Baca cerita sebelumnya di sini
Kami semua mulai membaca doa-doa dan melanjutkan perjalanan dengan lebih tenang. Gak ada becandaan dan celetukan lagi sampai kami tiba di spot yang bakal dijadikan tempat kami bermalam.
Kami pun ceritain kejadian yang kami alami dan mereka segera siap-siap pulang.
Cukup 2 kejadian horror aja yang
kami alami untuk camping saat ini. Pukul 9 pagi kami meninggalkan lokasi,
dengan segala keseruan, kehororan, kebersamaan, gue berhasil buang stress yang
muncul di kepala gue.
Yeah, we had so much fun.
Kami semua mulai membaca doa-doa dan melanjutkan perjalanan dengan lebih tenang. Gak ada becandaan dan celetukan lagi sampai kami tiba di spot yang bakal dijadikan tempat kami bermalam.
“Oke,
di sini tempatnya.” Kata Dani. “Ini kita di pinggir tebing, kalo mau ke pantai
tinggal turunin tebing ini.”
Angin
laut berhembus kencang, membuat jaket tebal yang gue pakai seperti tidak
berfungsi. “Ayo bikin api unggun, lalu bangun tenda.” Gue coba ngasih usul.
Kenapa
musti bikin api unggun? Selain untuk penerangan, kami juga gak bawa lampu
charge atau lampu portable lainnya. Senter aja gak bawa, apalagi lampu. Awalnya
kami mau bawa lampu gitu, tapi disindir oleh Mas Ge, “Camping apaan bawa
lampu.”
Kampret
memang.
“Iya
cepet bikin api unggun. Baru bangun tendanya.” Bamz setuju dengan ide gue.
“Oh
iya, mana tendanya? Air galonnya juga mana?” Ega melihat ada sesuatu yang
janggal.
“Tenda
sama air galonnya ditinggal di motor. Bilangnya Mas Ge ini survey tempat
dulu.” Jawab Angga polos.
DANI
KAN SUDAH SURVEY TEMPAT INI DULUAN PAS KEMAREN-KEMAREN. JADI GAK ADA ISTILAH
SURVEY LAGI, WOI!!!
Kami
semua menatap Mas Ge dengan tatapan membunuh.
“Yaudah,
bikin api unggun aja dulu. Istirahat bentar, baru ntar 2 orang ambil tenda dan
gallon ke atas. Sisanya cari kayu buat api unggun.” Mas Ge memberi ide. Sambil berusaha menyelamatkan diri.
Yang
jadi masalah adalah: siapakah orang berhati malaikat yang mau naik ke atas,
lalu turun lagi membawa gallon dan tenda?
Setelah
perdebatan panjang, akhirnya Ega dan Aris yang diutus untuk naik lagi ke atas.
Gue, Dani dan Angga berusaha bikin api unggun. Bamz dan Mas Ge nyari kayu
tambahan. Karin? Dia diem aja. Useless.
Agak
susah bikin api unggun karena angin laut yang berhembus kencang. Daun yang kami
bakar sebagai pancingan untuk membakar ranting selalu padam duluan sebelum dia
membakar ranting-ranting pohon. Hampir 15 menit lebih kami tidak berhasil
membuat api unggun.
“Minggir-minggir.
Biar kukasitau cara membuat api unggun yang benar.” Mas Ge jongkok di sebelah
kami. “Polisi itu juga diajarin bertahan hidup di alam liar. Self defense!”
Mas
Ge mengatur ranting-ranting pohon sedemikan rupa, membakar daun, menaruhnya di
bawah tumpukan ranting dan… voila! Api unggunnya nyala! Kami semua terkagum dan segera mengarahkan tangan kami ke api unggun. Hangat!
Beberapa
menit kemudian Aris dan Ega pun datang membawa tenda dan air gallon.
“Ayo
kita masak dulu, udah lapar nih!” Mas Ge menepuk-nepuk perutnya. “Angga, bawa
panci, kan?”
“Bawa,
mas!” balas Angga sambil pergi menuju tasnya. “Tunggu sebentar, ya!”
Beberapa
menit kemudian Angga kembali sambil menunjukkan pancinya. Benda yang dibawa Angga tampak berkilau, tanda masih baru. Kami jadi gak tega mau masak pake
panci itu.
“Itu
panci baru, Ngga?” Tanya Mas Ge.
“Enggak,
Mas. Ini bawa dari rumah.”
“Gak
dimarahin ibumu bawa yang bagus gitu?”
“Tadi
aku ijin ke Ibu, “Bu, Aku mau camping. Aku bawa panci, ya.” Malah disuruh bawa
panci yang paling bagus. Yaudah kubawa aja.”
“….”
Mungkin
ibunya Angga gak tau definisi camping adalah kita bakal masak secara barbar dan
membuat panci menjadi gosong.
Air
pun dituang ke dalam panci yang disusul gerakan menaruh panci di atas api. Ega
mengeluarkan 4 bungkus mie instan dan meremukkannya. Menunggu air mendidih
dengan api yang apa adanya begini ternyata cukup menyita waktu. Perut sudah
mulai berontak. Gue, Dani, Angga, Ega dan Bamz bengong di depan api unggun
menatap panci yang mulai gosong.
“Ayo
makan dulu!” Mas Ge tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa… nasi kotak.
“Ini
namanya self defense! Bertahan hidup!” Mas Ge ngeles.
Demi
kelangsungan hidup, nasi kotak yang dibawa Mas Ge kita makan rame-rame. Dalam
hitungan detik, nasi kotak tadi lenyap seketika.
Kembali
ke api unggun. Air yang ditunggu-tunggu akhirnya mendidih juga. Ega segera
memasukkan mie instan yang udah diremukin ke dalam panci dan mulai memasak.
Iya, sengaja pake kata ‘memasak’ biar keliatan keren aja, padahal kan cuma
masukin mie dan bumbu lalu diaduk-aduk doang.
Mie
pun matang. Muka-muka kelaparan mulai mengelilingi panci berisi mie rebus tadi.
Rupanya nasi kotak tadi gak cukup kuat untuk sekedar mengganjal perut. Ada yang
menghirup aroma mienya, ada yang ngiler dan ada yang baru sadar kalo kita… gak
bawa piring dan sendok.
INI
MAKANNYA GIMANA?!!!
LANGSUNG
PAKE TANGAN?!! MELEPUH KAMPRETTT!!!!
Awalnya
gantian gitu, makan langsung dari pancinya memakai sendok bekas dari nasi kotak
yang dibawa Mas Ge. Tapi kalo menggunakan cara ini, bisa dipastikan akan
menimbulkan konflik rebutan sendok. Angga pun mengeluarkan ide jenius: dia
mengambil ranting pohong, dipatahkan menjadi dua bagian dan voila! Jadi sumpit!
Gue segera ikuti cara Angga dan mulai makan dengan susah payah.
Mas
Aris gak kalah jenius, dia tau makan secara bersamaan di satu panci gak akan
membuat kenyang, dia membagi botol air mineral untuk dijadikan… mangkok!
Jenius!
Selesai
makan dengan susah payah dan gak kenyang, Karin dan Dani teriak, “Ada p*op mie
nih 4 biji.”
Gue
menoleh dengan cepat ke sumber suara, menyiapkan suara terbaik dan bilang,
“MINTA SATU!!!!”
“AKU
JUGA!!!” Bamz ikutan.
Gue
segera merebus air lagi untuk masak po*p mie. Self defense!
Beberapa
menit kemudian air pun matang, gue tuang ke api unggunnya. Eh enggak, gue tuang
ke gelas po*p mie-nya. Baru aja mau nuang, gerakan gue terhenti oleh perkataan
Karin, “Airnya kotor kemasukan abu api unggun gitu, Yog.”
“Kalo
mikir bersih atau kotor ya mati kelaparan, ntar. Udah, gak apa-apa.” Air pun
gue tuang. Selanjutnya kami makan dengan khidmat dan lumayan kenyang.
*tepuk-tepuk perut*
Malam
itu kami habiskan untuk ngobrol-ngobrol, sambil nikmati bintang di langit,
nyeruput kopi hangat, dibelai dinginnya angin laut, dipeluk hangatnya api
unggun tanpa sibuk sendiri dengan handphone masing-masing karena gak ada sinyal
di sini. Bener-bener sempurna.
Malam
itu juga kami terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok anak muda, gue, Karin, Bamz
dan Dani. Kelompok bau tanah ada Mas Ge, Aris, Ega dan Angga. Kelompok anak
muda tidur duluan, kelompok bau tanah jagain kami karena mereka asik ngobrol.
Gue terbangun pukul 2 malam, Karin, Dani dan Bamz juga ikut kebangun. Keadaan
sekitar kami sepi. Api unggun yang ada di dekat kami juga hampir mati, kelompok
bau tanah gak keliatan sama sekali. Gue berjalan ke pinggir tebing dan
mendapati mereka lagi asik ngobrol di pinggir pantai, dengan api unggun baru.
Kami
berempat yang udah terlanjur terbangun akhirnya membuka sesi curhat. Dani
nyeritain soal keluarganya dan kisah percintaannya yang selalu berakhir setelah
nge-date alias “kita pernah dekat zoned”. Karin nyeritain pacar barunya yang
sayangnya harus terpisah oleh jarak. Gue sendiri cukup jadi pendengar yang baik
bagi mereka. Yang paling kampret si Bamz, dia cerita habis nolak cewek. Ngehe
memang.
Sekitar
pukul setengah 4 gue tidur lagi. Gue musti nyimpan tenaga buat besok pulang
ngelewatin padang pasir lagi.
Gue
terbangun, keadaan sekitar gue udah terang. Gue cek hape yang ada di sebelah
gue dan ternyata udah pukul 5.45. Gue segera bangunin yang lain untuk liat
matahari terbit dan… ternyata gak ada. Kabut tebal membuat matahari yang gue
tunggu-tunggu gak muncul. Gue pun turun ke bawah tebing untuk ke pantai dan…
pipis.
di foto dari bawah (pantai), orang berdiri itu tempat kita camping |
Selesai
pipis yang gak perlu gue ceritain bagaimana prosesnya, gue dan Angga membuat
api unggun lagi, untuk bikin sarapan. Kali ini kami udah gak usah pusing-pusing
makan pake apa. Ada gelas po*p mie semalem + garpunya!
Pukul
7, semua orang sudah bangun dan mulai sarapan secara beringas. Selesai sarapan
Mas Ge, Karin, Aris, Bamz dan Dani turun ke bawah, mereka mau mainan di pantai.
Gue sendiri gak ikut ke pantai karena takut kecapean dan gak bisa bawa motor
nantinya. Gue, Angga dan Ega tinggal di atas. Cukup lama mereka berlima mainan
di pantai, dari atas tebing gue ngeliat mereka jalan kaki jauuuuuuh banget. Ega
mutusin untuk tidur lagi, sisa gue berdua ngobrol sama Angga.
“Yog,
Aku mau jujur nih.” Angga membuka obrolan.
“Ju-jujur?”
gue menatap Angga dengan pandangan hina. Takut kalo angga nyatain perasaannya
ke gue.
“Iya,
sebenernya aku…”
“Wait!”
gue ngacungin telunjuk ke muka angga. “Ini bukan nyatain perasaan, kan?!”
“Anjirrrr
bukan!”
Gue
menghela nafas. Lega rasanya.
“Gini,
aku takut aja kalo tiba-tiba ada orang datang terus teriak, “Woy! Ngapain
kalian di sini!!!” sambil bawa tombak atau panah gitu. Kalo kejadian gitu
gimana nasib kita, ya?”
“….”
Gue bingung harus komentar apa.
“Pernah
nonton film Wrong turn, gak? Itu yang kanibal-kanibal di hutan gitu.”
“PLIS
YA. INI BUKAN SAAT YANG TEPAT NGOMONGIN FILM ITU!” Gue protes.
Gue
pun menjauh dari Angga, meninggalkan dia sendirian yang asik menghisap
rokoknya. Gue ke arah pohon dekat jalan turun ke pantai. Gue jadi agak parno
apa yang ditakutin Angga beneran terjadi.
“AAAAAAAAAKKKKK~”
Gue.
Denger. Suara. Jeritan. Cewek.
Bulu
kuduk gue berdiri.
Gue
menoleh cepat ke Angga dan Ega. Angga ngeliat ke arah gue, mukanya tampak
bingung. Ega kebangun dari tidurnya. “Denger, gak?” Tanya gue. Mereka berdua
mengangguk.
Dari
posisi gue berdiri, gue dapat ngeliat mereka berlima yang main di pantai itu
posisinya jauh banget. Kalo pun itu suara Karin, gak mungkin senyaring yang gue
denger. (INI GUE NGETIKNYA MERINDING, KAMPRET!!!)
“Yog!
Tadi itu suara apa?!” Angga mulai panik dan ngambil kayu. “Self defense!”
“Entah
lah. Ayo beres-beres aja dulu, pas mereka naik ke atas, biar langsung pulang.”
Jawab gue.
Angga
mulai membereskan semua bawaan kita. Api unggun disiram biar gak terjadi
kebakaran hutan. Gue melambai-lambaikan tangan ke arah pantai, berharap salah
seorang dari mereka melihat gue dan segera kembali. Usaha gue berhasil, mereka
tampak berjalan kembali ke arah kami.
Barang
bawaan kami sudah beres disusul dengan kedatangan mereka. “Kenapa sih, Yog?”
Mas Ge tampak kesel belum puas main di pantai udah gue panggil.
“Tadi
kalian ada teriak?” Tanya Angga.
“Gak
ada, kita semua foto-foto aja di sana.”
Gue
menatap Angga dan mulai memegang belakang leher kami masing-masing.
“Ayo
siap-siap pulang sudah.” Ega buka suara.
“Kalian
kenapa sih?!”
Kami pun ceritain kejadian yang kami alami dan mereka segera siap-siap pulang.
teroris kangen kasur :') |
Yeah, we had so much fun.