Baca cerita sebelumnya di sini
Senin
Senin
Pulang
kuliah, tanpa ganti baju gue langsung ngantar item ke vet clinic. Masalah
kembali muncul: Kita gak punya kandang kucing, sedangkan jarak rumah dengan vet
itu… jauh. 40 menit lah kalo gak macet.
Ryan
pun membawa kardus yang lumayan besar, Item dimasukkan ke dalam, bagian atas
kardus diselotip. Jenius.
“Aman,
nih?” Tanya gue, gak yakin.
“Kayaknya
sih.” Ryan menggaruk dahinya. “Yuk.”
Gue
menaiki motor gue, Ryan gue bonceng dengan membawa kotak berisi si item. Gue
pacu motor gue lebih kencang dari biasanya. Sepuluh menit awal baik-baik aja,
hingga di tengah jalan raya…
“YOG!
ITEM BERONTAK!!!” Jerit Ryan di belakang.
Gue
yang merasakan goncangan di belakang mulai memelankan laju motor dan mulai
menepi. Pas mau berenti dengan entengnya Ryan bilang, “Udah tenang lagi, nih.”
“….”
Perjalanan
dilanjutkan. Dengan fokus dan cekatan gue mulai menyalip motor, mobil dan pacar
temen sendiri satu persatu.
“YOOOOG!
KEPALANYA ITEM KELUAR DARI KARDUS!!!”
“SERIUS?!”
Gue panik. “Masukin lagi! Elus! Jitak!”
“Gak
bisa! Dia berontak!!!” Ryan masih berusaha menenangkan si Item.
Motor
yang gue kendarai mulai bergerak gak beraturan. Pelan-pelan gue mengarahkan
motor ke pinggir jalan, pas mau berenti, Ryan bilang, “Udah tenang nih, biarin
aja kepalanya di luar sambil kuelus-elus.”
“….”
Jadilah
kami, dua lelaki naik motor, berboncengan dengan membawa kotak yang ada kepala
kucing nongol.
Perjalanan
mulai aman terkendali. Hingga kami berhenti di lampu merah yang durasi waktunya
90 detik. Jika saat hari biasa aja gue ngerasa lampu merah ini lama banget,
kali ini gue ngerasa lama banget bangsat!!!
Orang-orang
yang lagi nunggu lampu merah mulai memperhatikan kami dengan tatapan heran. Gue
berusaha stay cool. Membuat kesan
bahwa naik motor, membonceng orang yang membawa kotak dengan kepala kucingnya
nongol adalah hal wajar. Beberapa detik menjelang lampu hijau, si item mau
lompat ke luar dari kotak.
“YOG!!!
ITEM MAU LONCAT!!!”
“Paksa
masuk kepalanya!!!”
“AAAAK
AKU DICAKAR!!!”
TINNNN… TINNNN…
TIIIIINNNNN….
Suara
klakson saling bersahutan, tanda lampu hijau muncul. Gue segera tancap gas,
karena vet yang kami tuju sudah dekat. Di belakang, gue dapat merasakan Ryan
masih bertarung dengan Item, beberapa menit kemudian, masalah sudah teratasi.
“Item
udah masuk ke dalam lagi. Ngebut!”
Gue
tarik perlahan gas motor, laju motor mulai bertambah, item gak buat masalah
lagi. Dia anteng di dalam kotak, hanya suara ngeong-ngeong yang terdengar lirih
yang gue dengar. Beberapa meter lagi gue tiba di vet dan nyawa si item bakal
terselamatkan!
Lagi
anteng nyetir, Perlahan-lahan gue merasakan punggung gue mulai anget. Tapi
angetnya beda, walaupun gue udah lama gak bonceng cewek dan gak dapet pelukan
dari cewek yang gue bonceng, gue tau kalo anget yang gue rasakan ini beda. Ini
terasa… asing.
Ryan
jerit, “KAMPREEEETTTTT… SI ITEM KENCING!”
“Ya-yakin
kencing?”
Be-berarti,
anget yang di punggung gue ini… kencing si Item! BANGSAAAAAAT!!!
Gue
menoleh ke belakang dan melihat Ryan mencium tangannya, “Iya, kencing nih. Bau
pesing.”
UDAH
TAU BAU KENAPA DICIUM?!
“AAAAAAAAAAAAAAAKKKKK!!!” Kita jerit berdua.
*****
PETSHOP & VET
CLINIC
Sampai
di vet clinic, Ryan segera menurunkan kardus berisi si Item, lalu
mengeluarkannya.
“Yakin
nih masuk? Kucing kampung loh yang kita bawa.” Tanya gue ragu.
“Biar
kucing kampung tapi ini sakitnya elit.”
Gue
buka pintu, Ryan menenteng si Item, kami berdua pun masuk dan langsung disambut
oleh dua orang mbak-mbak, satu bagian kasir untuk petshop, satunya semacam
receptionist gitu. Karena Ryan sibuk bawa si Item, gue yang daftarin Item buat
berobat.
“Selamat
sore. Ada yang bisa dibantu?” Tanya si mbak, ramah.
“Uhmmm…
ada dokternya, mbak? Mau ngobatin kucing saya.”
“Oh,
ada.” Si mbak tadi mengeluarkan sebuah kertas formulir. “Saya data dulu, ya”
Gue
mengangguk. “Iya.”
“Nama
kucingnya?”
Oke,
ini kucing kampung namanya gak boleh terdengar kampung, dan ‘Item’, adalah nama
yang kampung banget. “Uhm… Blaszczykowsky.”
“Si-siapa?”
“Blaszczykowsky.”
“Gimana?
Gimana?”
“Black,
aja mbak.” Kata Ryan. Okey, Black terdengar lebih modern ketimbang Item.
“Oh,
Oke. Black ini jenis kucing apa?”
JENG
JENG JENG!
Pertanyaan
sulit. Gue dan Ryan saling bertatapan,seperti udah saling mengerti, kami
menatap mbak receptionist dan dengan mantap mengatakan, “kampung.”
“Oh
lokal berarti ya?”
Okey,
lokal terdengar lebih enak dibandingkan kampung. Si mbak tadi segera menuliskannya
di formulirnya. “Sakitnya?”
“Kencing
darah, mbak.”
“KE-KENCING
DARAH?!” Si mbak tampak shock mendengar jawaban kami.
“Itu,
bekasnya, mbak kalo gak percaya.” Gue menunjuk arah pintu masuk sampai meja
receptionist ini yang berceceran pipisnya item. Udah macam ninggalin jejak di
hutan biar gak tersesat.
“O…okey.
Langsung bawa masuk ke dalam aja, mas.”
Kami
berdua membawa Item masuk ke ruangan si dokter, mengikuti si mbak receptionist,
sementara si mbak yang tadi jaga petshop langsung ngepel lantai. Item emang
kurang ajar. Bikin kerjaan orang nambah aja.
Sampai
di ruangan om dokter, si Item ditaruh di atas meja. Dia berusaha lari dan
berontak. Kami elus-elus biar tenang. Sang dokter pun memakai sarung tangan karet
dan mulai bertanya-tanya apa yang membuat seekor kucing kampung bisa sampai di
hadapannya saat ini. Setelah bercerita panjang lebar soal kencing darah yang
dialami si Item, sang dokter mengarahkan tangannya ke bagian bawah perut si
item, seperti mencari sesuatu, si Item yang perutnya dipencet-pencet langsung
nungging dan… CROOOOOOOTTTTT!!!
PIPIS
DARAHNYA ITEM KELUAR DERES BANGET!!!
Sekarang
gue udah bisa bayangin gimana kalo cowok bisa menstruisasi alias TITITNYA
NGELUARIN DARAH! ASLI HOROR!
Setelah
tuntas pipisnya, Item di berikan suntikan antibiotic.
“Ini
ada infeksi di saluran kencingnya.” Kata si dokter sambil mengambil obat
antibiotic buat item melalui suntikan. “Tapi belum parah. Untung cepat dibawa
ke mari.”
“Gak
perlu operasi, dok?” Tanya Ryan.
“Gak
perlu, belum parah soalnya.”
“Kok
bisa sih kucing kencing darah begini? Seumur-umur melihara kucing, baru ini
punya kucing sakitnya begini, Dok.” Tanya gue.
“Bisa
karena dia pipis sembarangan, lalu ada bakteri menempel di alat kelaminnya.
Bisa juga karena dia suka nahan kencing, bisa juga karena dia sukanya makan
ikan aja.” Terang si om dokter. “Emang biasa dikasih makan apa?”
Mendengar
penjelasan si dokter, ternyata hasil googling yang gue dapatkan bener juga. Si
item komplikasi dari overdosis protein, suka nahan kencing karena takut
berantem sama kucing lain kalo di luar, dan suka pipis sembarangan di mana aja.
“Dia
pilih-pilih makan, Dok. Cuma mau ikan layang sama ikan tongkol.”
“Waduh.
High class juga seleranya.” Si dokter
geleng-geleng. “Tapi dimasak kan? Gak mentah?”
Kami
mengangguk.
Sang
dokter pun memberikan sebotol obat antibiotic untuk diminumkan ke si Item 2
kali sehari selama seminggu.
Dalam
perjalanan ke kasir, kami baru kepikiran hal yang bener-bener penting: gimana
bawa si item pulang? Kardus yang dipakai sebelumnya udah gak layak pakai.
“Beli
kandang?” gue menunjuk sebuah kandang kucing berukuran sedang yang ada di dalam
toko.
Karena
gak ada ide lain, terpaksa kami membeli kandang. Sampai di kasir, seperti
layaknya pembeli pada umumnya, bagian paling gak enak adalah saat membayar.
Ongkos
dokter dan antibiotic Rp 170.000
Beli
kandang Rp 250.000
INI
KENAPA HARGA KANDANGNYA LEBIH MAHAL DARIPADA ONGKOS BEROBATNYA?!!!
Fix,
item emang kucing kurang ajar.
Pelajaran yang bisa
dipetik:
1. Kucing
kampung, oke lokal, kalo sakit ya bawa aja ke vet. Gak bakal diketawain, kok.
2. Sebelum
memelihara kucing, pastikan kucing yang akan dipelihara gak kurang ajar.
3. Sayangilah
hewan peliharaan anda, sekurang ajar apapun dia.