A Great Story Comes With Great Stupidity

Sebuah petualangan dan perkenalan

“Permisi, bang. Bisa tolong ajarin saya main bicep tricep, gak?” tanya seorang pemuda berbadan tegap, kulitnya coklat mengkilap karena basah oleh keringat, poninya yang panjang hampir menutupi matanya yang memakai kacamata berframe kotak. Aura wibunya kuat sekali.

Malam itu gue lagi gym seperti biasa bersama temen gue, Yassa. Mendapat pertanyaan seperti itu, gue menghentikan aktifitas gue, yang tadinya mau minum, jadi pengen mukul pemuda itu. DIA INI GAK SALAH ORANG UNTUK MINTA TOLONG APA GIMANA YA?

Ada beberapa alasan yang bikin gue bingung. Pertama, secara fisik, badan dia lebih gede daripada gue. Kedua, gue nge-gym juga levelnya masih pemula banget, bukan hal yang tepat deh kalo gue ngajarin orang. Ketiga, gue nge-gym modal nekat dan nonton video dari tiktok.

“Gak salah nih minta ajarin ke saya?” gue berusaha menolak.

“Iya, bang. Beneran. Saya gak tau gerakannya main bicep tricep.”

“Kayaknya aku pernah liat deh kamu main tricep pake cable di ujung sana?” selidik gue.

Mari flashback sebentar.

Gue pertama kali ngeliat dia di gym itu di bulan April. Saat itu dia datang langsung lari di treadmill selama 20 menit, lalu main hamstring curl, kemudian leg press beban 100kg. Melihat penampilan luarnya, first impression gue: dia adalah monster. Seorang korban bullying dan ingin memperkuat diri dengan latihan keras di gym untuk membantai para pembully-nya. Mirip arc balas dendam main character di anime.

ORANG GILA MANA YANG AWAL GYM LANGSUNG LEG DAY COBA?! BETISNYA GEDE COY KAYAK UBI UGANDA. PASTI DIA BUKAN PEMULA!!!

Beberapa kali jadwal latihan gue di gym sering berbarengan dengan kemunculan dia di gym. Bahkan bisa dibilang sering, tapi kami gak pernah saling bertegur sapa. Hingga akhirnya di awal bulan Agustus, dia tiba-tiba minta ajarin main bicep tricep.

HEY WALAUPUN KITA GAK KENAL DAN GAK TEGURAN BUKAN BERARTI SAYA GAK LIATIN ORANG LAIN DI GYM YA? ANDA CUKUP SERING TIBA-TIBA AMBIL DUMBBELL 10KG DAN LANGSUNG BICEP CURL, YA!

“Iya sih kemarin itu main tricep pake cable,” Balas pemuda tadi sambil nyengir. “tapi emang bener gerakannya itu?”

“Uhhh… kayaknya sih bener.” Balas gue-yang-gym-modal-nonton-gerakan-di tiktok. “Ini aku lagi jadwal leg day. Jadi kayaknya aku gak bisa deh ajarin kamu buat main bicep tricep.”

“Oh lagi main leg ya?” pemuda tadi malah sumringah, memamerkan deretan giginya yang rapi. “Aku gak jadi bicep tricep deh kalo gitu, main kaki aja.”

“….”

“Saya join leg day, ya?”

“….”

“OKE KITA LEG PRESS 200 KILOOOO.”

“….”

Ya, itulah awal perkenalan gue dengan Rifki. Sosok pemuda dengan aura wibu yang sangat kuat. Bahkan kontak whatsapp-nya gue simpan dengan nama Rifki Wibu.

Setelah kejadian tadi, kami jadi sering latihan bareng di gym. Dari yang gue latihan berdua dengan Yassa, sekarang ketambahan Rifki wibu. Jadwal latihan kami bikin berbarengan supaya bisa saling support untuk mengembangkan otot-otot kami yang lama tertidur pulas. Kami latihan mengangkat beban sampai failure dengan motivasi dikatain, “AYOOO SEGITU DOANG MASA GABISA? LEMAAAHHH.”

“NENEKKU BISA ANGKAT BEBAN LEBIH DARI KAMU, CUPUUUUHHHHH.”

“HIDUP JOK-“

Dari gym bareng, kami juga jadi sering nongkrong bareng bertiga. Dari situ lah kami mulai akrab satu sama lain. Suatu hari, tercetuslah sebuah ide yang cukup menarik: gimana kalo kita menggulingkan pemerintah.

Oke, bukan.

Gimana kalo kita nge-trip alias bepetualang bareng, menyatu dengan alam dan pergi dari hiruk pikuk kota sejenak.

Ide ini muncul setelah gue melihat feeds Instagram Rifki sering jalan-jalan menjelajahi alam. Ada yang ke air terjun, ada yang ke gunung, ada juga ke penangkaran rusa. Pokoknya ijo-ijo banget. Sebagai budak korporat yang sehari-hari menatap layar komputer doang, tentunya gue juga pengen liat yang seger-seger nan ijo-ijo. Mengajak Rifki yang berstatus sebagai akamsi untuk berpetualang, berbekal pengalaman dan keahlian Rifki, harusnya akan jadi petualangan yang aman dan menyenangkan. Itu yang ada di pikiran gue.

.

.

.

“YOOOOG… RIFKI NGAMUK-NGAMUK DI ATAS SANA SAMBIL NENDANG-NENDANG MOTORNYA!!!” Yassa berteriak panik, sambil berlari menuruni bukit menuju arah gue yang sudah kelelahan di atas motor.

“HAH? SERIUSAN?” Gue segera turun dari motor, meninggalkan Yassa dan lari menaiki bukit, jalan terjal menanjak penuh dengan bebatuan membuat langkah gue makin berat. “KIIII??? ARE YOU OKAY???”

Gue melihat Rifki hanya diam, tidak menjawab pertanyaan gue. Dia masih berusaha memaju mundurkan motornya dengan kasar. Usahanya tampak sia-sia, motornya tetap tidak bergeming di antara bebatuan dan tanah liat.

“Aku belum pernah liat Rifki sengamuk itu selama kenal dia.” Ujar Yassa pelan di samping gue, sambil berusaha mengatur nafasnya. “Dia kayak orang kesurupan. Tadi semua kata-kata kasar diucapin. ****, ******, lalu ********.”

“seriusan Rifki bilang ******?”

“Iya, Yog.”

“lalu ***** juga?”

“Iya, Yog. Paraaaah pokoknya.”

“Astaghfirullah. Kacau sih.”

Orang di sebelah gue adalah Yassa.

Kebetulan dia adalah tetangga sebelah kost gue. Perkenalan gue dengan Yassa terjadi di bulan Juni. Saat itu gue pulang kerja dan lagi menuju kamar kost, tiba-tiba ada sosok pemuda memakai kaos kutang dengan celana  bahan sedang menyapu teras kamar kost yang selama ini tampak kosong. Iya, tampak kosong karena tiap kali gue pergi kerja, orangnya sudah pergi kerja duluan. Pas gue pulang, orangnya belum pulang. NAMUN KALI INI DIA PULANG LEBIH DULU SODARA-SODARAAA….

Gue melewati kamar kost dia sambil menegur sekenanya, “Mas. Ehe.”

“Iya, Mas. Ehe.”

Oke, sepertinya kita sama-sama introvert. Canggung abis. Gue segera mengeluarkan kunci kamar dan baru aja mulai mengarahkan ke lubang kunci, tiba-tiba ada suara dari belakang gue.

“Mas…”

Gue noleh, di belakang gue ada pemuda tadi menyodorkan kartu namanya dengan tangan kanannya, tangan kirinya masih memegang sapu. Gue segera mengambil kartu nama yang dia sodorkan, karena gue takut digebuk pake sapu.

“Saya Yassa, Mas.”

“Oh iya, saya Yoga, Mas.” Jawab gue sambil melihat kartu nama yang dia kasih. Dari situ gue tau ternyata dia kerja di bank.

“Sudah lama ngekost di sini, Mas? Kok saya baru liat.”

“Lumayan sih, saya dari bulan November tahun lalu. Lagi mutasi kena penempatan di Penajam ini. Saya aslinya dari Balikpapan.”

“Wah lama juga tuh, saya baru dari bulan April kemarin.” Kata si Yassa, “Saya juga mutasi dari kantor, kena penempatan di Penajam juga. Aslinya dari Samarinda.”

Sebagai orang yang jarang basa-basi dan punggung gue sudah meronta-ronta ingin rebahan, gue sejujurnya ingin percakapan ini cepat selesai, tapi mulut ini malah melanjutkan, “Wah sama dong.”

Untungnya Yassa tidak melanjutkan dengan, “Jangan-jangan kita…”

Horror abis.

“Bentar deh,” kata gue, “Kayaknya aku pernah liat kamu di tempat gym. Apa mirip doang ya?”

“Gym yang di atas sana?” Yassa menunjuk arah luar gang dengan sapu di tangan kirinya, bulu keteknya kemana-mana. “Iya, kemarin sempat main di sana. Kok aku gak liat kamu?”

“Kayaknya pas aku udah selesai latihan, kamu baru datang tuh tolah-toleh nyari alat.”

“Iya, pas aku datang, penuh banget tuh. Sampe bingung mau main apa.”

“Aku biasa latihan jam 7, pulang jam 8. Kalo jam 7 masih sepi, kalo jam 8 tuh sudah rame, daripada antri alat, mending aku udahan dan pulang.”

“Entar malam gym gak?”

“Gym sih.”

“Join ya?”

“….”

Ya, itulah awal mula gue kenal dengan Yassa.

Rifki akhirnya mendatangi kami berdua. Wajahnya tertunduk lesu. Nafasnya tampak berat. “Ayo kita turun dulu, tinggalin aja motormu di atas, kita cari solusi bareng.” Kata gue. “Ini motornya Yassa juga stuck sih, tapi harusnya bisa dituntun ke bawah pelan-pelan.”

“Ayo kita ke Devi dulu. Sendirian tuh dia di bawah sana.” Ajak Yassa. “MBA DEEEEV… AMAN KAH DI BAWAH SANA???”

“Amaaaan…” Sayup-sayup suara Devi terdengar, bercampur dengan suara serangga khas dalam hutan, “Kalian makan siang dulu. Kita belum ada makan dari pagi lho.”

Ya, di sinilah kami berempat, pukul 12 siang, terjebak di dalam hutan dan gak tau harus apa.

Yang lebih horror: besok Senin.

 


(To be continued)

BANG ADA SEKUELNYA GAK???

Kayaknya ’hal random’ dan ‘Yoga’ adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Hari Sabtu kemarin, gue kerja seperti biasanya. Karena di kantor lagi agak gabut, seperti para pekerja pada umumnya, kami berinisiatif membuka LinkedIn dan mulai mencari lowongan kerja.

Oke. Bercanda.

Gue membuka twitter untuk melihat ada pertikaian apalagi di timeline hari ini. Baru aja scroll dikit, tiba-tiba tab mention gue muncul sebuah notifikasi. Sebuah kejadian yang cukup langka terjadi di sini karena gue jarang banget nge-tweet, apalagi sampai ada yang mention.

Karena penasaran, gue klik tab mention dan mendapati sebuah mention yang cukup random tapi sukses membuat gue overthinking:

Sebentar. Tarik nafas. Hembuskan. Oke. Gue akan menanggapi pertanyaan dari Anto Boleng Underscore.

Biasanya, di usia gue yang sudah 29 tahun ini, pertanyaan yang sering muncul adalah: kapan nikah?

INI KENAPA NANYA APAKAH GAK KELUARIN BUKU LAGI? BUKU PERTAMA GUE ITU 10 TAHUN YANG LALU LHO, GAK USAH DITUNGGUIN SEKUELNYA. :’)

Random sekali…

Yaaaa memang sih film TOP GUN aja baru dapat sekuelnya yaitu TOP GUN: MAVERICKS setelah 36 tahun, tapi untuk kasus buku kedua gue, sebenernya ya jelas pengen nerbitin lagi, sialnya untuk saat ini kayaknya keadaannya tidak memungkinkan deh.

Jadi gini, pada tahun 2013, gue berhasil menerbitkan sebuah buku yang cukup menggemparkan toko buku, yaitu: Senior High Stress.

Buku itu bercerita tentang kejadian absurd, ngenes dan kesialan selama gue hidup sebagai anak SMA, di mana kejadiannya di tahun 2009-2012. Saat itu gue iseng menulis naskah buku itu di tahun 2012, setelah lulus SMA dan menunggu masuk kuliah.

Isengnya ya karena temen-temen gue pada kuliah di luar kota, sedangkan gue enggak. Untuk mengobati rasa kangen masa-masa SMA itulah gue iseng kumpulin beberapa tulisan di blog ini, lalu gue tambahkan beberapa cerita yang belum pernah di posting di sini, hingga akhirnya naskah itu selesai dan akan gue baca ulang kalo kangen. Bener-bener gak ada niat “Ini naskah harus tembus ke penerbit dan terbit di toko buku se-Indonesia raya! Lalu aku akan menguasai dunia hahahahaha!”

Gak ada. Bener-bener iseng. Gue kirim naskah pun ke satu penerbit doang.

Ajaibnya, naskah itu diterima dan terbit.

…And, the rest is history.


Temen-temen SMA gue yang kuliah di luar kota pada beli buku gue.

ini harus di-create ulang lalu dipakein hashtag #10YearsChallenge

Tiba-tiba diajak ketemuan sama wartawan untuk interview sebuah Koran.

Banyak yang tiba-tiba mention gue di twitter, katanya abis baca buku gue.

Ada yang komentar positif, ada yang negatif. Komentar positif bikin gue semangat untuk bikin buku lagi, sementara komentar negatif ya gue terima (karena memang benar wkwkwk) dan gue usahain untuk gak terjadi di buku selanjutnya.

Gue berusaha menulis lebih baik lagi, karena gue percaya, tulisan yang bagus itu adalah tulisan yang awalnya jelek. Semakin sering kita menulis, semakin mahir nantinya. Gue mencoba tetap konsisten menulis di blog sambil berusaha menguasai dunia membuat naskah baru saat itu.

Tapi pada perjalanannya, kayaknya gue sudah mengubur mimpi gue untuk punya buku kedua di tahun 2015. Saat itu gue ke toko buku dan rata-rata gue lihat, buku yang terbit adalah novel fiksi yang di-cover-nya ada tulisan “TELAH DIBACA SEKIAN JUTA KALI DI WATTPAD”.

Buku-buku lain yang bergenre sama kayak tulisan gue pun sudah dikuasai oleh selebtweet atau komika yang tentunya mereka diajak kerjasama oleh penerbit untuk menerbitkan buku.

Peran media sosial kayaknya bener-bener jadi penentu kalian bisa menerbitkan buku atau enggak. Seberapa meng-influence kalian di media sosial, berapa jumlah followers, seberapa menarik konten kalian kayaknya jadi gerbang utama untuk penerbit datang dan menawarkan untuk kerja sama.

Yaaa sepertinya balik lagi ke faktor bisnis perusahaan/penerbit. Dengan menerbitkan buku dari orang yang sudah ‘terkenal’ (misalnya dengan followers ratusan ribu/jutaan) atau karyanya sudah dikenal duluan (TELAH DIBACA SEKIAN JUTA KALI DI WATTPAD), penerbit gak perlu khawatir lagi bukunya gak laku di pasaran karena orang-orang tersebut suda punya basis massa-nya sendiri, kan?

Kayaknya sudah gak ada lagi penerbit waras yang mau ambil resiko dengan menerbitkan naskah orang random out of nowhere gak dikenal siapa pun. Kalo ada, infokan titik kordinat karena siapa tau gue bisa nerbitin di situ. Ehe.

Nah, apakah dengan followers banyak itu privilege? Bisa dibilang iya. Tapi gue sama sekali tidak iri. Mereka berhasil mem-branding dirinya sendiri, membangun relasi, sampai punya banyak followers, hal itu dilakukan dengan kerja keras dan konsisten, dan itu gak mudah, lho. Jadi, ya… ketika mereka diajak kerjasama oleh penerbit untuk menerbitkan buku ya itu bonus dari kerja keras mereka di awal tadi.

Selama fenomena buku-buku dari wattpad atau selebtweet itu menyerang toko buku, gue cuma berusaha konsisten menulis di blog. Tapi ya sambil tipis-tipis nyusun naskah, karena gue masih sedikit berharap bisa menerbitkan buku lagi, walaupun gue seperti yang bilang, tahun 2015 adalah akhir di mana keinginan gue menerbitkan buku lagi.

Di akhir tahun 2016, naskah gue selesai gue tulis. Gue inget banget nulis naskah itu barengan dengan nyusun skripsi. Jadi, pas gue stuck ngerjain skripsi, gue malah lanjut ngetik calon naskah.

Cerita-cerita dalam naskahnya pun lebih personal daripada Senior High Stress. Ketika naskah itu beres, gue malah bingung mau diapain nih? Mau kirim ke penerbit lagi entah kenapa gue ragu. Dari yang awalnya dulu berani kirim karena iseng, gue malah takut mengirim karena “tau” keadaan di luar sana belum berubah. Gue udah kayak orang yang pengen ngechat mantan buat ngajak balikan.

Akhirnya ya… enggak gue kirim.

Gue malah kirim ke Kresnoadi, temen seperjuangan gue ngeblog. Kami saling tukar naskah untuk di-review, karena kebetulan saat itu dia lagi bikin naskah juga. Beres dari Kresnoadi, gue mulai meng-edit naskah, menambah dan mengurangi beberapa kalimat hasil saran dari Kresnoadi. Setelah gue rasa selesai, gue kembali bingung bin ragu. INI NASKAH MAU GUE APAIN YA?!

Tahun 2017 gue sudah mulai kerja, kesibukan gue di dunia kerja perlahan mulai membuat gue meninggalkan dunia tulis menulis ini. Blog sudah hampir gak pernah gue update, naskah itu pun berakhir di mengendap di laptop gue.

Selain Kresnoadi, pacar gue, oiya mantan gue adalah orang yang pernah baca naskah itu. Respon dia saat itu malah suka baca cerita soal mantan gue. Entah emang suka ceritanya atau buat bahan berantem semisal gue lakuin kesalahan. Entahlah.

Sekarang, tahun 2023, 10 tahun buku gue terbit. Jujur, gue masih bangga dengan terbitnya buku itu, walaupun secara kualitas ya mungkin tidak terlalu bagus. Karena pada proses pembuatannya cuma iseng, tulisan gue masih amburadul khas curhatan anak SMA, komunikasi saat proses editing dari penerbit dan gue yang kurang maksimal dan tau-tau terbit, tapi ya itu tetap ‘anak’ gue.

Untuk naskah lama itu, calon ‘anak’ kedua gue, kadang gue buka untuk edit-edit kembali, supaya jokes-nya masih relate dengan zaman sekarang. Pas lagi ngedit itu, kadang gue pernah mikir, apa taruh di wattpad aja? Apa terbitin sendiri aja di penerbit indie? Apa gue fokus menguasai dunia aja, ya?

Sampai sekarang, gue gak tau harus ngapain.

Any idea?

 

 

---

Nb: Oiya, Kresnoadi akhirnya berhasil nerbitin buku juga di tahun 2023! Tentunya ini bukan naskah yang dia kirim ke gue untuk saling review waktu itu.



Selamat, ya!

Penerbit kita sama, lho. Bisa kali...

BERCYANDAAA~

 

How's Life?

Hai.

Ehe. Hehe…

Ummm… How’s life?

Ehehe.

Di tahun 2022 begini, masih ada gak sih yang nulis di blog? Kalo sudah enggak ada, ya kayaknya emang sudah bukan zamannya. Kalo masih ada, oke gue tambahin populasinya. Iya, sama-sama.

Terakhir kali gue update blog kayaknya tahun 2020, itu artinya sudah 2 tahun yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut, banyak hal yang terjadi di kehidupan gue. Dari hal yang bikin bahagia kayak punya pacar, sampai hal yang bikin sedih kayak bapak gue meninggal dunia.

Bahas Komentar dan Tali Sepatu


Sebenarnya salah satu alasan kenapa tiba-tiba gue update blog lagi kemaren adalah karena ini.


(((SEMOGA DIA TENANG)))

Gue belum meninggal ya heyyyyy. Tolong jangan mengadi-ngadi!

Terus alasan lainnya adalah kayaknya gue baru sadar kalo menulis itu salah satu cara ‘pelarian’ gue untuk melepas stress di dunia nyata, ya walaupun yang gue tulis juga tidak penting. Seperti ada ‘beban’ yang lepas dari kepala gue setiap kali selesai nulis.

Tapi, kadang gue juga minder ketika mau ngetik postingan, lalu inget blog temen-temen yang lain isinya lebih berfaedah daripada tulisan gue. Kayak blognya Haw yang bahas teori fisika dikaitkan dengan kejadian di dunia nyata, blognya Adi dengan proyekan kerennya, blognya Yoga Sholihin dengan tulisan fiksinya, blognya Ichsan yang… sama sampahnya kayak gue wkwkwk. *toss*

Sebenernya pengen gitu nulis sesuatu yang berfaedah, yang menunjukkan kecerdasan dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta berkepribadian luhur, tapi kok gak bisa. Jadi, yaudah kita bahas dikit komentar di postingan sebelumnya. (Gimana bridging-nya? Mantap, kan?)

Oke, kita mulai.