A Great Story Comes With Great Stupidity : October 2015

(Sok-sokan) Camping Part 2

Baca cerita sebelumnya di sini
 
Kami semua mulai membaca doa-doa dan melanjutkan perjalanan dengan lebih tenang. Gak ada becandaan dan celetukan lagi sampai kami tiba di spot yang bakal dijadikan tempat kami bermalam.

“Oke, di sini tempatnya.” Kata Dani. “Ini kita di pinggir tebing, kalo mau ke pantai tinggal turunin tebing ini.”

Angin laut berhembus kencang, membuat jaket tebal yang gue pakai seperti tidak berfungsi. “Ayo bikin api unggun, lalu bangun tenda.” Gue coba ngasih usul.

Kenapa musti bikin api unggun? Selain untuk penerangan, kami juga gak bawa lampu charge atau lampu portable lainnya. Senter aja gak bawa, apalagi lampu. Awalnya kami mau bawa lampu gitu, tapi disindir oleh Mas Ge, “Camping apaan bawa lampu.” 

Kampret memang.


“Iya cepet bikin api unggun. Baru bangun tendanya.” Bamz setuju dengan ide gue.

“Oh iya, mana tendanya? Air galonnya juga mana?” Ega melihat ada sesuatu yang janggal.

“Tenda sama air galonnya ditinggal di motor. Bilangnya Mas Ge ini survey tempat dulu.”  Jawab Angga polos.

DANI KAN SUDAH SURVEY TEMPAT INI DULUAN PAS KEMAREN-KEMAREN. JADI GAK ADA ISTILAH SURVEY LAGI, WOI!!!

Kami semua menatap Mas Ge dengan tatapan membunuh.

“Yaudah, bikin api unggun aja dulu. Istirahat bentar, baru ntar 2 orang ambil tenda dan gallon ke atas. Sisanya cari kayu buat api unggun.” Mas Ge memberi ide. Sambil berusaha menyelamatkan diri.

Yang jadi masalah adalah: siapakah orang berhati malaikat yang mau naik ke atas, lalu turun lagi membawa gallon dan tenda?

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Ega dan Aris yang diutus untuk naik lagi ke atas. Gue, Dani dan Angga berusaha bikin api unggun. Bamz dan Mas Ge nyari kayu tambahan. Karin? Dia diem aja. Useless.

Agak susah bikin api unggun karena angin laut yang berhembus kencang. Daun yang kami bakar sebagai pancingan untuk membakar ranting selalu padam duluan sebelum dia membakar ranting-ranting pohon. Hampir 15 menit lebih kami tidak berhasil membuat api unggun.

“Minggir-minggir. Biar kukasitau cara membuat api unggun yang benar.” Mas Ge jongkok di sebelah kami. “Polisi itu juga diajarin bertahan hidup di alam liar. Self defense!”

Mas Ge mengatur ranting-ranting pohon sedemikan rupa, membakar daun, menaruhnya di bawah tumpukan ranting dan… voila! Api unggunnya nyala! Kami semua terkagum dan segera mengarahkan tangan kami ke api unggun. Hangat!

Beberapa menit kemudian Aris dan Ega pun datang membawa tenda dan air gallon.

“Ayo kita masak dulu, udah lapar nih!” Mas Ge menepuk-nepuk perutnya. “Angga, bawa panci, kan?”

“Bawa, mas!” balas Angga sambil pergi menuju tasnya. “Tunggu sebentar, ya!”

Beberapa menit kemudian Angga kembali sambil menunjukkan pancinya. Benda yang dibawa Angga tampak berkilau, tanda masih baru. Kami jadi gak tega mau masak pake panci itu.

“Itu panci baru, Ngga?” Tanya Mas Ge.

“Enggak, Mas. Ini bawa dari rumah.”

“Gak dimarahin ibumu bawa yang bagus gitu?”

“Tadi aku ijin ke Ibu, “Bu, Aku mau camping. Aku bawa panci, ya.” Malah disuruh bawa panci yang paling bagus. Yaudah kubawa aja.”

“….”

Mungkin ibunya Angga gak tau definisi camping adalah kita bakal masak secara barbar dan membuat panci menjadi gosong.

Air pun dituang ke dalam panci yang disusul gerakan menaruh panci di atas api. Ega mengeluarkan 4 bungkus mie instan dan meremukkannya. Menunggu air mendidih dengan api yang apa adanya begini ternyata cukup menyita waktu. Perut sudah mulai berontak. Gue, Dani, Angga, Ega dan Bamz bengong di depan api unggun menatap panci yang mulai gosong.

“Ayo makan dulu!” Mas Ge tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa… nasi kotak.



“Ini namanya self defense! Bertahan hidup!” Mas Ge ngeles.

Demi kelangsungan hidup, nasi kotak yang dibawa Mas Ge kita makan rame-rame. Dalam hitungan detik, nasi kotak tadi lenyap seketika.

Kembali ke api unggun. Air yang ditunggu-tunggu akhirnya mendidih juga. Ega segera memasukkan mie instan yang udah diremukin ke dalam panci dan mulai memasak. Iya, sengaja pake kata ‘memasak’ biar keliatan keren aja, padahal kan cuma masukin mie dan bumbu lalu diaduk-aduk doang.

Mie pun matang. Muka-muka kelaparan mulai mengelilingi panci berisi mie rebus tadi. Rupanya nasi kotak tadi gak cukup kuat untuk sekedar mengganjal perut. Ada yang menghirup aroma mienya, ada yang ngiler dan ada yang baru sadar kalo kita… gak bawa piring dan sendok.

INI MAKANNYA GIMANA?!!!

LANGSUNG PAKE TANGAN?!! MELEPUH KAMPRETTT!!!!

Awalnya gantian gitu, makan langsung dari pancinya memakai sendok bekas dari nasi kotak yang dibawa Mas Ge. Tapi kalo menggunakan cara ini, bisa dipastikan akan menimbulkan konflik rebutan sendok. Angga pun mengeluarkan ide jenius: dia mengambil ranting pohong, dipatahkan menjadi dua bagian dan voila! Jadi sumpit! Gue segera ikuti cara Angga dan mulai makan dengan susah payah.

Mas Aris gak kalah jenius, dia tau makan secara bersamaan di satu panci gak akan membuat kenyang, dia membagi botol air mineral untuk dijadikan… mangkok! Jenius!

Selesai makan dengan susah payah dan gak kenyang, Karin dan Dani teriak, “Ada p*op mie nih 4 biji.”

Gue menoleh dengan cepat ke sumber suara, menyiapkan suara terbaik dan bilang, “MINTA SATU!!!!”

“AKU JUGA!!!” Bamz ikutan.

Gue segera merebus air lagi untuk masak po*p mie. Self defense!

Beberapa menit kemudian air pun matang, gue tuang ke api unggunnya. Eh enggak, gue tuang ke gelas po*p mie-nya. Baru aja mau nuang, gerakan gue terhenti oleh perkataan Karin, “Airnya kotor kemasukan abu api unggun gitu, Yog.”

“Kalo mikir bersih atau kotor ya mati kelaparan, ntar. Udah, gak apa-apa.” Air pun gue tuang. Selanjutnya kami makan dengan khidmat dan lumayan kenyang. *tepuk-tepuk perut*

Malam itu kami habiskan untuk ngobrol-ngobrol, sambil nikmati bintang di langit, nyeruput kopi hangat, dibelai dinginnya angin laut, dipeluk hangatnya api unggun tanpa sibuk sendiri dengan handphone masing-masing karena gak ada sinyal di sini. Bener-bener sempurna.
 
terima kasih sudah menghangatkan kami semalaman!
Malam itu juga kami terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok anak muda, gue, Karin, Bamz dan Dani. Kelompok bau tanah ada Mas Ge, Aris, Ega dan Angga. Kelompok anak muda tidur duluan, kelompok bau tanah jagain kami karena mereka asik ngobrol. Gue terbangun pukul 2 malam, Karin, Dani dan Bamz juga ikut kebangun. Keadaan sekitar kami sepi. Api unggun yang ada di dekat kami juga hampir mati, kelompok bau tanah gak keliatan sama sekali. Gue berjalan ke pinggir tebing dan mendapati mereka lagi asik ngobrol di pinggir pantai, dengan api unggun baru.

Kami berempat yang udah terlanjur terbangun akhirnya membuka sesi curhat. Dani nyeritain soal keluarganya dan kisah percintaannya yang selalu berakhir setelah nge-date alias “kita pernah dekat zoned”. Karin nyeritain pacar barunya yang sayangnya harus terpisah oleh jarak. Gue sendiri cukup jadi pendengar yang baik bagi mereka. Yang paling kampret si Bamz, dia cerita habis nolak cewek. Ngehe memang.

Sekitar pukul setengah 4 gue tidur lagi. Gue musti nyimpan tenaga buat besok pulang ngelewatin padang pasir lagi.

Gue terbangun, keadaan sekitar gue udah terang. Gue cek hape yang ada di sebelah gue dan ternyata udah pukul 5.45. Gue segera bangunin yang lain untuk liat matahari terbit dan… ternyata gak ada. Kabut tebal membuat matahari yang gue tunggu-tunggu gak muncul. Gue pun turun ke bawah tebing untuk ke pantai dan… pipis.
 
ceritanya nunggu sunrise.
di foto dari bawah (pantai), orang berdiri itu tempat kita camping
Selesai pipis yang gak perlu gue ceritain bagaimana prosesnya, gue dan Angga membuat api unggun lagi, untuk bikin sarapan. Kali ini kami udah gak usah pusing-pusing makan pake apa. Ada gelas po*p mie semalem + garpunya!


Pukul 7, semua orang sudah bangun dan mulai sarapan secara beringas. Selesai sarapan Mas Ge, Karin, Aris, Bamz dan Dani turun ke bawah, mereka mau mainan di pantai. Gue sendiri gak ikut ke pantai karena takut kecapean dan gak bisa bawa motor nantinya. Gue, Angga dan Ega tinggal di atas. Cukup lama mereka berlima mainan di pantai, dari atas tebing gue ngeliat mereka jalan kaki jauuuuuuh banget. Ega mutusin untuk tidur lagi, sisa gue berdua ngobrol sama Angga.

“Yog, Aku mau jujur nih.” Angga membuka obrolan.

“Ju-jujur?” gue menatap Angga dengan pandangan hina. Takut kalo angga nyatain perasaannya ke gue.

“Iya, sebenernya aku…”

“Wait!” gue ngacungin telunjuk ke muka angga. “Ini bukan nyatain perasaan, kan?!”

“Anjirrrr bukan!”

Gue menghela nafas. Lega rasanya.

“Gini, aku takut aja kalo tiba-tiba ada orang datang terus teriak, “Woy! Ngapain kalian di sini!!!” sambil bawa tombak atau panah gitu. Kalo kejadian gitu gimana nasib kita, ya?”

“….” Gue bingung harus komentar apa.

“Pernah nonton film Wrong turn, gak? Itu yang kanibal-kanibal di hutan gitu.”

“PLIS YA. INI BUKAN SAAT YANG TEPAT NGOMONGIN FILM ITU!” Gue protes.

Gue pun menjauh dari Angga, meninggalkan dia sendirian yang asik menghisap rokoknya. Gue ke arah pohon dekat jalan turun ke pantai. Gue jadi agak parno apa yang ditakutin Angga beneran terjadi.

“AAAAAAAAAKKKKK~”

Gue. Denger. Suara. Jeritan. Cewek.

Bulu kuduk gue berdiri.

Gue menoleh cepat ke Angga dan Ega. Angga ngeliat ke arah gue, mukanya tampak bingung. Ega kebangun dari tidurnya. “Denger, gak?” Tanya gue. Mereka berdua mengangguk.

Dari posisi gue berdiri, gue dapat ngeliat mereka berlima yang main di pantai itu posisinya jauh banget. Kalo pun itu suara Karin, gak mungkin senyaring yang gue denger. (INI GUE NGETIKNYA MERINDING, KAMPRET!!!)
 
pas denger suara jeritan cewek, mereka ber-5 lagi di lingkarang merah. jauh banget!
“Yog! Tadi itu suara apa?!” Angga mulai panik dan ngambil kayu. “Self defense!”

“Entah lah. Ayo beres-beres aja dulu, pas mereka naik ke atas, biar langsung pulang.” Jawab gue.

Angga mulai membereskan semua bawaan kita. Api unggun disiram biar gak terjadi kebakaran hutan. Gue melambai-lambaikan tangan ke arah pantai, berharap salah seorang dari mereka melihat gue dan segera kembali. Usaha gue berhasil, mereka tampak berjalan kembali ke arah kami.

Barang bawaan kami sudah beres disusul dengan kedatangan mereka. “Kenapa sih, Yog?” Mas Ge tampak kesel belum puas main di pantai udah gue panggil.

“Tadi kalian ada teriak?” Tanya Angga.

“Gak ada, kita semua foto-foto aja di sana.”

Gue menatap Angga dan mulai memegang belakang leher kami masing-masing.

“Ayo siap-siap pulang sudah.” Ega buka suara.

“Kalian kenapa sih?!”

Kami pun ceritain kejadian yang kami alami dan mereka segera siap-siap pulang.
teroris kangen kasur :')
Cukup 2 kejadian horror aja yang kami alami untuk camping saat ini. Pukul 9 pagi kami meninggalkan lokasi, dengan segala keseruan, kehororan, kebersamaan, gue berhasil buang stress yang muncul di kepala gue. 

Yeah, we had so much fun.

(sok-sokan) camping

Manusia hanya bisa berencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan. Gue bener-bener percaya hal ini, apa lagi ketika gue sudah memasuki bulan September. Rencananya gue bakal update blog ini dengan pengalaman gue selama magang di sekolah, nyatanya Tuhan melalui perantara tugas-tugas, laporan serta jurnal mingguan yang musti gue buat mengagalkan rencana gue itu.


Biasanya gue buka laptop untuk mengetik draft postingan, kali ini hanya untuk mengerjakan kewajiban gue selama magang. Tiap harinya aktivitas gue cuma begitu-begitu aja, dan ini bikin gue sempet stress, pusing, mual, bibir pecah-pecah.

Satu yang gue tau: gue butuh piknik!

Gayung pun bersambut. Beberapa temen dari komunitas stand up comedy Balikpapan berencana untuk ngadain camping. Tanpa pikir panjang gue memutuskan untuk ikut dengan misi berusaha melupakan sejenak kegiatan magang gue yang menggila.

Hari sabtu, 19 September pukul 5 sore, gue bersama Mas Ge, Dani, Karin, Aris, Ega, Angga dan Bamz berangkat menuju tempat camping.  Selain Dani, kami semua belum pernah ke sana sebelumnya. Nama daerah yang akan kita tuju adalah Ambalat. Bukan, ini bukan Ambalat yang ada di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ambalat yang kita tuju berada di daerah Samboja, kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit lebih dari kota gue, Balikpapan.

Ambalat emang udah lumayan terkenal bagi warga Balikpapan buat camping, tapi itu di daerah pantainya. Yang akan kita tuju adalah hutannya. “Pokoknya ini tempatnya keren banget, biarpun hutan tapi kita masih bisa ke pantainya.” Kata Dani penuh semangat kayak penjual obat kuat. “Di sana bener-bener alam liar, orang ke sana cuma buat ngambil pasir.”

Sekitar pukul 6.15 kami sampai di Ambalat. Perjalanan kami hentikan karena ban motor yang dikendarai Ega dan Angga bocor. Kami sempet kebingungan bagaimana mengatasi masalah ini karena hari sudah mulai gelap dan gak ada tukang tambal ban yang buka. beberapa opsi tercetus untuk mengatasi masalah ini sayangnya semua ide ditolak dengan berbagai alasan:

1. Menggendong motor sampai di tempat camping tidak mungkin dilakukan karena perjalanan masih sekitar 20 km lagi.

2. Meninggalkan motor di pinggir jalan dan bonceng 3 ke tempat camping tidak mungkin dilakukan juga selain karena mirip cabe-cabean, resiko saat selesai camping motornya Angga hanya tersisa platnya saja kemungkinan besar akan terjadi.

3. Membeli pembalut untuk mengatasi kebocoran juga tidak mungkin. Ini motor, bukan menstruisasi.

Bamz dan Aris pun pergi mencari tukang tambal ban 24 jam. 10 menit kemudian mereka kembali dengan kabar gembira: ada tukang tambal ban… 20 meter dari tempat kita berhenti.

Sambil menunggu Angga dan Ega menambal ban, kami sempet ngobrol-ngobrol. Mas Ge membuka percakapan, “Yog, bawa pisau atau parang?”

DEG!

Jujur, camping ini gue cuma bawa diri, biskuit dan air mineral. Gue sama sekali gak kepikiran buat bawa benda penting kayak gitu. “Enggak bawa, Mas. Ini aja asal ikut buat pelepas stress.” Kata gue.

“Wah parah kamu, Yog! Kita ntar di hutan, loh! Pisau itu buat self defense.” Jawab Mas Ge.

“Emang Mas Ge bawa?”

“Bawa, dong!” Mas Ge membuka ritsliting jaketnya dan mengambil sesuatu dari dalam lipatan celananya. “Nih! Cutter!”

Hening.

“Awalnya udah mau bawa, tapi ketinggalan.” Lanjutnya.

Double hening.

Satu jam kemudian Angga dan Ega kembali, perjalanan segera dilanjutkan. Kami segera menggeber motor. “Ntar kita titip motor aja di rumah warga, soalnya jalanannya pasir. Agak susah dilewatin motor, kita nebeng mobil pick up yang masuk ke dalam aja. Semoga ada. Kalo gak ada, ya jalan kaki.” Kata Dani sebelum kita melanjutkan perjalanan. Kami iya-iya aja karena emang cuma Dani yang pernah ke sana dan kita gak tau kondisi aslinya bagaimana.

Setengah jam berlalu, jalanan yang kami lewati sudah mulai bercampur pasir, ditambah hari sudah gelap dan penerangan yang minim, ini membuat beberapa kali gue hampir jatuh. Dani meminta kami semua berhenti di depan rumah seorang warga, “Ini rumah terakhir, kalo kita masuk ke dalam, sudah gak ada rumah.” Dani menunjuk arah jalan yang tampak gelap. “Tapi ini masih setengah jalan. Titip motor apa gimana?”

Melihat keadaan yang sudah malam, gak ada mobil pick up yang masuk ke dalam untuk mengambil pasir, kalo kami jalan kaki kemungkinan besar bakal nyampe pas tengah malam, itu pun kalo kita gak pingsan di tengah jalan. Akhirnya kita memutuskan untuk mencoba masuk dengan tetap mengendarai motor.

Awalnya baik-baik aja, jalanan yang kami lewati emang berpasir, tapi sudah dicor. Gue sempet suudzon kalo Dani berusaha mendramatisir keadaan dengan misi terselubung membesarkan betis kami semua, karena jarak dari tempat yang direncanakan untuk titip motor dengan jalan yang sudah kami lalui itu bener-bener jauh. NAIK MOTOR AJA CAPEK APALAGI JALAN KAKI?!

Hingga akhirnya jalanan-dicor-bercampur pasir tadi berganti menjadi padang pasir. Untuk melewatinya kami mengikuti jejak ban mobil yang sudah tercetak di atas pasir. Temen-temen yang dibonceng segera turun dari motor karena keadaannya gak memungkinkan untuk boncengan. Beberapa kali motor kami terjebak dalam pasir dan harus didorong. Sulitnya lagi adalah ketika salah mengambil jalur, kita bakal susah untuk berpindah jalur lagi. Buat yang baru bisa naik motor, pasti bakal nangis kalo terjebak dalam keadaan seperti ini.

Jalanan pasir yang kami lewati ternyata panjang banget. Beberapa kali gue Tanya Dani, “Udah deket dari tujuan kita?”

“Masih jauh, Yog!” jawabnya tanpa dosa.

Gue nelen kopling motor.

Gue mulai kehilangan fokus karena kelelahan. Beberapa kali gue hampir jatuh dan salah jalur karena gak bisa ngendaliin motor gue sendiri. Perjalanan di pasir ini bener-bener panjang dan menguras tenaga serta pikiran, gue sempet khawatir ini gue bukan di Ambalat, tapi di Arab. Dan ini bukan perjalanan menuju tempat camping, tapi ke Ka’bah.

“Ayo masuk ke sini. Udah hampir sampe nih.” Teriak Dani di ujung sebuah gang.

Mendengar ucapan Dani, kami para pemotor yang melihat jalan yang ditunjuk Dani kayak melihat wc saat kebelet boker. Kami segera menuju ke arah Dani, memasuki gang dengan hati-hati karena pasirnya makin tebal, melewati gang itu, kami pun sampai di… padang pasir lagi. Tempat kami berhenti saat ini mirip planet yang ditinggal penghuninya, banyak bolongan bekas galian di mana-mana.

“Camping di sini?” kata kami heran.

“Bukan, kita masuk ke hutan sana.” Dani menujuk ke arah depan, “Parkir motornya di sini aja. Aman kok.”

Kami pun turun dari motor, merenggangkan badan yang mulai pegal. Menghirup dalam-dalam udara dan menghembuskannya perlahan. Sayup-sayup gue denger suara deburan ombak. “Eh, itu laut?” gue menujuk arah depan.

“Iya, di bawah hutan ini pantai ambalat.” Jawab Dani. “Kalo mau ke pantai, tinggal turun aja, semoga lautnya lagi surut.”
kira-kira begini keadaannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 8.20, kami mulai memasuki hutan dengan penerangan senter dari… hape. Iya, kami gak bawa senter beneran. Pelan-pelan kami melewati jalan setapak yang menurun. Jalan setapak ini cuma bisa dilalui satu orang, jadi kami jalan dengan urutan Aris, Dani, Ega, Bamz, Gue, Karin, Angga dan Mas Ge.

“Ayo sekalian ambil kayu untuk bikin api unggun ntar.” Kata Dani.
Kami mengiyakan dan mulai pelan-pelan mengambil dahan-dahan pohon kering yang kami lewati.

“Taunya ntar di bawah ada yang jual kayu bakar.” Celetuk mas Ge.

“Bukan, mas. Sekalinya ntar di bawah ada yang jual api unggun.” Balas Angga.

“HAHAHAHAHA!!!”

Becandaan ditambah jalan sambil mungutin dahan pohon membuat terciptanya jarak antara barisan Dani dan Bamz. Meninggalkan Dani dan Aris di depan. Beberapa kali Dani meneriaki kami agar mempercepat langkah. “Ayo cepet, Mas Aris udah jauh di depan tuh.”

Kami berusaha mempercepat langkah. “Yang paling belakang ntar diculik hantu!!!” goda Mas Ge. Karin sebagai cewek satu-satunya yang ikut langsung ketakutan dan  berusaha mengambil posisi gue. Angga juga ikut-ikutan. Mas Ge juga. Aris juga.

Oh wait…

Kami semua kaget, tiba-tiba ada Aris di belakang. “Loh? Perasaan kamu paling depan berdua sama Dani, Ris?” Bamz heran.

“Iya, aku juga liat Dani berdua sama kamu di depan.” Kata gue.

“Aku loh dari tadi di belakang, ngobrol sama Mas Ge.” Jawab Aris polos.

Kami pun bertemu Dani lagi. “Loh? Kamu kok ada di belakang, Ris?” Dani pasang muka bingung.

“Seriusan. Aku dari tadi paling belakang, ngobrol sama mas Ge.” Kata Aris lagi dengan ekspresi serius.

Jadi, yang tadi jalan di depan sama Dani itu siapa?


[TO BE CONTINUED]