Biar gak bingung, baca cerita bagian pertama di sini dan bagian kedua di sini.
*****
Dalam hidup ini, terkadang kita harus lepas dari yang namanya comfort zone alias zona nyaman. Hidup gak akan terasa ada
tantangannya! Itu yang gue rasain ketika harus berpindah lokasi penyensusan.
Jika
di perumahan sebelumnya gue gak menemui permasalahan berarti. Di daerah yang
baru ini, masalah mulai berdatangan. Seakan-akan gue ini om-om kaya dan masalah
itu adalah keponakan yang mata duitan. Mereka berdatangan secara bertubi-tubi
dan semena-mena.
Di
daerah yang baru ini keadaannya menyeramkan. Rumah-rumahnya seperti bukan rumah
p*ertamina, letaknya di pinggir jalan umum, banyak preman berkeliaran, anak SD
yang lewat pun berjalan dengan ekspresi pucat ketakutan. Belakangan gue tau
kalo anak itu habis cepirit di sekolah.
Kembali ke
penyensusan.
Apakah
gue bisa menyensus tanpa bantuan sekuriti seperti di perumahan sebelumnya? Iya,
selama 3 hari di menyensus di perumahan sebelumnya, baru di hari terakhir gue
bertemu sekuriti, itu pun dia hanya berpatroli di sekitaran komplek, bukan
mengawal seperti yang dijanjikan di awal. Ketika gue minta dikawal, si om
sekuriti bilang, “Wah, kita juga kekurangan anggota kalo harus mengawal satu
per satu. Kalo ada masalah di lapangan aja misalnya si pemilik rumah gak mau
didata, kalian hubungi sekuriti.” Si om sekuriti pun memberikan nomor
handphonenya.
Gue
iyain aja karena saat itu emang gue gak nemu masalah sama sekali.
Tapi,
kalo liat perumahan yang sekarang, sepertinya ini beda kasus. Gue takut kalo
gak dikawal sekuriti. Hati ini kembali ragu untuk menyensus.
“Udah,
coba aja dulu. Buktinya di perumahan kemaren mereka sudah tau bakal didata,”
Kata Novia.
“Okeh.
Kita coba dulu,” gue mengiyakan.