A Great Story Comes With Great Stupidity : (Sok-sokan) Camping Part 2

(Sok-sokan) Camping Part 2

Baca cerita sebelumnya di sini
 
Kami semua mulai membaca doa-doa dan melanjutkan perjalanan dengan lebih tenang. Gak ada becandaan dan celetukan lagi sampai kami tiba di spot yang bakal dijadikan tempat kami bermalam.

“Oke, di sini tempatnya.” Kata Dani. “Ini kita di pinggir tebing, kalo mau ke pantai tinggal turunin tebing ini.”

Angin laut berhembus kencang, membuat jaket tebal yang gue pakai seperti tidak berfungsi. “Ayo bikin api unggun, lalu bangun tenda.” Gue coba ngasih usul.

Kenapa musti bikin api unggun? Selain untuk penerangan, kami juga gak bawa lampu charge atau lampu portable lainnya. Senter aja gak bawa, apalagi lampu. Awalnya kami mau bawa lampu gitu, tapi disindir oleh Mas Ge, “Camping apaan bawa lampu.” 

Kampret memang.


“Iya cepet bikin api unggun. Baru bangun tendanya.” Bamz setuju dengan ide gue.

“Oh iya, mana tendanya? Air galonnya juga mana?” Ega melihat ada sesuatu yang janggal.

“Tenda sama air galonnya ditinggal di motor. Bilangnya Mas Ge ini survey tempat dulu.”  Jawab Angga polos.

DANI KAN SUDAH SURVEY TEMPAT INI DULUAN PAS KEMAREN-KEMAREN. JADI GAK ADA ISTILAH SURVEY LAGI, WOI!!!

Kami semua menatap Mas Ge dengan tatapan membunuh.

“Yaudah, bikin api unggun aja dulu. Istirahat bentar, baru ntar 2 orang ambil tenda dan gallon ke atas. Sisanya cari kayu buat api unggun.” Mas Ge memberi ide. Sambil berusaha menyelamatkan diri.

Yang jadi masalah adalah: siapakah orang berhati malaikat yang mau naik ke atas, lalu turun lagi membawa gallon dan tenda?

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Ega dan Aris yang diutus untuk naik lagi ke atas. Gue, Dani dan Angga berusaha bikin api unggun. Bamz dan Mas Ge nyari kayu tambahan. Karin? Dia diem aja. Useless.

Agak susah bikin api unggun karena angin laut yang berhembus kencang. Daun yang kami bakar sebagai pancingan untuk membakar ranting selalu padam duluan sebelum dia membakar ranting-ranting pohon. Hampir 15 menit lebih kami tidak berhasil membuat api unggun.

“Minggir-minggir. Biar kukasitau cara membuat api unggun yang benar.” Mas Ge jongkok di sebelah kami. “Polisi itu juga diajarin bertahan hidup di alam liar. Self defense!”

Mas Ge mengatur ranting-ranting pohon sedemikan rupa, membakar daun, menaruhnya di bawah tumpukan ranting dan… voila! Api unggunnya nyala! Kami semua terkagum dan segera mengarahkan tangan kami ke api unggun. Hangat!

Beberapa menit kemudian Aris dan Ega pun datang membawa tenda dan air gallon.

“Ayo kita masak dulu, udah lapar nih!” Mas Ge menepuk-nepuk perutnya. “Angga, bawa panci, kan?”

“Bawa, mas!” balas Angga sambil pergi menuju tasnya. “Tunggu sebentar, ya!”

Beberapa menit kemudian Angga kembali sambil menunjukkan pancinya. Benda yang dibawa Angga tampak berkilau, tanda masih baru. Kami jadi gak tega mau masak pake panci itu.

“Itu panci baru, Ngga?” Tanya Mas Ge.

“Enggak, Mas. Ini bawa dari rumah.”

“Gak dimarahin ibumu bawa yang bagus gitu?”

“Tadi aku ijin ke Ibu, “Bu, Aku mau camping. Aku bawa panci, ya.” Malah disuruh bawa panci yang paling bagus. Yaudah kubawa aja.”

“….”

Mungkin ibunya Angga gak tau definisi camping adalah kita bakal masak secara barbar dan membuat panci menjadi gosong.

Air pun dituang ke dalam panci yang disusul gerakan menaruh panci di atas api. Ega mengeluarkan 4 bungkus mie instan dan meremukkannya. Menunggu air mendidih dengan api yang apa adanya begini ternyata cukup menyita waktu. Perut sudah mulai berontak. Gue, Dani, Angga, Ega dan Bamz bengong di depan api unggun menatap panci yang mulai gosong.

“Ayo makan dulu!” Mas Ge tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa… nasi kotak.



“Ini namanya self defense! Bertahan hidup!” Mas Ge ngeles.

Demi kelangsungan hidup, nasi kotak yang dibawa Mas Ge kita makan rame-rame. Dalam hitungan detik, nasi kotak tadi lenyap seketika.

Kembali ke api unggun. Air yang ditunggu-tunggu akhirnya mendidih juga. Ega segera memasukkan mie instan yang udah diremukin ke dalam panci dan mulai memasak. Iya, sengaja pake kata ‘memasak’ biar keliatan keren aja, padahal kan cuma masukin mie dan bumbu lalu diaduk-aduk doang.

Mie pun matang. Muka-muka kelaparan mulai mengelilingi panci berisi mie rebus tadi. Rupanya nasi kotak tadi gak cukup kuat untuk sekedar mengganjal perut. Ada yang menghirup aroma mienya, ada yang ngiler dan ada yang baru sadar kalo kita… gak bawa piring dan sendok.

INI MAKANNYA GIMANA?!!!

LANGSUNG PAKE TANGAN?!! MELEPUH KAMPRETTT!!!!

Awalnya gantian gitu, makan langsung dari pancinya memakai sendok bekas dari nasi kotak yang dibawa Mas Ge. Tapi kalo menggunakan cara ini, bisa dipastikan akan menimbulkan konflik rebutan sendok. Angga pun mengeluarkan ide jenius: dia mengambil ranting pohong, dipatahkan menjadi dua bagian dan voila! Jadi sumpit! Gue segera ikuti cara Angga dan mulai makan dengan susah payah.

Mas Aris gak kalah jenius, dia tau makan secara bersamaan di satu panci gak akan membuat kenyang, dia membagi botol air mineral untuk dijadikan… mangkok! Jenius!

Selesai makan dengan susah payah dan gak kenyang, Karin dan Dani teriak, “Ada p*op mie nih 4 biji.”

Gue menoleh dengan cepat ke sumber suara, menyiapkan suara terbaik dan bilang, “MINTA SATU!!!!”

“AKU JUGA!!!” Bamz ikutan.

Gue segera merebus air lagi untuk masak po*p mie. Self defense!

Beberapa menit kemudian air pun matang, gue tuang ke api unggunnya. Eh enggak, gue tuang ke gelas po*p mie-nya. Baru aja mau nuang, gerakan gue terhenti oleh perkataan Karin, “Airnya kotor kemasukan abu api unggun gitu, Yog.”

“Kalo mikir bersih atau kotor ya mati kelaparan, ntar. Udah, gak apa-apa.” Air pun gue tuang. Selanjutnya kami makan dengan khidmat dan lumayan kenyang. *tepuk-tepuk perut*

Malam itu kami habiskan untuk ngobrol-ngobrol, sambil nikmati bintang di langit, nyeruput kopi hangat, dibelai dinginnya angin laut, dipeluk hangatnya api unggun tanpa sibuk sendiri dengan handphone masing-masing karena gak ada sinyal di sini. Bener-bener sempurna.
 
terima kasih sudah menghangatkan kami semalaman!
Malam itu juga kami terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok anak muda, gue, Karin, Bamz dan Dani. Kelompok bau tanah ada Mas Ge, Aris, Ega dan Angga. Kelompok anak muda tidur duluan, kelompok bau tanah jagain kami karena mereka asik ngobrol. Gue terbangun pukul 2 malam, Karin, Dani dan Bamz juga ikut kebangun. Keadaan sekitar kami sepi. Api unggun yang ada di dekat kami juga hampir mati, kelompok bau tanah gak keliatan sama sekali. Gue berjalan ke pinggir tebing dan mendapati mereka lagi asik ngobrol di pinggir pantai, dengan api unggun baru.

Kami berempat yang udah terlanjur terbangun akhirnya membuka sesi curhat. Dani nyeritain soal keluarganya dan kisah percintaannya yang selalu berakhir setelah nge-date alias “kita pernah dekat zoned”. Karin nyeritain pacar barunya yang sayangnya harus terpisah oleh jarak. Gue sendiri cukup jadi pendengar yang baik bagi mereka. Yang paling kampret si Bamz, dia cerita habis nolak cewek. Ngehe memang.

Sekitar pukul setengah 4 gue tidur lagi. Gue musti nyimpan tenaga buat besok pulang ngelewatin padang pasir lagi.

Gue terbangun, keadaan sekitar gue udah terang. Gue cek hape yang ada di sebelah gue dan ternyata udah pukul 5.45. Gue segera bangunin yang lain untuk liat matahari terbit dan… ternyata gak ada. Kabut tebal membuat matahari yang gue tunggu-tunggu gak muncul. Gue pun turun ke bawah tebing untuk ke pantai dan… pipis.
 
ceritanya nunggu sunrise.
di foto dari bawah (pantai), orang berdiri itu tempat kita camping
Selesai pipis yang gak perlu gue ceritain bagaimana prosesnya, gue dan Angga membuat api unggun lagi, untuk bikin sarapan. Kali ini kami udah gak usah pusing-pusing makan pake apa. Ada gelas po*p mie semalem + garpunya!


Pukul 7, semua orang sudah bangun dan mulai sarapan secara beringas. Selesai sarapan Mas Ge, Karin, Aris, Bamz dan Dani turun ke bawah, mereka mau mainan di pantai. Gue sendiri gak ikut ke pantai karena takut kecapean dan gak bisa bawa motor nantinya. Gue, Angga dan Ega tinggal di atas. Cukup lama mereka berlima mainan di pantai, dari atas tebing gue ngeliat mereka jalan kaki jauuuuuuh banget. Ega mutusin untuk tidur lagi, sisa gue berdua ngobrol sama Angga.

“Yog, Aku mau jujur nih.” Angga membuka obrolan.

“Ju-jujur?” gue menatap Angga dengan pandangan hina. Takut kalo angga nyatain perasaannya ke gue.

“Iya, sebenernya aku…”

“Wait!” gue ngacungin telunjuk ke muka angga. “Ini bukan nyatain perasaan, kan?!”

“Anjirrrr bukan!”

Gue menghela nafas. Lega rasanya.

“Gini, aku takut aja kalo tiba-tiba ada orang datang terus teriak, “Woy! Ngapain kalian di sini!!!” sambil bawa tombak atau panah gitu. Kalo kejadian gitu gimana nasib kita, ya?”

“….” Gue bingung harus komentar apa.

“Pernah nonton film Wrong turn, gak? Itu yang kanibal-kanibal di hutan gitu.”

“PLIS YA. INI BUKAN SAAT YANG TEPAT NGOMONGIN FILM ITU!” Gue protes.

Gue pun menjauh dari Angga, meninggalkan dia sendirian yang asik menghisap rokoknya. Gue ke arah pohon dekat jalan turun ke pantai. Gue jadi agak parno apa yang ditakutin Angga beneran terjadi.

“AAAAAAAAAKKKKK~”

Gue. Denger. Suara. Jeritan. Cewek.

Bulu kuduk gue berdiri.

Gue menoleh cepat ke Angga dan Ega. Angga ngeliat ke arah gue, mukanya tampak bingung. Ega kebangun dari tidurnya. “Denger, gak?” Tanya gue. Mereka berdua mengangguk.

Dari posisi gue berdiri, gue dapat ngeliat mereka berlima yang main di pantai itu posisinya jauh banget. Kalo pun itu suara Karin, gak mungkin senyaring yang gue denger. (INI GUE NGETIKNYA MERINDING, KAMPRET!!!)
 
pas denger suara jeritan cewek, mereka ber-5 lagi di lingkarang merah. jauh banget!
“Yog! Tadi itu suara apa?!” Angga mulai panik dan ngambil kayu. “Self defense!”

“Entah lah. Ayo beres-beres aja dulu, pas mereka naik ke atas, biar langsung pulang.” Jawab gue.

Angga mulai membereskan semua bawaan kita. Api unggun disiram biar gak terjadi kebakaran hutan. Gue melambai-lambaikan tangan ke arah pantai, berharap salah seorang dari mereka melihat gue dan segera kembali. Usaha gue berhasil, mereka tampak berjalan kembali ke arah kami.

Barang bawaan kami sudah beres disusul dengan kedatangan mereka. “Kenapa sih, Yog?” Mas Ge tampak kesel belum puas main di pantai udah gue panggil.

“Tadi kalian ada teriak?” Tanya Angga.

“Gak ada, kita semua foto-foto aja di sana.”

Gue menatap Angga dan mulai memegang belakang leher kami masing-masing.

“Ayo siap-siap pulang sudah.” Ega buka suara.

“Kalian kenapa sih?!”

Kami pun ceritain kejadian yang kami alami dan mereka segera siap-siap pulang.
teroris kangen kasur :')
Cukup 2 kejadian horror aja yang kami alami untuk camping saat ini. Pukul 9 pagi kami meninggalkan lokasi, dengan segala keseruan, kehororan, kebersamaan, gue berhasil buang stress yang muncul di kepala gue. 

Yeah, we had so much fun.

7 comments

Anjiirrrrr ada lagi horornya. Muahaha sadis amat deh itu. Serius itu teriaknya jerit kenceng gitu yog? *salah apa gue baca beginian malem-alem* :/

Reply

ini gue bacanya juga jam 4 sendirian di kamar gelap. kan kampret. mau jalan nyalain lampu aja takut keburu pingsan -_-

Reply

Biasanya kalau melakukan perjalanan gitu emang suka ada kejadian aneh atau mistis. Tapi, kadang kejadian aneh itu seru buat diceritain ke orang lain.

Reply

@ Ady: Yoi. Lumayan nyaring dan kerasa deket banget suara jeritannya itu pas gue denger, kadang masih merinding gue kalo inget kejadiannya :))

@ naa: SIAPA SURUH BACA JAM 4 PAGI?! MUAHAHAHA

Reply

wakakak
teroris kangen kasur :D
seharusnya biar gampang bawa camping stove kalo mau masak sesuatu, Yog

Reply

Keren tempatnya... jadi kepengen camping lagi... :)

Reply

Post a Comment

Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca postingan gue. Gak perlu ninggalin link blog untuk dapet feedback, karena dari komentar kalian pasti dapet feedback yang sepadan kok.

Terima kasih!