A Great Story Comes With Great Stupidity : July 2016

Ngomentarin: Alasan Pokemon Go Bisa Booming

Beberapa hari terakhir, game Pokemon Go mendadak booming banget. Buat yang belum tau, Pokemon Go adalah game yang menerapkan Augmented Reality (AR) yang mampu menggabungkan bidang 3 dimensi dengan bidang 2 dimensi, jadi objek yang ada di layar (dalam hal ini, pokemon) seakan-akan jadi nyata dan ada di sekitar kita. Jadilah kita nangkap-nangkapin pokemon di dunia nyata. Untuk memainkan game ini juga menggunakan GPS untuk melacak pokemon apa yang ada di dekat kita.

Di bagian bawah akan nunjukin pokemon apa yang terdekat dengan kita dan seberapa jauh langkahnya. Kayak gini:
GOTTA CATCH 'EM ALL!
Nah, ciri-ciri dari para pemain Pokemon Go adalah biasanya mereka berjalan kaki sambil tolah-toleh dan ngeliatin layar hapenya. Kayak orang nyari sinyal gitu. Jika dia berkendara, misalnya naik motor, dia akan menepi di pinggir jalan dan membuka hapenya, lalu menangkap pokemonnya. Sepanjang jalan mendadak banyak banget orang yang suka nepi gitu gara-gara game ini. Bukti bahwa game ini udah meracuni orang-orang.

Kehebohan di dunia nyata ini pun membawa fenomena demam Pokemon Go ini sampai diberitain di televisi. Ibu gue yang menonton berita pun sempet nanya ke gue, “Itu nangkap-nangkapin pokemon maksudnya gimana, sih?”

Mendapat pertanyaan ini gue sempet deg-degan, takut aja dilanjutin, “Ibu juga pengin nyari pokemon. Ntar kamu ajak ibu keliling kota, ya!”

…Untungnya enggak. *sujud syukur*

Dengan penuh kesabaran gue menjelaskan kalo itu hanyalah game belaka. Ibu gue mendengarkan dan sesekali menatap gue dengan pandangan, “Ooooh gitu.” Sesekali pandangannya berubah, “GPS iku opo? Makanan?”

Emang susah ya jelasin ke orang tua. Hingga akhirnya ibu gue nanya, “Kok bisa sampe rame gitu, ya? padahal pokemon doang.”

Gue sempet bingung harus jawab apa. “Uhhh… ya seru aja, Bu.” Jawab gue sekenanya. Kemudian gue kembali ke kamar dan kepikiran pertanyaan ibu gue tadi. KENAPA POKEMON GO BISA BOOMING?!

Setelah tidur dan bangun-bangun salah bantal, gue pun mendapatkan jawabannya…

Jika Ingin Suudzon Maka Suudzonlah

Gue terlahir sebagai anak yang memiliki tingkat suudzon yang tinggi. Tanpa bermaksud meragukan tingkat intelejensia kalian, suudzon itu maksudnya adalah berprasangka buruk terhadap orang lain,  peristiwa ataupun masalah tanpa adanya bukti. Makin dewasa gue, tingkat suudzon gue malah makin tinggi. Entah ini karena kebanyakan nonton film atau baca novel, yang membuat gue menduga-duga dari hal yang masuk akal hingga ke yang gak masuk akal. Level suudzon gue bener-bener sudah tinggi banget.

Sifat suudzon gue sempet kumat.


Pas sebelum sidang skripsi kemaren, tentunya sebelum mendaftar gue akan melengkapi persyaratannya. Salah satu yang harus dilampirkan adalah lembar persetujuan yang menandakan bahwa skripsi gue layak diujikan. Lembar persetujuan itu ya seperti kertas pada umumnya, hanya saja ada tanda tangan dosen pembimbing I, dosen pembimbing II, Dekan Fakultas serta KAPRODI gue.

Kalian semua pasti tau bahwa meminta tanda tangan dosen itu butuh perjuangan.

Saat itu gue sudah berhasil meminta tanda tangan dosen pembimbing I dan II serta KAPRODI (kebetulan beliau juga dosen pembimbing I), itu artinya sisa tanda tangan Dekan gue, dan beliau ini adalah tipe dosen yang jika kita ada perlu, dia gak ada. Tapi giliran gak ada perlu, muncul mulu di kampus. Para mahasiswa yang ingin meminta tanda tangannya (misalnya untuk membuat surat aktif kuliah) biasanya menitipkan suratnya ke bagian administrasi, dan di meja administrasi fakultas sudah tersedia box untuk mengambil surat-surat yang dititipkan itu.

Gue pun menitipkan lembar persetujuan gue itu ke bagian administrasi.

Besoknya, gue kembali ke kampus untuk mengambil lembar persetujuan gue itu.

“Mbak, lembaran saya yang kemaren sudah ditanda tangani Pak Dekan?” Tanya gue.

“Oh sudah, kok. Cek aja di situ.” Kata mbak admin menunjuk box yang terletak gak jauh dari mejanya. Gue segera menuju box itu dan melihat tumpukan kertas yang meninggi, surat-surat yang dititipkan tapi gak diambil oleh pemiliknya. Kalo surat-surat itu punya perasaan pasti dia sudah sedih diperlakukan begitu. Rasanya udah mirip kayak diputusin tanpa alasan.

Gue mengecek lembaran itu satu persatu. Sejauh mata memandang tumpukan lembaran itu hanya berisi surat aktif kuliah ataupun transkrip nilai. Gak ada lembar persetujuan gue.

Lembar demi lembar gue balik hingga akhirnya ketemu lembaran kertas terakhir dan… lembar persetujuan gue gak ada.
Gue coba cek ulang. Membolak-balik tumpukan kertas tadi dari awal hingga akhir, dengan kecepatan lebih lambat. Siapa tau kertasnya nempel gitu, pikir gue.

“Surat aktif kuliah, surat aktif kuliah, surat aktif kuliah lagi, transkrip nilai, surat aktif, aktif, akt…” gue kembali bertemu lembaran terakhir.

YA ALLAH INI LEMBAR PERSETUJUAN GUE DI MANA?!

Keringet dingin mulai keluar, nafas gue mulai berat, pikiran gue mulai ke mana-mana. Kalo lembaran ini hilang artinya gue musti bikin ulang dan minta tanda tangan ulang. Yang kemaren aja ditanda tanganin lama, gimana yang sekarang? Belum lagi entar ditanyain, “KOK MINTA TANDA TANGAN LAGI?! BUKANNYA SUDAH, YA?!”

“Lembar persetujuannya hilang, Bu. Makanya saya minta lagi.”

“Teledor kamu, ya! Sini kamu saya sunnat ulang!”

Akhirnya gagal sidang. Huhuhu.

Gue berusaha setenang mungkin dan bertanya ke mbak admin, “ Mbak, kok gak ada, ya?”

“Adaaaa… sudah saya taruh situ, kok. Coba cari lagi.” Jawabnya. Enteng.

“Gak ada, mbak. Saya udah cari 2 kali…” sanggah gue. “Apa masih di mejanya Pak Dekan?”

“Mejanya kosong. Tadi pagi saya kan ke ruangannya.”

“….”

Mendengar jawaban itu rasanya gue pengin jedotin kepala ke meja. Mulut gue terasa terkunci, dada gue sesak. Nyesek coy lembar persetujuan hilang! Minta tanda tangannya ituloh butuh perjuangan. Kejadian hilangnya lembar persetujuan inipun gue nobatkan sebagai patah hati terhebat gue.

“Ketemu, Yog?” Tanya Dwi, temen gue.

Gue hanya menggeleng.

“Coba sini kubantuin nyari.”

Tumpukan kertas tadi gue bagi dua. Dan dengan kesabaran ekstra gue kembali mencari lembar persetujuan gue, begitupun Dwi. Setelah membolak-balikkan lembaran itu, hasilnya masih sama, NIHIL. Gue melihat Dwi yang masih sibuk dengan tumpukan kertasnya, sampai di lembaran terakhir, dia menatap gue dengan pandangan prihatin, “Gak ada, Yog.”

Nyesek. Rasanya sudah kayak berusaha memperbaiki hubungan yang sudah diujung tanduk, tapi akhirnya putus juga.

Apakah semesta tidak memperbolehkan gue sidang karena gue belum siap-siap amat?

Apakah gue kurang sedekah makanya lembar persetujuan gue hilang?

Apakah gue gak dibolehin lulus dan wisuda tahun ini?

Di tengah pikiran-pikiran itu, gue baru sadar kalo lembar persetujuan gue kan baru aja dititipin, kalo emang sudah ditanda tangani oleh dekan pasti ada di tumpukan paling atas di dalam box itu. Pikiran suudzon gue mulai muncul, gue curiga ada temen yang melihat lembar persetujuan gue dan dia gak terima kalo gue sidang skripsi duluan,

“BANGSAT! YOGA SUDAH MAU SIDANG AJA. GUE BAB 1 AJA GAK KELAR-KELAR! HARUS GUE CEGAH!”

Lalu diem-diem dia ngambil lembar persetujuan gue, menyembunyikannya di balik celana dalam, mencari kelas kosong, kemudian lembar persetujuan gue digunting kecil-kecil dan hasil potongan tadi dibakar, abunya dibuang ke dalam kloset wc dan dia pergi dari kampus dengan wajah tanpa dosa.

Pikiran suudzon ini muncul selain karena ada mitos yang mengatakan bahwa temen paling kesel jika ditinggal lulus duluan, juga karena siapapun bisa mengambil kertas dari box itu tanpa perlu menuliskan namanya jika sudah mengambil kertas yang dicarinya.

“Ada?” pertanyaan dari mbak admin membuyarkan pikiran suudzon gue.

“Gak ada, mbak.” Jawab gue pasrah.

“Coba sini.” Mbak admin mengambil box yang berisi tumpukan kertas tadi. Dia pun membantu mencarikan lembar persetujuan gue. Sambil siul-siul.

Setelah mengecek beberapa menit, dengan entengnya dia bilang, “Gak ada.”

“….”

“Iya, gak ada di sini.” Mbak admin tadi membuka laci mejanya, “Tapi ada di sini.” Dia pun mengeluarkan satu lembar kertas yang gue kenal betul. Satu lembar kertas yang gue cari-cari dari tadi. Satu lembar kertas yang begitu berharga buat gue.

LEMBAR PERSETUJUAN GUE LENGKAP DENGAN TANDA TANGAN DEKAN.

Kertas itu muncul dari dalam laci dengan gerakan slow motion dan seakan-akan ada cahaya di sekitarnya. Melihat lembar persetujuan gue sudah terpampang nyata di depan mata, gue langsung selebrasi berlari naik ke atas meja administrasi, membuka baju dan memutar-mutarnya ke udara. Setelah puas selebrasi, gue pun mengambil lembar persetujuan gue dan mendaftar sidang.

Hmmm… mungkin untuk surat yang dianggap penting gak dicampur di box itu, agar kejadian yang gue suudzonin itu gak kejadian beneran. Pelajaran yang dapat dipetik adalah jika ingin suudzon, pastikan suudzon ke orang yang terdekat dulu. Gue pun inget pas di semester 2 dulu, gue ada mata kuliah filsafat dan dosen gue pernah bilang, Kadang kita itu harus suudzon, biar gak gampang ditipu dan dibohongi orang.”

Dan yeah… harusnya gue dari awal gak percaya kalo surat sepenting itu dicampur dengan surat-surat yang dilupain dan gak diambil sama pemiliknya itu.

Jadi, jika ingin suudzon maka suudzonlah…

Jenis-Jenis Bocah Pemburu THR

Setiap orang pasti menunggu momen lebaran. Entah anak kecil, remaja maupun orang dewasa. Walaupun suasana lebaran yang dirasakan masing-masing orang berbeda, tapi pasti semua menunggu momen lebaran itu, dengan tujuan masing-masing.

Orang dewasa biasanya menunggu momen lebaran untuk bereuni dengan teman lama, saling bertukar cerita kehidupan masing-masing dan kadang memanfaatkannya untuk menagih utang. Para remaja memanfaatkan momen lebaran untuk maaf-maafan sama mantan, atau mendekati para sodara-sodara temen yang cakep dengan modus operandi silaturahmi. Sedangkan para anak kecil akan berburu THR dari rumah ke rumah.

Para anak kecil ini melakukan modus operasinya dengan cara terstruktur. Biasanya mereka berjumlah di atas 4 orang, akan datang ke rumah yang dijadikan target. Ketika sudah di dalam rumah, mereka duduk beberapa saat. Gak lama kemudian mereka mulai gelisah dan salah seorang bocah (yang dijadikan pemimpin gerakan) akan mengeluarkan kalimat sakti: “Uhhh… kita pamit dulu om/tante…”

Lalu sang tuan rumah akan berkata, “Tunggu sebentar!” kemudian masuk ke dalam kamar dan keluar dengan membawa uang 2 ribuan, lalu memberikan ke anak-anak tadi, “Ini buat beli permen.”

Anak-anak tadi keluar dengan senyum mengembang. Mission accomplished.

Nah, setelah gue amati dengan seksama dan mempelajari lebih dalam tentang modus operasi mendapatkan THR ini, gue pun menggolongkan para anak kecil ini ke dalam beberapa tipe.

Tidak Memenangi Apa-Apa

Gak terasa sebentar lagi idul fitri. Entah gue harus seneng atau sedih. Selain karena di bulan puasa ini gue lebih banyak datang ke acara buka bersama daripada ke masjid, makin berumur gue, kemeriahan idul fitri makin gak terasa di diri gue. Gak hanya tahun ini, tapi di tahun-tahun sebelumnya gue juga merasa gitu.


Gue jadi kangen idul fitri jaman gue kecil dulu. Jaman di mana H-3 idul fitri gue udah excited banget kayak anak kecil overdosis asupan ASI.

Sama seperti anak kecil pada umumnya, menjelang lebaran gue akan dibawa ke mall untuk beli baju baru, sandal baru sampai celana dalam juga musti baru. Mendapatkan barang-barang baru untuk dipakai saat idul fitri, di situlah momen kebahagian gue, juga kesedihan gue. Karena setaun sekali baru beli celana dalam.