A Great Story Comes With Great Stupidity : August 2017

Sebuah Upaya Untuk Tidak Menjadi Anak Durhaka

Kayaknya hampir semua anak di dunia ini pasti pengin bahagiain orang tuanya. Kalo pun gak bisa bahagiain, minimal gak nyusahin. Misalnya dulu lahirnya brojol sendiri. Ehe. *dikeplak*

And yeah… gue termasuk dalam golongan anak-anak yang pengin bisa bahagiain orang tuanya. Gue gak mau bikin mereka kecewa, apalagi sampai durhaka, terutama ke ibu gue. Ya bayangin aja perjuangan Ibu mengandung selama 9 bulan, terus melahirkan, tapi pas sudah gede malah durhaka, pasti beliau kecewa, kan? Astaghfirullah! Keren juga gue bisa nulis begini!

Mungkin kita semua sudah sering baca atau denger soal cerita Malin Kundang.


Buat yang belum tau, gue ceritain dikit. Jadi, itu kisah yang menceritakan tentang anak yang durhaka kepada ibunya. Si Malin merantau dan berpisah dengan ibunya. Hari demi hari terus berganti, sang Ibu terus menunggu kepulangan si Malin, tapi si Malin tak kunjung pulang hingga bertahun-tahun.

Suatu hari, Malin akhirnya pulang. Tapi, Malin Kundang yang sekarang sudah ganteng dan koaya roaya. Ibunya dengan penuh suka cita menyambut kedatangan si Malin. Bukannya senang bertemu dengan Ibunya, dia malah gak ngakuin ibunya yang miskin. Jelas ibunya kecewa dong, ya? Karena kecewa, dengan the power of emak-emak, si Ibu mengutuk Malin menjadi…

[spoiler alert]

Pemuda Ini Disuruh Bugil, Alasannya Bikin Netizen Geleng-geleng Kepala

Setelah takut dengan ‘kutukan’ angka 23, ternyata hasil tesnya sesuai harapan gue, alias gue lolos ke tahap selanjutnya. Uhuy!

Tes selanjutnya adalah tes kesehatan alias medical check up (MCU) dan psikiatri. Jarak antara pengumuman dan tes selanjutnya sekitar 3 minggu, jadi dalam waktu 3 minggu itu gue jadi rajin jogging, berusaha tidur di bawah jam 12 malam, makan wortel. Pokoknya biar sehat aja gitu.

Setelah 3 minggu melaksanakan kegiatan penuh pencitraan itu, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun datang juga. Bagi gue, selama pencarian kerja, ini pertama kalinya gue tes kesehatan. Jadi, ya… gue deg-degan lah! Takut dibius tanpa sadar, terus dipegang-pegang, terus divideoin dan disebar di internet. Hmmm… kayaknya gue kebanyakan nonton fake hospital, deh.

Pukul 7.10 pagi gue sampai di rumah sakit yang sudah ditunjuk untuk tes kesehatan ini. Menurut pengumuman, tesnya sih mulai pukul 8 pagi. Di parkiran ada beberapa orang yang berpakaian sama seperti gue; kemeja putih-celana hitam-pantofel, khas pengangguran orang lagi cari kerja. Gue ikuti langkah mereka menuju sebuah gedung. Tiba-tiba setan di kepala gue kayak bisikin gitu, “Sliding tackle mereka dari belakang biar mereka cedera dan gagal di tes kesehatan!”

Untungnya iman gue kuat. Gue langsung zikiran. Niat jelek itupun hilang.

Sampai di dalam gedung, kami bertemu security yang mengarahkan kalo tesnya di lantai 3. Kami segera menuju lift dan masuk ke dalamnya. Beberapa detik kemudian lift yang membawa kami ke lantai 3 terbuka dan… UDAH RAME ANJER!

Gue segera mengambil formulir dan mengambil nomor antrian. Gue dapet nomor 39. Gila nih, jam 7 pagi aja sudah dapet nomor 39, yang dapet nomor 1 itu nginap apa gimana?!

Gue pun mengisi formulir tadi dan mencari tempat duduk. Oiya, malam harinya, mulai pukul 8 malam, kami sudah disuruh untuk puasa makan dan hanya diperbolehkan minum air putih. Entahlah gue bakal dipanggil jam berapa dan nambah berapa jam lagi puasanya.

Pukul 8 pagi, satu per satu nomor antrian mulai dipanggil. Gue ngobrol-ngobrol dan kenalan dengan beberapa peserta tes di situ, mulai dari pertanyaan standar soal nama dan posisi yang kami pilih, sampai hal penting kayak ‘ntar diapain aja, ya?’

Lalu ada yang mulai cerita, dia sebenernya sudah punya pekerjaan, terus nyoba-yoba rekrutmen ini dan lolos, jadi dia sudah pernah MCU sebelumnya, katanya entar di salah satu tahapan disuruh bugil untuk pemeriksaan hernia dan ambeien.

“Bu-bugil?” Tanya gue.

“Iyalah. Terus biasanya sih entar pantat kita ditusuk pake alat gitu.” Lanjut dia.

“Di…tusbol?” Tanya orang yang duduk di sebelah gue. “Gak perjaka dong kita entar?! Disodomi, cuk!”

“Ya… emang gitu. Terus biasanya sih kayak di-korek gitu.”

“ANJER NGILU! FAAAK!!!”

“Te-terus, tau enggaknya ambeien dari mana?” Tanya gue.

“Kalo kamu teriak kesakitan, nah berarti ambeien. Kan kalo ambeien ada benjolan gitu di sekitar lubang 'itu'.” Jawab dia.

Oke. Kalo pas ditusbol gak merasa sakit berarti gak ambeien, tapi itu juga bisa berarti… sudah terbiasa ditusbol. Karena sesehat-sehatnya orang, kalo ada ‘benda asing’ nyasar ke ‘situ’, pasti teriak juga, lah!

Pukul 10.20 akhirnya nomor urut gue dipanggil. Gue segera menuju meja registrasi, menyerahkan nomor antrian, menyerahkan formulir yang gue isi di awal tadi, menyerahkan undangan tes, menyerahkan mahar, ijab Kabul, sah menikah. *lho*

Di meja registrasi itu gue diberi formulir lagi untuk diisi, lalu diberi daftar tes apa saja yang musti gue lakukan beserta nomor ruangannya, lalu juga disuruh pilih mau makan apa. Pilihannya ada 4: nasi goreng, burger, sandwich, roti bakar. Asoy, ya? Kirain bakal dikasih makanan rumah sakit alias bubur. Setelah itu gue menandatangani daftar hadir dan ternyata peserta tesnya… 87 orang.

MAMPUS YANG URUTAN TERAKHIR!

UNTUNG PAKE NOMOR ANTRIAN BUKAN BERDASARKAN ABJAD!

KALO ENGGAK, GUE YANG TERAKHIR!

Tes pertama: ambil darah, tes urine, anjer pipisnya over capacity! Beres.

Tes kedua: pemeriksaan berat dan tinggi badan, tekanan darah dan suhu badan. Lalu tes buta warna dan tes mata.

“Sehari-harinya pake kacamata?” Tanya si dokter.

“Enggak, Dok. Masih normal kayaknya ini.”

Jadi, gue duduk, dipakein kacamata, di hadapan gue ada dinding yang jaraknya lumayan jauh dari tempat gue duduk, kira-kira... 50 kilometer lah. 

Di dinding itu ada deret huruf dan gue disuruh baca. Ukuran hurufnya ganti-ganti, kadang kecil, kadang gede, kadang 36B. Tiap kali merasa susah baca, akan ditambah atau dikurangi lensanya.

Hasil tesnya: GUE MINUS SODARA-SODARAAAA. Mata kanan gue minus 0.75, mata kiri 0.5. Yah, kayaknya gue musti sering-sering makan wortel nih biar sehat.

Tes ketiga: rekam jejak jantung.
Bukan, ini gue bukannya disuruh nelan kamera untuk merekam aktivitas jantung gue. Gue masuk ke ruangan si dokter. Kemudian si dokter menurunkan letak kacamatanya, menatap gue dengan tajam. “Buka bajunya, lalu baring di tempat tidur.”

Terus gue nurut-nurut aja. Gue buka baju, baring di kasur. Dada gue digrepe diusap dengan kapas yang kayaknya sudah dikasih alkohol gitu di beberapa titik. Ada rasa dingin setelah diusap pakai kapas tadi. Lalu badan gue dipasangi beberapa kabel di titik-titik yang terasa dingin tadi. Gue sudah kayak bahan percobaannya dokter franskenstein. 


Lalu gue disuruh bernafas secara normal, jangan panik, jangan mencret, biasa aja. Terus ya… udah. Hasilnya keluar. Selesai. Pake baju lagi.

Tes keempat: rontgen
Gue masuk ke ruangan rontgen, disuruh buka baju lagi, lalu disuruh memegang semacam ‘papan’ gitu yang ukurannya se-badan gue, lalu disuruh hadap tembok. lalu… udah.

CEPET BANGET!

Tes kelima: sarapan
WAINI YANG PALING DITUNGGU-TUNGGU! SUDAH PUASA HAMPIR 15 JAM! LAPAR, BOS!

Jadi, waktu sarapan ini dicatat dan 2 jam kemudian gue sudah musti ambil darah lagi. Inilah kenapa gak ada menu soto babat ataupun kambing guling.

Tes keenam: Gue lupa namanya apaan, pokoknya ini tes yang disuruh bugil. :v

Abis sarapan seharusnya gue kenyang, lah ini apaan, gue deg-degan! Gue teringat obrolan pas tadi pagi. Soal ditusbol. Pantat gue langsung deg-degan.

Satu hal yang patut gue syukuri saat itu adalah ruang tesnya dibedakan antara cowok dan cewek. Jadi, peserta tes cowok bakal diperiksa oleh dokter cowok, begitupun sebaliknya. Bayang-bayang fake hospital langsung sirna.

Setiap kali ada cowok yang keluar dari ruangan dokter, gue jadi makin deg-degan. Dia keluar dengan langkah berat, tatapan kosong, seperti hidupnya beda setelah keluar dari ruang itu.

Setelah gue menunggu kurang dari satu jam, seorang dokter keluar dari ruangannya dan menyebut nama gue. Gue menarik nafas dalam-dalam, lalu berdiri dari sofa menuju ruangan si dokter, diiringi doa oleh peserta tes lain yang duduk bareng gue tadi.

Gue masuk, lalu dipersilakan duduk, ditanya-tanya soal riwayat penyakit yang gue dan keluarga gue punya. Setelah ngobrol-ngobrol bentar, bagian gak enaknya dimulai nih.

“Silakan buka bajunya, lalu baring di kasur.” Kata om dokter.

Gue langsung buka baju gue. Setelah bertelanjang dada, gue mengarahkan tangan ke ikat pinggang gue.

“Celananya nanti.” Cegah si dokter. “Sabar.”

“….”

Gue langsung naik ke kasur, berbaring. Om dokter kemudian menekan di beberapa titik di badan gue. Dari atas menuju bawah. Kayaknya sih jantung, hati, lambung, titit.

“Oke, sekarang duduk menghadap saya.” Kata om dokter sambil menyalakan senter.

Lalu beliau menyenteri mata, telinga dan mulut gue. Mencatat beberapa poin, entahlah apa yang ditulis gue enggak tau.

“Silakan turun dari kasur.” Om dokter ngeloyor pergi meninggalkan gue. “Lalu buka celananya untuk pemeriksaan hernia dan ambeien.”

WAH INI BAGIAN GAK ENAKNYA.

Dengan berat hati, gue mulai membuka ikat pinggang gue, lalu memisahkan kancing celana gue yang awalnya terpasang erat, menurunkan ritsliting dan membiarkan celana gue turun sendiri. Suara kepala ikat pinggang gue yang menghantam lantai terdengar syahdu.

Om dokter kembali menemui gue, lalu menatap ke arah bawah, arah anaconda gue. “Hmmmm… itu celana dalamnya juga diturunkan.”

“Ehehehe.”

USAHA GUE UNTUK TIDAK BUGIL GAGAL SODARA-SODARA.

Dengan sangat terpaksa akhirnya pertahanan gue satu-satunya bobol juga. Celana dalam gue ikut turun. Ini untuk pertama kalinya gue bugil di depan cowok. Si om dokter menatap sebentar, lalu memberikan komentarnya.

“Yoga, titit kamu bagus, mantap dan cerdas! KOMPOR GASSSS!”

Oke, enggak gitu. Beliau cuma bilang, “Oke, sekarang hadap samping.”

Gue nurut. Om dokter kembali memperhatikan dengan seksama. “Sekarang balik badan dan… nungging.”

NUNGGING, CUY!

BAGIAN PALING GAK ENAK DARI BAGIAN GAK ENAKNYA DIMULAI NIH.

Karena gue pengin tes ini cepet selesai, yaudahlah gue balik badan dan sedikit membungkukkan badan. Suara sarung tangan karet yang terpasang terdengar di telinga gue. Gue gak berani noleh ke belakang, gue bener-bener berusaha fokus untuk gak teriak, apalagi mendesah.

“Oke, sudah. Silakan pakai lagi celananya.” Kata om dokter.

“Su-sudah, Dok?” Tanya gue.

“Iya, sudah.”

“Cepet amat! Gak berasa!” Gue ngomongnya dalam hati. Takut aja dokternya ngira gue minta ditusuk lagi.

Om dokter kemudian membuang sarung tangannya ke tempat sampah, lalu kembali ke mejanya, sementara itu gue kembali berpakaian dan segera menuju meja si dokter. Beliau kemudian mengecek tes apa saja yang sudah gue lalui seharian ini dan ternyata sisa 1 tes lagi.

“Ini tinggal ambil darah lagi baru selesai. Jam berapa tadi sarapan?” Tanya beliau.

“Setengah sebelas, Dok.”

Beliau menatap jam tangannya. “Berarti tunggu 40 menit lagi, ya.”

Gue mengangguk, ijin untuk keluar ruangannya sambil mengucapkan terima kasih.

Tes ketujuh: tes darah kedua.
Setelah menunggu 40 menit sambil ngobrol-ngobrol, gue masuk ke ruangan yang sama saat pertama kali ambil darah. Jika sebelum sarapan gue diambil darah melalui lengan kanan, kali ini lengan kiri gue jadi sasaran.

Semua tes kesehatan sudah gue lalui, gue menyerahkan check-list tes yang sudah gue lalui ke meja registrasi di awal, lalu diperbolehkan pulang. Sekitar pukul 12.45 gue pulang meninggalkan rumah sakit.

*****

Besoknya, gue lanjut tes psikiatri. Ini semacam tes kepribadian gitu. Cuma disuruh jawab pertanyaan dengan jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’ aja.

Kelihatannya gampang dan gak mungkin ada hambatan, kan? Oh, jangan salah!

Sampai di ruangan tesnya bersama ke-87 peserta lain, gue dibikin pusing.
1. Soal tesnya ternyata menggunakan LJK dan musti diisi pakai pensil 2B.
2. Gue gak bawa kotak pensil karena di pengumumannya disuruh bawa pulpen. Namanya juga cowok, ada pulpen sebiji di dalam tas juga udah bagus.
3. Untungnya ada pensil 2B sebatang di tas gue, tapi penggaris buat hitamin LJK-nya gak ada
4. Soal tesnya 565 soal
5. Waktu tesnya 2,5 jam

Akhirnya gue hitamin LJK secara manual. Awalnya lancar-lancar aja, tapi lama kelamaan tangan gue sakit. Gue noleh ke belakang, waktu sisa 30 menit lagi dan gue masih kurang 100-an soal lagi.

Jika di awal gue menggunakan metode baca soal, hitamin jawaban. Kali ini gue mengganti strategi. Baca soal, titikin jawaban, baca soal selanjutnya, hitaminnya belakangan. Cara ini lumayan efektif, dalam 10 menit, 100 soal tadi selesai di angka 564.

LAH. KELEWAT SATU SOAL INI MAH!

Gue kembali telusuri soal dan jawabannya, ternyata bener, gue kelewat 1 soal yang berbunyi: “Apakah anda pengguna marijuana (ganja)?”

Dan jawaban gue: “IYA”

Untung gue teliti dan segera mengganti jawaban gue, kalo enggak, pasti gue lagi diperiksa BNN dan postingan ini enggak bakal ada. Lima menit sebelum waktu tes selesai, gue mengumpulkan lembar jawaban gue, istirahat sebentar lalu pulang.

Yah, doakan aja gue lolos lagi ke tahap selanjutnya. Perjalanan gue masih panjang sih. Sekarang, yang bisa gue lakuin cuma berdoa.






---
sumber gambar:
https://www.kaskus.co.id/thread/583bf55556e6af4b2c8b456a/ini-dia-cara-efektif-menghentikan-kebiasaan-makan-banyak/
http://harga.web.id/info-terbaru-biaya-tes-rekam-jantung-elektrokardiogram-ekg.info