A Great Story Comes With Great Stupidity : jalan-jalan

Ketika Roaming Bahasa

Bepergian ke suatu daerah, selalu mendapatkan hal-hal di luar perkiraan kita. Biasanya sih berupa pengalaman selama di perjalanan. Entah pengalaman yang menyenangkan, tidak menyenangkan atau membingungkan; ini menyenangkan atau enggak sih? Bingung.

Sama halnya seperti bepergian, bertemu orang baru di daerah tertentu juga bakal membawa sebuah pengalaman baru. Pengalaman paling seru biasanya karena adanya perbedaan budaya dan bahasa. Kadang dari roaming bahasa itulah muncul pengalaman tak terduga, atau bahasa filsuf-nya sih “memunculkan reflek tawa yang patut untuk dipertimbangkan.”

Di bulan Desember tahun 2015, gue lupa tanggal berapa, gue lagi di Samarinda, bersama teman gue, Dana. Dia yang menyetir motor, gue yang dibonceng. Kami berdua menuju sebuah motel untuk menjemput teman lainnya.

Ketika Menonton Sendirian Di Bioskop

Manusia itu aneh.

Ada kalanya kita bingung mau ngapain padahal banyak waktu luang.

Ada kalanya kita kesepian tapi males untuk bertemu orang lain.

Ada kalanya juga kita merasa orang lain gak bisa ngertiin diri kita.

Gue sedang mengalami komplikasi dari ketiga hal di atas. Hari-hari gue sebagai mahasiswa tingkat akhir ya… gitu-gitu aja. Bangun, makan, kepikiran skripsi, repeat. Menjadi mahasiswa tingkat akhir ternyata benar-benar gak enak.  Ketika sudah stuck mengerjakan skripsi, malah jadi bingung mau ngapain lagi coba? Yang ada cuma bengong, tiduran, nyelip pacar teman. Kadang malah dalam sehari gue gak ngapa-ngapain, termasuk gak nyentuh sama sekali si skripsi. Jika sebulan gak gue sentuh, bukan cuma kelulusan gue yang terancam, tapi si skripsi juga akan menjadi jablay.

Dengan aktifitas gue yang hanya skripsian aja, dikombinasikan dengan status jomblo berakreditas A, tentunya kadang gue kesepian. Kadang, lho. #IniSerius #BukanPencitraan

Tapi, sebagai jomblo berakreditas A, saat kesepian kita pantang untuk menunjukkan kalo diri kita kesepian. Kita harus berusaha bahagia sendiri yaitu dengan cara melakukan ‘Me Time’. Jika level kebosanan gue udah tinggi banget, gue sering melakukan ‘Me Time’ versi gue, yaitu jalan sendirian ke mana aja yang penting gue senang dan lupa sama masalah-masalah gue. Biasanya gue ke toko buku, menghabiskan berjam-jam di sana untuk berkeliling mencari cewek cakep berkacamata yang lagi baca buku, ke restoran fast food untuk ngopi sambil ngetik, atau kadang ke perpustakaan, menghabiskan berjam-jam untuk ngadem, karena di sana AC-nya kenceng.

Walaupun sering jalan-jalan sendiri, bimbingan skripsi sendiri dan mandi sendiri, tapi ada hal yang gak pernah gue lakuin saat jalan sendirian: nonton di bioskop sendirian.

Si Cemen vs Bendol KW

Gue anak motor.

Bukan, maksud gue anak motor itu bukan anak-anak yang hobi kebut-kebutan dan utak-atik motor, misalnya aja kayak ganti knalpot pake knalpot racing, ganti ban pake ban sepeda roda tiga, ganti lampu motor pake senter. Maksud gue anak motor adalah ke mana-mana gue selalu naik sepeda motor, untuk menunjang aktifitas sehari-hari gue.

Pertama kali gue bisa mengendarai sepeda motor adalah saat kelas 6 SD. Tapi masih sebatas keliling komplek dan harus membonceng kakak gue biar aman. Untuk ke jalan raya, gue baru melakukannya saat kelas 2 SMA, setelah gue punya SIM C.

(Sok-sokan) Camping Part 2

Baca cerita sebelumnya di sini
 
Kami semua mulai membaca doa-doa dan melanjutkan perjalanan dengan lebih tenang. Gak ada becandaan dan celetukan lagi sampai kami tiba di spot yang bakal dijadikan tempat kami bermalam.

“Oke, di sini tempatnya.” Kata Dani. “Ini kita di pinggir tebing, kalo mau ke pantai tinggal turunin tebing ini.”

Angin laut berhembus kencang, membuat jaket tebal yang gue pakai seperti tidak berfungsi. “Ayo bikin api unggun, lalu bangun tenda.” Gue coba ngasih usul.

Kenapa musti bikin api unggun? Selain untuk penerangan, kami juga gak bawa lampu charge atau lampu portable lainnya. Senter aja gak bawa, apalagi lampu. Awalnya kami mau bawa lampu gitu, tapi disindir oleh Mas Ge, “Camping apaan bawa lampu.” 

Kampret memang.


“Iya cepet bikin api unggun. Baru bangun tendanya.” Bamz setuju dengan ide gue.

“Oh iya, mana tendanya? Air galonnya juga mana?” Ega melihat ada sesuatu yang janggal.

“Tenda sama air galonnya ditinggal di motor. Bilangnya Mas Ge ini survey tempat dulu.”  Jawab Angga polos.

DANI KAN SUDAH SURVEY TEMPAT INI DULUAN PAS KEMAREN-KEMAREN. JADI GAK ADA ISTILAH SURVEY LAGI, WOI!!!

Kami semua menatap Mas Ge dengan tatapan membunuh.

“Yaudah, bikin api unggun aja dulu. Istirahat bentar, baru ntar 2 orang ambil tenda dan gallon ke atas. Sisanya cari kayu buat api unggun.” Mas Ge memberi ide. Sambil berusaha menyelamatkan diri.

Yang jadi masalah adalah: siapakah orang berhati malaikat yang mau naik ke atas, lalu turun lagi membawa gallon dan tenda?

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Ega dan Aris yang diutus untuk naik lagi ke atas. Gue, Dani dan Angga berusaha bikin api unggun. Bamz dan Mas Ge nyari kayu tambahan. Karin? Dia diem aja. Useless.

Agak susah bikin api unggun karena angin laut yang berhembus kencang. Daun yang kami bakar sebagai pancingan untuk membakar ranting selalu padam duluan sebelum dia membakar ranting-ranting pohon. Hampir 15 menit lebih kami tidak berhasil membuat api unggun.

“Minggir-minggir. Biar kukasitau cara membuat api unggun yang benar.” Mas Ge jongkok di sebelah kami. “Polisi itu juga diajarin bertahan hidup di alam liar. Self defense!”

Mas Ge mengatur ranting-ranting pohon sedemikan rupa, membakar daun, menaruhnya di bawah tumpukan ranting dan… voila! Api unggunnya nyala! Kami semua terkagum dan segera mengarahkan tangan kami ke api unggun. Hangat!

Beberapa menit kemudian Aris dan Ega pun datang membawa tenda dan air gallon.

“Ayo kita masak dulu, udah lapar nih!” Mas Ge menepuk-nepuk perutnya. “Angga, bawa panci, kan?”

“Bawa, mas!” balas Angga sambil pergi menuju tasnya. “Tunggu sebentar, ya!”

Beberapa menit kemudian Angga kembali sambil menunjukkan pancinya. Benda yang dibawa Angga tampak berkilau, tanda masih baru. Kami jadi gak tega mau masak pake panci itu.

“Itu panci baru, Ngga?” Tanya Mas Ge.

“Enggak, Mas. Ini bawa dari rumah.”

“Gak dimarahin ibumu bawa yang bagus gitu?”

“Tadi aku ijin ke Ibu, “Bu, Aku mau camping. Aku bawa panci, ya.” Malah disuruh bawa panci yang paling bagus. Yaudah kubawa aja.”

“….”

Mungkin ibunya Angga gak tau definisi camping adalah kita bakal masak secara barbar dan membuat panci menjadi gosong.

Air pun dituang ke dalam panci yang disusul gerakan menaruh panci di atas api. Ega mengeluarkan 4 bungkus mie instan dan meremukkannya. Menunggu air mendidih dengan api yang apa adanya begini ternyata cukup menyita waktu. Perut sudah mulai berontak. Gue, Dani, Angga, Ega dan Bamz bengong di depan api unggun menatap panci yang mulai gosong.

“Ayo makan dulu!” Mas Ge tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa… nasi kotak.



“Ini namanya self defense! Bertahan hidup!” Mas Ge ngeles.

Demi kelangsungan hidup, nasi kotak yang dibawa Mas Ge kita makan rame-rame. Dalam hitungan detik, nasi kotak tadi lenyap seketika.

Kembali ke api unggun. Air yang ditunggu-tunggu akhirnya mendidih juga. Ega segera memasukkan mie instan yang udah diremukin ke dalam panci dan mulai memasak. Iya, sengaja pake kata ‘memasak’ biar keliatan keren aja, padahal kan cuma masukin mie dan bumbu lalu diaduk-aduk doang.

Mie pun matang. Muka-muka kelaparan mulai mengelilingi panci berisi mie rebus tadi. Rupanya nasi kotak tadi gak cukup kuat untuk sekedar mengganjal perut. Ada yang menghirup aroma mienya, ada yang ngiler dan ada yang baru sadar kalo kita… gak bawa piring dan sendok.

INI MAKANNYA GIMANA?!!!

LANGSUNG PAKE TANGAN?!! MELEPUH KAMPRETTT!!!!

Awalnya gantian gitu, makan langsung dari pancinya memakai sendok bekas dari nasi kotak yang dibawa Mas Ge. Tapi kalo menggunakan cara ini, bisa dipastikan akan menimbulkan konflik rebutan sendok. Angga pun mengeluarkan ide jenius: dia mengambil ranting pohong, dipatahkan menjadi dua bagian dan voila! Jadi sumpit! Gue segera ikuti cara Angga dan mulai makan dengan susah payah.

Mas Aris gak kalah jenius, dia tau makan secara bersamaan di satu panci gak akan membuat kenyang, dia membagi botol air mineral untuk dijadikan… mangkok! Jenius!

Selesai makan dengan susah payah dan gak kenyang, Karin dan Dani teriak, “Ada p*op mie nih 4 biji.”

Gue menoleh dengan cepat ke sumber suara, menyiapkan suara terbaik dan bilang, “MINTA SATU!!!!”

“AKU JUGA!!!” Bamz ikutan.

Gue segera merebus air lagi untuk masak po*p mie. Self defense!

Beberapa menit kemudian air pun matang, gue tuang ke api unggunnya. Eh enggak, gue tuang ke gelas po*p mie-nya. Baru aja mau nuang, gerakan gue terhenti oleh perkataan Karin, “Airnya kotor kemasukan abu api unggun gitu, Yog.”

“Kalo mikir bersih atau kotor ya mati kelaparan, ntar. Udah, gak apa-apa.” Air pun gue tuang. Selanjutnya kami makan dengan khidmat dan lumayan kenyang. *tepuk-tepuk perut*

Malam itu kami habiskan untuk ngobrol-ngobrol, sambil nikmati bintang di langit, nyeruput kopi hangat, dibelai dinginnya angin laut, dipeluk hangatnya api unggun tanpa sibuk sendiri dengan handphone masing-masing karena gak ada sinyal di sini. Bener-bener sempurna.
 
terima kasih sudah menghangatkan kami semalaman!
Malam itu juga kami terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok anak muda, gue, Karin, Bamz dan Dani. Kelompok bau tanah ada Mas Ge, Aris, Ega dan Angga. Kelompok anak muda tidur duluan, kelompok bau tanah jagain kami karena mereka asik ngobrol. Gue terbangun pukul 2 malam, Karin, Dani dan Bamz juga ikut kebangun. Keadaan sekitar kami sepi. Api unggun yang ada di dekat kami juga hampir mati, kelompok bau tanah gak keliatan sama sekali. Gue berjalan ke pinggir tebing dan mendapati mereka lagi asik ngobrol di pinggir pantai, dengan api unggun baru.

Kami berempat yang udah terlanjur terbangun akhirnya membuka sesi curhat. Dani nyeritain soal keluarganya dan kisah percintaannya yang selalu berakhir setelah nge-date alias “kita pernah dekat zoned”. Karin nyeritain pacar barunya yang sayangnya harus terpisah oleh jarak. Gue sendiri cukup jadi pendengar yang baik bagi mereka. Yang paling kampret si Bamz, dia cerita habis nolak cewek. Ngehe memang.

Sekitar pukul setengah 4 gue tidur lagi. Gue musti nyimpan tenaga buat besok pulang ngelewatin padang pasir lagi.

Gue terbangun, keadaan sekitar gue udah terang. Gue cek hape yang ada di sebelah gue dan ternyata udah pukul 5.45. Gue segera bangunin yang lain untuk liat matahari terbit dan… ternyata gak ada. Kabut tebal membuat matahari yang gue tunggu-tunggu gak muncul. Gue pun turun ke bawah tebing untuk ke pantai dan… pipis.
 
ceritanya nunggu sunrise.
di foto dari bawah (pantai), orang berdiri itu tempat kita camping
Selesai pipis yang gak perlu gue ceritain bagaimana prosesnya, gue dan Angga membuat api unggun lagi, untuk bikin sarapan. Kali ini kami udah gak usah pusing-pusing makan pake apa. Ada gelas po*p mie semalem + garpunya!


Pukul 7, semua orang sudah bangun dan mulai sarapan secara beringas. Selesai sarapan Mas Ge, Karin, Aris, Bamz dan Dani turun ke bawah, mereka mau mainan di pantai. Gue sendiri gak ikut ke pantai karena takut kecapean dan gak bisa bawa motor nantinya. Gue, Angga dan Ega tinggal di atas. Cukup lama mereka berlima mainan di pantai, dari atas tebing gue ngeliat mereka jalan kaki jauuuuuuh banget. Ega mutusin untuk tidur lagi, sisa gue berdua ngobrol sama Angga.

“Yog, Aku mau jujur nih.” Angga membuka obrolan.

“Ju-jujur?” gue menatap Angga dengan pandangan hina. Takut kalo angga nyatain perasaannya ke gue.

“Iya, sebenernya aku…”

“Wait!” gue ngacungin telunjuk ke muka angga. “Ini bukan nyatain perasaan, kan?!”

“Anjirrrr bukan!”

Gue menghela nafas. Lega rasanya.

“Gini, aku takut aja kalo tiba-tiba ada orang datang terus teriak, “Woy! Ngapain kalian di sini!!!” sambil bawa tombak atau panah gitu. Kalo kejadian gitu gimana nasib kita, ya?”

“….” Gue bingung harus komentar apa.

“Pernah nonton film Wrong turn, gak? Itu yang kanibal-kanibal di hutan gitu.”

“PLIS YA. INI BUKAN SAAT YANG TEPAT NGOMONGIN FILM ITU!” Gue protes.

Gue pun menjauh dari Angga, meninggalkan dia sendirian yang asik menghisap rokoknya. Gue ke arah pohon dekat jalan turun ke pantai. Gue jadi agak parno apa yang ditakutin Angga beneran terjadi.

“AAAAAAAAAKKKKK~”

Gue. Denger. Suara. Jeritan. Cewek.

Bulu kuduk gue berdiri.

Gue menoleh cepat ke Angga dan Ega. Angga ngeliat ke arah gue, mukanya tampak bingung. Ega kebangun dari tidurnya. “Denger, gak?” Tanya gue. Mereka berdua mengangguk.

Dari posisi gue berdiri, gue dapat ngeliat mereka berlima yang main di pantai itu posisinya jauh banget. Kalo pun itu suara Karin, gak mungkin senyaring yang gue denger. (INI GUE NGETIKNYA MERINDING, KAMPRET!!!)
 
pas denger suara jeritan cewek, mereka ber-5 lagi di lingkarang merah. jauh banget!
“Yog! Tadi itu suara apa?!” Angga mulai panik dan ngambil kayu. “Self defense!”

“Entah lah. Ayo beres-beres aja dulu, pas mereka naik ke atas, biar langsung pulang.” Jawab gue.

Angga mulai membereskan semua bawaan kita. Api unggun disiram biar gak terjadi kebakaran hutan. Gue melambai-lambaikan tangan ke arah pantai, berharap salah seorang dari mereka melihat gue dan segera kembali. Usaha gue berhasil, mereka tampak berjalan kembali ke arah kami.

Barang bawaan kami sudah beres disusul dengan kedatangan mereka. “Kenapa sih, Yog?” Mas Ge tampak kesel belum puas main di pantai udah gue panggil.

“Tadi kalian ada teriak?” Tanya Angga.

“Gak ada, kita semua foto-foto aja di sana.”

Gue menatap Angga dan mulai memegang belakang leher kami masing-masing.

“Ayo siap-siap pulang sudah.” Ega buka suara.

“Kalian kenapa sih?!”

Kami pun ceritain kejadian yang kami alami dan mereka segera siap-siap pulang.
teroris kangen kasur :')
Cukup 2 kejadian horror aja yang kami alami untuk camping saat ini. Pukul 9 pagi kami meninggalkan lokasi, dengan segala keseruan, kehororan, kebersamaan, gue berhasil buang stress yang muncul di kepala gue. 

Yeah, we had so much fun.

(sok-sokan) camping

Manusia hanya bisa berencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan. Gue bener-bener percaya hal ini, apa lagi ketika gue sudah memasuki bulan September. Rencananya gue bakal update blog ini dengan pengalaman gue selama magang di sekolah, nyatanya Tuhan melalui perantara tugas-tugas, laporan serta jurnal mingguan yang musti gue buat mengagalkan rencana gue itu.


Biasanya gue buka laptop untuk mengetik draft postingan, kali ini hanya untuk mengerjakan kewajiban gue selama magang. Tiap harinya aktivitas gue cuma begitu-begitu aja, dan ini bikin gue sempet stress, pusing, mual, bibir pecah-pecah.

Satu yang gue tau: gue butuh piknik!

Gayung pun bersambut. Beberapa temen dari komunitas stand up comedy Balikpapan berencana untuk ngadain camping. Tanpa pikir panjang gue memutuskan untuk ikut dengan misi berusaha melupakan sejenak kegiatan magang gue yang menggila.

Hari sabtu, 19 September pukul 5 sore, gue bersama Mas Ge, Dani, Karin, Aris, Ega, Angga dan Bamz berangkat menuju tempat camping.  Selain Dani, kami semua belum pernah ke sana sebelumnya. Nama daerah yang akan kita tuju adalah Ambalat. Bukan, ini bukan Ambalat yang ada di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ambalat yang kita tuju berada di daerah Samboja, kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit lebih dari kota gue, Balikpapan.

Ambalat emang udah lumayan terkenal bagi warga Balikpapan buat camping, tapi itu di daerah pantainya. Yang akan kita tuju adalah hutannya. “Pokoknya ini tempatnya keren banget, biarpun hutan tapi kita masih bisa ke pantainya.” Kata Dani penuh semangat kayak penjual obat kuat. “Di sana bener-bener alam liar, orang ke sana cuma buat ngambil pasir.”

Sekitar pukul 6.15 kami sampai di Ambalat. Perjalanan kami hentikan karena ban motor yang dikendarai Ega dan Angga bocor. Kami sempet kebingungan bagaimana mengatasi masalah ini karena hari sudah mulai gelap dan gak ada tukang tambal ban yang buka. beberapa opsi tercetus untuk mengatasi masalah ini sayangnya semua ide ditolak dengan berbagai alasan:

1. Menggendong motor sampai di tempat camping tidak mungkin dilakukan karena perjalanan masih sekitar 20 km lagi.

2. Meninggalkan motor di pinggir jalan dan bonceng 3 ke tempat camping tidak mungkin dilakukan juga selain karena mirip cabe-cabean, resiko saat selesai camping motornya Angga hanya tersisa platnya saja kemungkinan besar akan terjadi.

3. Membeli pembalut untuk mengatasi kebocoran juga tidak mungkin. Ini motor, bukan menstruisasi.

Bamz dan Aris pun pergi mencari tukang tambal ban 24 jam. 10 menit kemudian mereka kembali dengan kabar gembira: ada tukang tambal ban… 20 meter dari tempat kita berhenti.

Sambil menunggu Angga dan Ega menambal ban, kami sempet ngobrol-ngobrol. Mas Ge membuka percakapan, “Yog, bawa pisau atau parang?”

DEG!

Jujur, camping ini gue cuma bawa diri, biskuit dan air mineral. Gue sama sekali gak kepikiran buat bawa benda penting kayak gitu. “Enggak bawa, Mas. Ini aja asal ikut buat pelepas stress.” Kata gue.

“Wah parah kamu, Yog! Kita ntar di hutan, loh! Pisau itu buat self defense.” Jawab Mas Ge.

“Emang Mas Ge bawa?”

“Bawa, dong!” Mas Ge membuka ritsliting jaketnya dan mengambil sesuatu dari dalam lipatan celananya. “Nih! Cutter!”

Hening.

“Awalnya udah mau bawa, tapi ketinggalan.” Lanjutnya.

Double hening.

Satu jam kemudian Angga dan Ega kembali, perjalanan segera dilanjutkan. Kami segera menggeber motor. “Ntar kita titip motor aja di rumah warga, soalnya jalanannya pasir. Agak susah dilewatin motor, kita nebeng mobil pick up yang masuk ke dalam aja. Semoga ada. Kalo gak ada, ya jalan kaki.” Kata Dani sebelum kita melanjutkan perjalanan. Kami iya-iya aja karena emang cuma Dani yang pernah ke sana dan kita gak tau kondisi aslinya bagaimana.

Setengah jam berlalu, jalanan yang kami lewati sudah mulai bercampur pasir, ditambah hari sudah gelap dan penerangan yang minim, ini membuat beberapa kali gue hampir jatuh. Dani meminta kami semua berhenti di depan rumah seorang warga, “Ini rumah terakhir, kalo kita masuk ke dalam, sudah gak ada rumah.” Dani menunjuk arah jalan yang tampak gelap. “Tapi ini masih setengah jalan. Titip motor apa gimana?”

Melihat keadaan yang sudah malam, gak ada mobil pick up yang masuk ke dalam untuk mengambil pasir, kalo kami jalan kaki kemungkinan besar bakal nyampe pas tengah malam, itu pun kalo kita gak pingsan di tengah jalan. Akhirnya kita memutuskan untuk mencoba masuk dengan tetap mengendarai motor.

Awalnya baik-baik aja, jalanan yang kami lewati emang berpasir, tapi sudah dicor. Gue sempet suudzon kalo Dani berusaha mendramatisir keadaan dengan misi terselubung membesarkan betis kami semua, karena jarak dari tempat yang direncanakan untuk titip motor dengan jalan yang sudah kami lalui itu bener-bener jauh. NAIK MOTOR AJA CAPEK APALAGI JALAN KAKI?!

Hingga akhirnya jalanan-dicor-bercampur pasir tadi berganti menjadi padang pasir. Untuk melewatinya kami mengikuti jejak ban mobil yang sudah tercetak di atas pasir. Temen-temen yang dibonceng segera turun dari motor karena keadaannya gak memungkinkan untuk boncengan. Beberapa kali motor kami terjebak dalam pasir dan harus didorong. Sulitnya lagi adalah ketika salah mengambil jalur, kita bakal susah untuk berpindah jalur lagi. Buat yang baru bisa naik motor, pasti bakal nangis kalo terjebak dalam keadaan seperti ini.

Jalanan pasir yang kami lewati ternyata panjang banget. Beberapa kali gue Tanya Dani, “Udah deket dari tujuan kita?”

“Masih jauh, Yog!” jawabnya tanpa dosa.

Gue nelen kopling motor.

Gue mulai kehilangan fokus karena kelelahan. Beberapa kali gue hampir jatuh dan salah jalur karena gak bisa ngendaliin motor gue sendiri. Perjalanan di pasir ini bener-bener panjang dan menguras tenaga serta pikiran, gue sempet khawatir ini gue bukan di Ambalat, tapi di Arab. Dan ini bukan perjalanan menuju tempat camping, tapi ke Ka’bah.

“Ayo masuk ke sini. Udah hampir sampe nih.” Teriak Dani di ujung sebuah gang.

Mendengar ucapan Dani, kami para pemotor yang melihat jalan yang ditunjuk Dani kayak melihat wc saat kebelet boker. Kami segera menuju ke arah Dani, memasuki gang dengan hati-hati karena pasirnya makin tebal, melewati gang itu, kami pun sampai di… padang pasir lagi. Tempat kami berhenti saat ini mirip planet yang ditinggal penghuninya, banyak bolongan bekas galian di mana-mana.

“Camping di sini?” kata kami heran.

“Bukan, kita masuk ke hutan sana.” Dani menujuk ke arah depan, “Parkir motornya di sini aja. Aman kok.”

Kami pun turun dari motor, merenggangkan badan yang mulai pegal. Menghirup dalam-dalam udara dan menghembuskannya perlahan. Sayup-sayup gue denger suara deburan ombak. “Eh, itu laut?” gue menujuk arah depan.

“Iya, di bawah hutan ini pantai ambalat.” Jawab Dani. “Kalo mau ke pantai, tinggal turun aja, semoga lautnya lagi surut.”
kira-kira begini keadaannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 8.20, kami mulai memasuki hutan dengan penerangan senter dari… hape. Iya, kami gak bawa senter beneran. Pelan-pelan kami melewati jalan setapak yang menurun. Jalan setapak ini cuma bisa dilalui satu orang, jadi kami jalan dengan urutan Aris, Dani, Ega, Bamz, Gue, Karin, Angga dan Mas Ge.

“Ayo sekalian ambil kayu untuk bikin api unggun ntar.” Kata Dani.
Kami mengiyakan dan mulai pelan-pelan mengambil dahan-dahan pohon kering yang kami lewati.

“Taunya ntar di bawah ada yang jual kayu bakar.” Celetuk mas Ge.

“Bukan, mas. Sekalinya ntar di bawah ada yang jual api unggun.” Balas Angga.

“HAHAHAHAHA!!!”

Becandaan ditambah jalan sambil mungutin dahan pohon membuat terciptanya jarak antara barisan Dani dan Bamz. Meninggalkan Dani dan Aris di depan. Beberapa kali Dani meneriaki kami agar mempercepat langkah. “Ayo cepet, Mas Aris udah jauh di depan tuh.”

Kami berusaha mempercepat langkah. “Yang paling belakang ntar diculik hantu!!!” goda Mas Ge. Karin sebagai cewek satu-satunya yang ikut langsung ketakutan dan  berusaha mengambil posisi gue. Angga juga ikut-ikutan. Mas Ge juga. Aris juga.

Oh wait…

Kami semua kaget, tiba-tiba ada Aris di belakang. “Loh? Perasaan kamu paling depan berdua sama Dani, Ris?” Bamz heran.

“Iya, aku juga liat Dani berdua sama kamu di depan.” Kata gue.

“Aku loh dari tadi di belakang, ngobrol sama Mas Ge.” Jawab Aris polos.

Kami pun bertemu Dani lagi. “Loh? Kamu kok ada di belakang, Ris?” Dani pasang muka bingung.

“Seriusan. Aku dari tadi paling belakang, ngobrol sama mas Ge.” Kata Aris lagi dengan ekspresi serius.

Jadi, yang tadi jalan di depan sama Dani itu siapa?


[TO BE CONTINUED]

Samarinda: what a day!

[Cerita PART. 1]
[Cerita PART. 2]


Cari penginapan di daerah D.I Panjaitan itu kayak pipis sambil kayang. Susah! Rata-rata bangunannya adalah toko pinggir jalan. Mendadak terbayang kalo gak nemu penginapan, gue dan Dana bakal tidur ngemper di depan toko. Sambil saling berpelukan. Bayanginnya aja udah bikin gue merinding. “Pokoknya harus segera nemuin penginapan!” batin gue.


Jalan sudah berganti nama, gue lupa waktu itu gue masuk ke jalan apa namanya. Kalo gak salah jalan P.M Noor. Jalan dengan kecepatan sedang sambil tolah-toleh nyari penginapan. Hasilnya sama, nihil! Gue pun menepi ke pinggir jalan dan segera buka google, lalu segera mengetik kalimat “hotel mesum samarinda” oke, becanda. Gue ketik keyword “penginapan murah samarinda” di kolom pencarian. Setelah hasil pencariannya muncul, gue buka satu link dan bener aja, daftar hotel dan penginapan murah terpampang, lengkap dengan alamat dan harganya. Harganya rata-rata cuma Rp 100.000/malam. 

Kampretnya: KITA GAK TAU ALAMATNYA ITU DI MANA.

Samarinda: Tanya-tanya

[Baca cerita sebelumnya di sini] 

Perjalanan gue ke Samarinda kali ini gak beda jauh dengan perjalanan sebelumnya. Gue dan Dana asik ngobrol selama di perjalanan, cuaca juga lagi bersahabat, yang agak beda cuma arus lalu lintas. Sedikit lebih ramai karena weekend. Banyak yang menuju Samarinda atau pun pulang ke Balikpapan. Ada juga yang pulang ke pelukan mantan. Ada.

Pukul 12 kurang kami sampai di kilo 50. Kami juga duduk di tempat yang sama seperti perjalanan sebelumnya. Dana segera memesan tahu sumedang dan kopi hitam, gue sendiri pesen kopi susu. Kata orang kalo lagi capek emang paling pas minum kopi susu. Kopinya diminum, susunya diremes. Ntah maksudnya apa, gue polos gak tau apa-apa.

Dana menyulut rokok class mild-nya, menghisapnya dalam-dalam, kemudian memhembuskan asapnya yang beberapa kali tertiup angin menerpa muka gue. Gak banyak topik yang kita bicarakan. Satu-satunya hal penting yang kita diskusikan adalah jam berapa berangkat lagi?

“Jam setengah 1 lanjut, ya?” saran gue.

Dana mengangguk setuju.

Baru beberapa menit menikmati hangatnya kopi, Dana tampak gelisah di tempat duduknya. Beberapa kali dia melakukan gerakan duduk-mau berdiri-gak jadi-duduk lagi. Gue sempet ngira dia cepirit. Atau ambeien. Atau ambeien sambil cepirit.

“Aku ke sana dulu, ya. Kayaknya itu temenku, deh.” Tunjuk Dana ke arah belakang gue. Gue menoleh, ada sekitar 5 orang remaja lagi ketawa-ketiwi.
Dana pergi ke belakang. Gue harap dia gak pergi terlalu lama karena perjalanan ini perjalanan mengejar waktu.

5 menit berlalu…

10 menit berlalu…

15 menit berlalu….


WANJIR INI ANAK KE MANA KOK GAK BALIK-BALIK?!

Gue menoleh ke belakang, Dana lagi ikut ketawa-ketiwi. Ternyata mereka emang beneran temennya Dana. Mau gue susulin tapi gak enak. Gue bakal jadi sohib yang egois, cuma mentingin kepentingan gue aja. Gak beberapa lama, Dana balik ke meja gue bareng seorang temannya. Ternyata mereka kumpulan temen kuliahnya Dana dulu. Tujuan kita sama. Sama-sama mau ke Samarinda. Ngobrol-ngobrol sebentar, mereka pun pamit melanjutkan perjalanannya duluan. Gue lirik jam, udah hampir pukul 1 siang. Mau sampai di Samarinda jam berapa, nih? Mampus.

Dana tau kegelisahan gue. Dia segera meminum habis kopi hitamnya dalam 3 kali teguk. Gue jadi curiga kalo sekarang Dana kesurupan Onta. “Ayo berangkat.” Kata Dana. Gue pasang slayer di muka dan menuju motor gue.

Perjalanan selanjutnya gue ditemani oleh cuaca yang labil. Yang tadinya terik banget, mendadak mendung di sekitar kilometer 70. Awan gelap, beberapa kali tampak petir menyambar, butiran gerimis mulai turun menerpa kaca helm gue.
“Kayaknya hujannya di daerah sini aja, di sana cerah.” Kata gue sambil menunjuk awan.

“Iya, terobos aja.”

Gue geber si Fixie sampai kecepatan 80 km/jam.

5 menit kemudian hujan deras. Banget.

Kita berteduh di pendopo pinggir jalan. Anti-klimaks.
 
si fixie kehujanan :')
“Sudah jam setengah dua lewat. Mana hujannya kayaknya awet gini…” kata gue. Putus asa. Kalo aja saat itu gue berteduh di depan rumah orang, gue bakal bikin embun di kaca jendelanya dan nulis-nulis, “I miss you” banyak-banyak.
30 menit kemudian hujan mulai reda, sisa rintik-rintik kecil.

“Terobos, yok?!”

“Gak bahaya? Licin loh jalanan.” Ucap Dana pelan.

“Ya pelan-pelan aja. Insya Allah, aman!”

“Pelan?”

“Iya… kecepatan 50 atau 60 km/jam aja.”

“ITU LAJU KAMPRET!!!”

Tanpa persetujuan Dana, gue menuju Fixie dan menaikinya. Dana gak punya pilihan lain selain ikut gue. MUAHAHAHAHA.

Untungnya keputusan gue kali ini tepat. Memasuki kilometer 80, cuacanya panas banget. Mungkin saking panasnya, kita pecahin telur di atas jalanan, telurnya mateng jadi telur ceplok. Cuaca terik ini bertahan sampai kita tiba di perkotaan Samarinda. Baju yang tadinya basah, kini sudah kering di jalan. Keren abis.

Pukul setengah 3 siang kami baru sampai di Samarinda. Ngaret sejam dari perkiraan gue. Ditambah siang itu Samarinda lagi macet banget gue jadi pesimis bisa ketemu Fita sebelum dia berangkat ke Buddhist Center.

Gue mulai percaya, “jangan merencanakan sesuatu, karena biasanya malah gagal.”

Kita berdua menuju SCP, untuk istirahat sambil mencari jalan menuju Buddhist Center via google maps. Sama seperti perjalanan sebelumnya, McDonalds menjadi tempat utama untuk nyantai. Beberapa kali mencoba mencari jalan via google maps, yang ada kita bingung karena banyak jalan di Samarinda itu jalur satu arah. Takut aja kalo ngikutin maps, kita disasarin ke jalur satu arah, ditangkap polisi, gagal nonton konser. Sia-sia perjalanan.

Dari pada bingung, terpaksa gue ngabarin Fita kalo gue lagi di Samarinda. Meminta petunjuk jalan, sukur-sukur kalo dia belum pergi, jadi bisa pergi bareng. Persetan dengan so sweet. Niat gue ketemu, nonton dia tampil, liat dia senyum. Sesimpel itu. Sama seperti sebelumnya (lagi), gue kabari dia via chat kalo lagi di SCP.

Gue: Kamu dimana, car? Udah di tempat acara?
Dia: Aku lagi di salon, ntar lagi ke sana. Pending ya?


Aku lagi di perjalanan Balikpapan-Samarinda kali makanya lama balasnya. Muehehehe.

Gue: Iya, lagi parah jaringannya, car.
Dia: Oh.


Udah? OH doang? Okeh, aku chat yang bikin kaget, nih…

Gue: Aku di SCP loh, mau nonton kamu tampil ntar malem… :3
Dia: Coba kalo ke sini itu bilang-bilang gitu nah. Jadi bisa kuatur gimana-gimananya.


Lah, dia malah marah…

Dia: Pake tiket loh nontonnya.


Iye, tau neng… ini nge-chat sekalian minta antarin ke tempat beli tiketnya.

Dia: Terus gimana? Tau jalan?

Ya enggaklah! Kalo tau mah udah di tempat acara, bukannya di SCP.

Gue: Iya, ini mau beli tiket tapi gak tau jalan. Bisa bareng? :’)
Dia: Duh… ini masih di salon, aku juga naik mobil sama temenku.


Tuh, mampus, Yog. Sok so sweet, sih!

Gue: Ancer-ancernya kalo dari SCP lewat mana?
Dia: Aku baru 3x ke sana, car. Gak tau jalan di sana. Jauh banget pokoknya dari SCP. Sananya Alaya.


Kali ini beneran mampus kamu, Yog! Apa pula Alaya itu? Apa masih ada hubungan darah dengan Alay?!

Gak lama kemudian dia ngirimin peta lagi kayak sebelumnya. Sayangnya peta yang dikirim gak jelas karena di-zoom out terlalu jauh untuk nunjukin ke gue di mana posisi gue, di mana lokasi acara.

Dia: aduh aku jadi pusing kan. Ntar sampai sana gak boleh aktifin hape juga, gimana aku mau ngasih info buat kamu. Jam 5 udah harus siap semua di backstage.


Gue: Yaudah, aku cari sendiri ya… semoga ketemu. Udah, kamu fokus aja buat konsernya. Gak usah pikirin aku. :)


IYA, ITU GUE SOK TEGAR! ADA EMOT SENYUMNYA!

Gue dan Dana pun segera menuju parkiran. Kami nekat ngikutin google maps. Sampai di parkiran, sinyal provider kita berdua hilang. Kampret.

Kita berusaha mencari sinyal dan men-tracking ulang. Nihil. Sinyal tetep gak ada. Apa kah ini pertanda bahwa gue bakal gagal nemuin tempat acaranya.

“Mas, ngapain? Mau keluar?” suara gahar om-om tukang parkir membuat kita berdua kaget. Pas noleh, kita makin kaget. Perawakan om-om bersuara gahar ini juga didukung penampilannya yang gahar; Brewoknya tebel, rambutnya keriting, muka kayak kena radiasi kentut.

“Uhh… iya, mau keluar. Tapi masih bingung keluarin di mana.” Kata gue.

“HAH?!”

“Anu, maksud saya iya kita mau keluar tapi masih bingung nyari alamat.”

“Alamatnya di mana emang, mas?”

“Jalan D.I Panjaitan, om. Tau arahnya kalo dari sini?”

Om-om gahar tadi berusaha berpikir. Dia menggaruk-garuk jidatnya.

“D.I Panjaitan?” Suara orang asing lainnya muncul dari belakang kami. Seorang bapak-bapak yang ingin keluar dari parkiran ikut nimbrung. “Alaya?”

“AH IYA! ALAYA!!!” Ucap gue dan Dana bersamaan. Ingat kata Fita sebelumnya.

“Masih jauh sih dari sini. Tapi masnya ini lurus, belok kanan, ntar ada jembatan kuning, setelah jembatan belok kiri. Ntar lurus aja, Tanya-tanya orang lagi. Tapi udah deket kok itu ntar.” Terang si bapak tadi.

“Lurus, belok kanan, ada jembatan kuning, belok kiri?” Tanya gue memastikan.

“Bukan, mas.” Sanggah si bapak. “Setelah jembatan kuning, baru belok kiri.”

“Aduh, kok jadi bingung ya?” gue garuk-garuk kepala. “Coba ucapin bareng, Pak.”

“Lurus.”

“Lurus.”

“Belok kanan, ada jembatan kuning.”

“Belok kanan, ada jembatan kuning.”

“Setelah jembatan, belok kiri.”

“Jembatan, belok kiri.”

“SETELAH, MAS! SETELAH JEMBATAN BARU BELOK!”

Gue pun iyain aja, takut bapak-bapak tadi emosi dan berubah jadi makhluk hijau raksasa dan menghancurkan kota. Setelah mengucapkan terima kasih, perjalanan gue mencari lokasi acara pun dimulai.
*****
Gue geber si fixie dengan kecepatan sedang, mengikuti arahan bapak-bapak di parkiran tadi. Setelah melewati jembatan kuning yang di maksud, gue belok kiri dan lurus aja. Sambil tolah-toleh mencari nama jalan. Karena takut nyasar, di sebuah pertigaan kami berhenti untuk numpang nanya lagi. Kami berhenti di sebuah warung kopi, tepat di depan pertigaan. Di dalam warung itu ada tiga ekor bapak-bapak. Dana sebagai orang yang kerjaannya gue bonceng aja gue utus untuk melaksanakan tugas mulia ini.


“Permisi, Pak. Numpang Tanya… Jalan D.I Panjaitan lewat mana, ya?”

Ketiga bapak-bapak tadi bengong.

“D.I Panjaitan?” seorang bapak tua mengulang pertanyaan Dana sambil garuk-garuk kepalanya, “Waduh gak pernah denger, dek.”

LAH? NYASAR NIH?!

“Psssttt! Alaya! Alaya!” teriak gue dari atas motor.

“Uhhh… Kalo Alaya, Pak? Tau jalan menuju sana?” Tanya Dana.

“Oh kalo Alaya, tau!” Kata si bapak penuh keyakinan. “Mas belok kanan, nih. Luruuuuuuuuuuuuuuus aja sampai ketemu lampu merah.”

“Lalu?”

“Ya stop, lah. Ntar adek ditangkap polisi kalo nerobos.”

“….”

“Habis dari lampu merah, adek luruuuuuuus lagi sampai ketemu lampu merah lagi.”

“Lalu stop lagi?”

“Bukan, adek Tanya-tanya aja lagi di sana. Udah deket kok.”

“Errrr… Ya sudah, terima kasih banyak, Pak.”

Dana pun kembali naik ke jok belakang, gue tancap gas dengan kecepatan sedang lagi. Tolah-toleh nyari nama jalan selama 10 menitan, akhirnya kami bertemu di lampu merah pertama. Gue jalan terus.

“Nyet. Stop! Stop!” Dana menepuk-nepuk pundak gue.

“Kenapa lagi? Kebelet pipis?”

“Kata bapak tadi ketemu lampu merah pertama harus stop, kalo nerobos ntar 
ditangkap polisi. Sia-sia perjalanan kita.”

“TAPI ITU LAMPUNYA LAGI IJO!”

Mendadak gue pengin turunin Dana dan ninggalin dia tersesat sendirian di kota orang.

Sampai di lampu merah kedua, kita mutusin untuk berhenti dan bertanya lagi. Dana pun gue utus lagi. Kali ini kami bertanya dengan orang random yang lagi jalan kaki, mirip acara kuis-kuis gitu. “Permisi, Pak… numpang Tanya. Jalan menuju Alaya masih jauh?”

“Ummmm… Alaya, ya?” Jidat si bapak tampak berkerut 5 lipatan. “ITU ALAYA ADA DI SEBRANG JALAN, MAS.”

Wanjir, ternyata Alaya ada di sebrang jalan! Ada tulisannya gede! Kita dikerjain bapak-bapak di warung kopi. Sebelum si bapak-bapak ini berubah jadi makhluk hijau raksasa dan mulai menghancurkan kota, kita berdua pergi, tak lupa mengucapkan terima kasih.

“Katanya Fita, Buddhist center ada di sananya Alaya. Berarti lurus aja lagi nih?”

“Kayaknya sih. Tuh liat nama jalannya udah D.I Panjaitan.” Tunjuk dana ke sebuah plang jalan berwarna hijau yang catnya mulai luntur dan berkarat.

Gue tersenyum. Akhirnya sampai juga. Tinggal nyari Buddhist center aja dan pasti gampang. Logikanya, tempat ibadah gitu pasti letaknya di pinggir jalan, minimal keliatan bangunannya dari jauh. Sebelum melanjutkan perjalanan, gue isi bensin di SPBU dan memfoto plang Alaya, gue kirim ke Fita biar dia gak pusing mikirin gue dan bisa fokus ke konsernya aja. Tau gini mending ke rencana pertama aja, ya?

Di SPBU itu kita kembali nanya ke seorang mas-mas biar gak nyasar aja. Ternyata bener, tinggal lurus aja dan bangunan Buddhist center keliatan dari pinggir jalan. Dengan semangat 69 gue geber lagi si Fixie mencari lokasi acara. 15 menit kemudian alias tepat pukul 4 sore kita berhasil menemukan Buddhist center. Saat itu gue bener-bener pengin nyanyi lagunya Naff - Akhirnya kumenemukanmu.

“Masuk ke dalam, nih?” Tanya gue.

“Kemaren aku telpon contact person tiketnya, katanya beli langsung di lokasi acara.” Kata Dana.

Okeh. Kami berdua jalan menuju pintu masuk. Ini pertama kalinya kita masuk ke rumah ibadah agama lain. Sampai di depan tangga, ada tulisan lepas alas kaki. Semacam batas suci kalo di masjid gitu. Kita galau ini lepas sepatu apa enggak. Selayaknya orang Indonesia, melanggar aturan sudah mendarah daging dalam tubuh kami. Dana menginjakkan kakinya ke satu anak tangga dengan sepatu.

“PRIIIIITTTT!!!!!” Suara peluit security terdengar. Kita berdua menoleh ke sumber suara. Security memberikan kode untuk melepas sepatu. Untungnya kode melepaskan sepatu, bukan melepaskan baju. Atau melepas masa lajang. Gue belum siap.

Kami datangi security tadi dan menjelaskan maksud tujuan kita. Mau beli tiket konser untuk nanti malam di lantai 3.

“Oh konser ntar malam? Ya belinya ntar aja jam 7.” Kata si security.

“Oh gitu. Emang belum ada orang di lantai 3? Panitia acaranya gitu?” Tanya Dana.

“Belum ada, mas.”

“Errr… Oh iya, ntar kalo nonton konsernya lepas sepatu apa enggak?” Tanya gue.

Mendengar pertanyaan gue, om security memandang gue dengan ekspresi sumpe-lo-nanya-gitu?

“Oh kalo ke konser ntar naik lift yang ada di luar situ, jadi gak perlu masuk ke dalam. Kalo mau masuk ke lantai satu aja baru lepas sepatu. Lantai 1 emang khusus tempat ibadah.”

Gue dan Dana manggut-manggut. Kami mulai ngobrol-ngobrol dan Tanya-tanya soal tempat untuk membuang waktu sampai pukul 7 malam.

“Mas, tau di mana penginapan atau hotel di sekitaran sini?” Iya, kita nyari penginapan buat nginap sekaligus mandi. Masa mau ke konser gak mandi?

“Waduh, gak ada kalo di sekitaran sini, mas.”

“Kalo mall, deh? Mall…” Iya, plan B. Kalo gak nemu penginapan, kita cukup cuci muka di wc mall. (LAH, APAAN NIH GUE KATANYA KALO KE KONSER HARUS MANDI.)

“Mall banyak, yang deket itu di Alaya, ntar ada Giant.”

“Kalo suneo, mas?”

Security tadi langsung pergi ninggalin kami berdua, tanpa menjawab pertanyaan gue. Jahat.

Kami berdua mutusin untuk keliling nyari penginapan dulu. Waktu 3 jam pasti cukup buat nemuin penginapan. Baru aja mau pergi dari parkiran, ada seorang cowok memarkirkan motornya di depan gue. Dia memakai baju dengan nama tempat lesnya Fita dulu. “Kayaknya itu panitia, deh. Coba tanya dia jual tiketnya apa enggak?”

Dana berdiri meninggalkan gue di motor sendirian. 5 menit kemudian dia kembali dengan 2 lembar tiket di tangan.

“Oke, sisa cari penginapan.”

Perjalanan gue kembali dilanjutkan. *pukpuk punggung*


[TO BE CONTINUED]