A Great Story Comes With Great Stupidity : April 2015

The Nekat Traveler: Ketemu!

[Baca cerita sebelumnya di sini.]
“Jadi nyasar, nih?” 

Dana mengangguk, “Kayaknya gitu.”

GUE BENERAN NYASAR KAYAK YANG GUE PREDIKSIIN KAN!!! MANA HAPE GAK ADA SINYAL! JAM MAKAN SIANG UDAH MAU SELESAI! FITA UDAH MAU KULIAH LAGI! AAAAAKKKK!!! Asli, gue panik.

“Tanya orang aja gimana?” gue ngasih ide di tengah keputus asaan.

“Nanyanya gimana coba?”

“Ummm…” Gue coba menyusun kata. “Gini aja, “Permisi, jalan menuju Samarinda yang ada jembatan Mahakamnya di mana, ya?””

“Sumpah, itu bego banget.”

“Ya mau gimana lagi, coba? Kita nyasar!” gue bener-bener gak ada ide lain.

“Putar balik deh,” Dana menunjuk arah belakang. “Tadi kayaknya kita ngelewatin pertigaan, mungkin ke arah situ.”

Karena terlalu fokus dengan sugesti “lurus aja”, gue jadi gak merhatiin kalo ada pertigaan. Gue putar balik. 10 menit kemudian kita sampai di jalanan-yang-ada-pertigaannya yang dimaksud oleh Dana. “Itu ada mamah-mamah muda, coba tanyain deh, bener gak itu jalan menuju Samarinda yang ada jembatan mahakamnya?”

“GAK ADA KALIMAT LAIN APA?!”

Dana pun turun dari motor, nyamperin seorang mama-mama muda yang lagi beli es tebu di pinggir jalan. “Permisi, Bu…” sapa Dana sok asik.

“Maaf, Mas..” Si Ibu menyodorkan tangan tanda penolakan.

“Saya mau numpang Tanya, Bu.”

“Oh, saya pikir tukang minta-minta.”

“….”

“Mau nanya apa, Mas?”

“Anu… Permisi, Bu… kalo jalan menuju Samarinda yang ada jembatan Mahakamnya di mana, ya?”

Hening.

“Belok kiri, Mas, habis itu lurus aja, ketemu deh jembatan Mahakam.”

“Oh begitu. Terima kasih banyak, Bu!”

Dana mendatangi gue dengan tatapan Tuh-Kan-Bener-Belok-kiri. Setelah dapet informasi ini, dengan semangat 69 gue geber lagi si Fixie hingga bertemu beneran dengan jembatan sungai Mahakam. Pemandangan yang gue lihat kayak gak berubah dengan 9 tahun yang lalu. Satu yang beda, air sungai Mahakam semakin coklat.

Kami akhirnya sampai di wilayah perkotaan Samarinda pukul 12.45 dan masih belum tau harus ke mana. Ke kanan? Ke kiri? Ke pelukan mantan? kita bener-bener gak tau arah.

The Nekat Traveler

Senin, 16 Maret, pulang dari menghabiskan masa muda alias kuliah, gue mampir ke rumah sohib gue, Dana, untuk mendiskusikan hal penting. Bahkan ini lebih penting dari pada misi Frodo Baggins membuang cincin ke kawah gunung Mordor.


“Kamu kapan libur kerja?” Tanya gue sambil guling-guling di kasur.

“Selasa besok libur, Rabu udah masuk tapi masuk malam.” Jawab Dana santai sambil ngupil.

“Owh…” gue berpikir sebentar. “Besok ke Samarinda, yuk!”

“Ngapain?” Alisnya Dana naik sebelah. “Nemuin Fita?”

“Mancing di sungai Mahakam!” Jawab gue ketus. “Ya iyalah! Udah lama gak ketemu, Nyet! Kangen!”

Fita adalah pacar gue yang sekarang dan kita… LDR-an. Ini kali kedua gue LDR-an Balikpapan-Samarinda, sedangkan ini jadi LDR-an pertama buat Fita. Kita udah lumayan lama gak ketemu, sekitar 3 minggu dia belum pulang ke Balikpapan. Walaupun Fita aslinya orang Balikpapan, tapi dia jarang banget pulang. Kesibukannya di kampus dan UKM-nya yang bikin kita jarang ketemu. Dia pemain biola dan hampir tiap malam latihan di kampus.
 
Ini si Fita dan sumpah, gue gak pake pelet.
Kamu kan cowok, ya kamu dong yang datangin dia!

Nah, masalahnya adalah jadwal kuliah gue dan Fita itu berlawanan. Jadwal kuliahnya dia padat dari Senin sampai Kamis, Jumat dan Sabtu libur. Sedangkan jadwal kuliah gue, padat saat weekend. Kayak jadwal gue yang sekarang nih: Senin kuliah pagi, selasa libur, Rabu kuliah masuk sore, Kamis libur, jumat kuliah masuk sore-malam, Sabtu kuliah pagi-siang.

Bagi gue, weekend itu cuma mitos!

Tapi gue sadar, yang namanya LDR, itu harus bertemu. Sedih rasanya kalo cuma bisa bilang kangen tapi gak ada waktu untuk ketemu, kan? Jika obat penguat dalam malam pertama adalah Viagra, maka obat penguat dalam hubungan LDR adalah bertemu. Sesimpel itu.