Gue
terlahir sebagai anak yang memiliki tingkat suudzon yang tinggi. Tanpa bermaksud
meragukan tingkat intelejensia kalian, suudzon itu maksudnya adalah
berprasangka buruk terhadap orang lain,
peristiwa ataupun masalah tanpa adanya bukti. Makin dewasa gue, tingkat
suudzon gue malah makin tinggi. Entah ini karena kebanyakan nonton film atau
baca novel, yang membuat gue menduga-duga dari hal yang masuk akal hingga ke
yang gak masuk akal. Level suudzon gue bener-bener sudah tinggi banget.
Sifat
suudzon gue sempet kumat.
Pas
sebelum sidang skripsi kemaren,
tentunya sebelum mendaftar gue akan melengkapi persyaratannya. Salah satu yang
harus dilampirkan adalah lembar persetujuan yang menandakan bahwa skripsi gue layak
diujikan. Lembar persetujuan itu ya seperti kertas pada umumnya, hanya saja ada
tanda tangan dosen pembimbing I, dosen pembimbing II, Dekan Fakultas serta
KAPRODI gue.
Kalian
semua pasti tau bahwa meminta tanda tangan dosen itu butuh perjuangan.
Saat
itu gue sudah berhasil meminta tanda tangan dosen pembimbing I dan II serta
KAPRODI (kebetulan beliau juga dosen pembimbing I), itu artinya sisa tanda
tangan Dekan gue, dan beliau ini adalah tipe dosen yang jika kita ada perlu,
dia gak ada. Tapi giliran gak ada perlu, muncul mulu di kampus. Para mahasiswa
yang ingin meminta tanda tangannya (misalnya untuk membuat surat aktif kuliah)
biasanya menitipkan suratnya ke bagian administrasi, dan di meja administrasi
fakultas sudah tersedia box untuk mengambil
surat-surat yang dititipkan itu.
Gue
pun menitipkan lembar persetujuan gue itu ke bagian administrasi.
Besoknya,
gue kembali ke kampus untuk mengambil lembar persetujuan gue itu.
“Mbak,
lembaran saya yang kemaren sudah ditanda tangani Pak Dekan?” Tanya gue.
“Oh
sudah, kok. Cek aja di situ.” Kata mbak admin menunjuk box yang terletak gak jauh dari mejanya. Gue segera menuju box itu dan melihat tumpukan kertas yang
meninggi, surat-surat yang dititipkan tapi gak diambil oleh pemiliknya. Kalo
surat-surat itu punya perasaan pasti dia sudah sedih diperlakukan begitu.
Rasanya udah mirip kayak diputusin tanpa alasan.
Gue
mengecek lembaran itu satu persatu. Sejauh mata memandang tumpukan lembaran itu
hanya berisi surat aktif kuliah ataupun transkrip nilai. Gak ada lembar
persetujuan gue.
Lembar
demi lembar gue balik hingga akhirnya ketemu lembaran kertas terakhir dan…
lembar persetujuan gue gak ada.
Gue
coba cek ulang. Membolak-balik tumpukan kertas tadi dari awal hingga akhir,
dengan kecepatan lebih lambat. Siapa tau kertasnya nempel gitu, pikir gue.
“Surat
aktif kuliah, surat aktif kuliah, surat aktif kuliah lagi, transkrip nilai,
surat aktif, aktif, akt…” gue kembali bertemu lembaran terakhir.
YA
ALLAH INI LEMBAR PERSETUJUAN GUE DI MANA?!
Keringet
dingin mulai keluar, nafas gue mulai berat, pikiran gue mulai ke mana-mana.
Kalo lembaran ini hilang artinya gue musti bikin ulang dan minta tanda tangan
ulang. Yang kemaren aja ditanda tanganin lama, gimana yang sekarang? Belum lagi
entar ditanyain, “KOK MINTA TANDA TANGAN LAGI?! BUKANNYA SUDAH, YA?!”
“Lembar
persetujuannya hilang, Bu. Makanya saya minta lagi.”
“Teledor
kamu, ya! Sini kamu saya sunnat ulang!”
Akhirnya
gagal sidang. Huhuhu.
Gue
berusaha setenang mungkin dan bertanya ke mbak admin, “ Mbak, kok gak ada, ya?”
“Adaaaa…
sudah saya taruh situ, kok. Coba cari lagi.” Jawabnya. Enteng.
“Gak
ada, mbak. Saya udah cari 2 kali…” sanggah gue. “Apa masih di mejanya Pak
Dekan?”
“Mejanya
kosong. Tadi pagi saya kan ke ruangannya.”
“….”
Mendengar
jawaban itu rasanya gue pengin jedotin kepala ke meja. Mulut gue terasa
terkunci, dada gue sesak. Nyesek coy lembar persetujuan hilang! Minta tanda
tangannya ituloh butuh perjuangan. Kejadian hilangnya lembar persetujuan inipun
gue nobatkan sebagai patah hati terhebat gue.
“Ketemu,
Yog?” Tanya Dwi, temen gue.
Gue
hanya menggeleng.
“Coba
sini kubantuin nyari.”
Tumpukan
kertas tadi gue bagi dua. Dan dengan kesabaran ekstra gue kembali mencari
lembar persetujuan gue, begitupun Dwi. Setelah membolak-balikkan lembaran itu,
hasilnya masih sama, NIHIL. Gue melihat Dwi yang masih sibuk dengan tumpukan
kertasnya, sampai di lembaran terakhir, dia menatap gue dengan pandangan
prihatin, “Gak ada, Yog.”
Nyesek.
Rasanya sudah kayak berusaha memperbaiki hubungan yang sudah diujung tanduk,
tapi akhirnya putus juga.
Apakah
semesta tidak memperbolehkan gue sidang karena gue belum siap-siap amat?
Apakah
gue kurang sedekah makanya lembar persetujuan gue hilang?
Apakah
gue gak dibolehin lulus dan wisuda tahun ini?
Di
tengah pikiran-pikiran itu, gue baru sadar kalo lembar persetujuan gue kan baru
aja dititipin, kalo emang sudah ditanda tangani oleh dekan pasti ada di
tumpukan paling atas di dalam box
itu. Pikiran suudzon gue mulai muncul, gue curiga ada temen yang melihat lembar
persetujuan gue dan dia gak terima kalo gue sidang skripsi duluan,
“BANGSAT!
YOGA SUDAH MAU SIDANG AJA. GUE BAB 1 AJA GAK KELAR-KELAR! HARUS GUE CEGAH!”
Lalu
diem-diem dia ngambil lembar persetujuan gue, menyembunyikannya di balik celana
dalam, mencari kelas kosong, kemudian lembar persetujuan gue digunting
kecil-kecil dan hasil potongan tadi dibakar, abunya dibuang ke dalam kloset wc
dan dia pergi dari kampus dengan wajah tanpa dosa.
Pikiran
suudzon ini muncul selain karena ada mitos yang mengatakan bahwa temen paling
kesel jika ditinggal lulus duluan, juga karena siapapun bisa mengambil kertas
dari box itu tanpa perlu menuliskan namanya
jika sudah mengambil kertas yang dicarinya.
“Ada?”
pertanyaan dari mbak admin membuyarkan pikiran suudzon gue.
“Gak
ada, mbak.” Jawab gue pasrah.
“Coba
sini.” Mbak admin mengambil box yang
berisi tumpukan kertas tadi. Dia pun membantu mencarikan lembar persetujuan
gue. Sambil siul-siul.
Setelah
mengecek beberapa menit, dengan entengnya dia bilang, “Gak ada.”
“….”
“Iya,
gak ada di sini.” Mbak admin tadi membuka laci mejanya, “Tapi ada di sini.” Dia
pun mengeluarkan satu lembar kertas yang gue kenal betul. Satu lembar kertas
yang gue cari-cari dari tadi. Satu lembar kertas yang begitu berharga buat gue.
LEMBAR
PERSETUJUAN GUE LENGKAP DENGAN TANDA TANGAN DEKAN.
Kertas
itu muncul dari dalam laci dengan gerakan slow
motion dan seakan-akan ada cahaya di sekitarnya. Melihat lembar persetujuan
gue sudah terpampang nyata di depan mata, gue langsung selebrasi berlari naik ke atas meja administrasi,
membuka baju dan memutar-mutarnya ke udara. Setelah puas selebrasi, gue pun
mengambil lembar persetujuan gue dan mendaftar sidang.
Hmmm…
mungkin untuk surat yang dianggap penting gak dicampur di box itu, agar kejadian yang gue suudzonin itu gak kejadian beneran.
Pelajaran yang dapat dipetik adalah jika ingin suudzon, pastikan suudzon ke orang
yang terdekat dulu. Gue pun inget pas di semester 2 dulu, gue ada mata kuliah
filsafat dan dosen gue pernah bilang, “Kadang kita itu harus suudzon, biar gak
gampang ditipu dan dibohongi orang.”
Dan
yeah… harusnya gue dari awal gak percaya kalo surat sepenting itu dicampur
dengan surat-surat yang dilupain dan gak diambil sama pemiliknya itu.
Jadi,
jika ingin suudzon maka suudzonlah…