tesnya ternyata menggunakan LJK dan musti diisi pakai pensil 2B.
2.
Gue gak bawa kotak pensil karena di pengumumannya disuruh bawa pulpen. Namanya juga cowok, ada pulpen sebiji di dalam tas juga udah bagus.
3.
Untungnya ada pensil 2B sebatang di tas gue, tapi penggaris buat hitamin
LJK-nya gak ada
4.
Soal tesnya 565 soal
5.
Waktu tesnya 2,5 jam
Akhirnya
gue hitamin LJK secara manual. Awalnya lancar-lancar aja, tapi lama kelamaan
tangan gue sakit. Gue noleh ke belakang, waktu sisa 30 menit lagi dan gue masih
kurang 100-an soal lagi.
Jika
di awal gue menggunakan metode baca soal, hitamin jawaban. Kali ini gue
mengganti strategi. Baca soal, titikin jawaban, baca soal selanjutnya,
hitaminnya belakangan. Cara ini lumayan efektif, dalam 10 menit, 100 soal tadi
selesai di angka 564.
LAH.
KELEWAT SATU SOAL INI MAH!
Gue
kembali telusuri soal dan jawabannya, ternyata bener, gue kelewat 1 soal yang
berbunyi: “Apakah anda pengguna marijuana (ganja)?”
Dan
jawaban gue: “IYA”
Untung
gue teliti dan segera mengganti jawaban gue, kalo enggak, pasti gue lagi
diperiksa BNN dan postingan ini enggak bakal ada. Lima menit sebelum waktu tes
selesai, gue mengumpulkan lembar jawaban gue, istirahat sebentar lalu pulang.
Yah,
doakan aja gue lolos lagi ke tahap selanjutnya. Perjalanan gue masih panjang
sih. Sekarang, yang bisa gue lakuin cuma berdoa.
---
sumber gambar:
https://www.kaskus.co.id/thread/583bf55556e6af4b2c8b456a/ini-dia-cara-efektif-menghentikan-kebiasaan-makan-banyak/
http://harga.web.id/info-terbaru-biaya-tes-rekam-jantung-elektrokardiogram-ekg.info